Quantcast
Channel: Abu Salafy
Viewing all 172 articles
Browse latest View live

Seri Kepalsuan Ibnu Taimiyah (5)

$
0
0

Demi Kebenciannya Kepada Imam Ali ra., Ibnu Taimiyah MemfitnahPara Sahabat Nabi saw.!

Persembahan Untuk Abu Fakhri, Firanda Dkk

Dengan cara-cara yang licik dan licin, Ibnu Taimiyah terus menerus mengembuskan napas beracunnya kepada para pecinta dan pengagung kesesatannya. Para ulama Ahlusunnah telah mencium aroma busuk kemunafikan pada Ibnu Taimiyah dari mulut dan penanya…. Tanpa segan-segan ia menghina, melecehkan Imam Ali ra. menabur keraguan akan keabsahan kekhalifahannya, keadilannya, ketulusannya terhadap Allah dan rasul-Nya, bahkan puncaknya ia meragukan keimanan Sayyidina Imam Ali ra.

Karena Ibnu Taimiyah itu cerdas dan para Salafi Wahhâbi pengagum Ibnu Taimiyah adalah orang-orang dungu maka makar jahat Ibnu Taimiyah yang diselipkan dalam keterangan berbelitnya tidak mampu mereka ketahui. Sebab untuk memahami liku-ilku kejahatan dan kemunafikan Ibnu Taimiyah butuh kecerdasan, bukan taklid buta yang disertai kedunguan akibat jauh dari cayaha kebenaran!

Dalam kesempatan ini saya hanya akan menyakijan satu bukti baru kemunafikan Ibnu Taimiyah seperti ditegaskan para ulama Ahlusunnah sebagai dipaparkan Imam Ibnu Hajar al Asqallâni dalam keterangan panjangnya dalam kitab ad Durar al Kâminan dan telah lewat dalam beberapa artikel saya sebutkan.

Ibnu Taimiyah Menfitnah bahwa Banyak Sahabat Nabi saw. Membenci Sayyidina Ali ra.

Dengan bahasa berbelit penuh racum kemunafikan, Ibnu Taimiyah memfitnah bahwa banyak dari sahabat Nabi saw. adalah pembenci Sayyidina Ali ra. fitnah murahan itu bukan tanpa tujuan… di balik fitnah itu, Ibnu Taimiyah hendak meracuni pikiran kaum Muslimin, khususnya mereka yang tertipu dengan proganda Salafi Wahhâbi bahwa dia adalah juru bucara resmi Islam, Syeikhul Islam!

Dengan sedikit ketelitian pasti Anda dapat membaca bahwa tujuan jahat Ibnu Taimiyah dengan fitnahan itu adalah membangun opini bahwa jangan takut membenci Ali… teladan kamu dalam kebencian itu adalah sahabat Nabi. Bukan satu sahabat, yaitu Mu’awiyah… tapi banyak sahabat…. Di samping tentunya yang terpenting bagi Ibnu Taimiyah adalah membela Mu’awiyah.. bahwa Mu’awiyah tidak sendirian dalam kebenciannya itu!

Dan adanya kebencian para sahabat kepada Ali adalah bukti bahwa Ali bukan orang Mukmin sejati… sebab mana mungkin seorang Mukmion sejati tidak dicintai oleh orang-orang yang telah dipilih Allah SWT untuk menjadi sahabat nabi-Nya?!

Anda mungkin menduduh abusalafy memperuncing kesimpulan dan mengada-ngada! Karenanya, saya langsung ajak ANda menyimak sendiri tulisan Ibnu Taimiyah… pendapat dan ulasan Ibnu Taimiyah… bukan pendapat kaum Nashibi yang sedang disebutkan Ibnu Taimiyah.. (sebab sering kali para ustadz Salafi Wahhâbi menipu para jama’ahnya yang rata-rata adalah kaum awam) bahwa itu bukan ucapan atau pendapat Ibnu Taimiyah… beliau hanya sedang menyampaikan pendapat kaum Nashibi untuk melawan kaum Rafidhah!

Perhatian keterangan Ibnu Taimiyah di bawah ini:

إن الله قد أخبر أنه سيجعل للذين آمنوا ز عملوا الصالحات وُدًّا، وهذا وعدٌ منه صادقٌ، و معلومٌ أن الله قد جعل للصحابة مودة في قلب كل مسلم لا سيما الخلفاء رضي الله عنهم و لا سيما أبو بكر و عمر، فإن عامة الصحابة و التابعين كانوا يحبونهما و كانوا خير القرون.

و لم يكن علِيٌّ كذلك، فإن كثيرا من الصحابة و التابعين كانوا يبغضونه يسبُّونه يقاتلونه.

“Sesungguhnya Allah telah mengabarkan bahwa orang-orang yang beriman dan beramal shaleh akan dijadikan untuk mereka kecintaan dalam hati-hati kaum Mukminin. Dan ini adalah janji yang benar! Dan telah maklum bahwa Allah telah menjadikan untuk para sahabat kecintaan dalam hati setiap Muslim, khususnya para Khulafâ ra, dan terkhusus lagi kepada Abu bakar dan Umar. Kebanyakan sahabat dan Tabi’în mengagungkan keduanya. Dan mereka (sahabat dan Tabi’în) adalah sebaik-baik generasi.

Dan Ali tidak demikian, karena banyak dari sahabat dan Tabi’în mereka itu  membencinya, mencacinya dan memeranginya!”[1]

Abu Salafy:

Kali ini untuk memahami tipu muslihat dan makar jahat Ibnu Taimiyah, Anda tidak harus membutuhkan kecerdasan luar biasa. Cukup dengan sedikit meneliti kata-kata beracum yang digunakannya untuk mengelabui pembacanya, Anda pasti dapat merasakannya.

Pertama yang ingin saya katakana di sini adalah bahwa janji Allah SWT yang ia singgung adalah firman Allah dalam ayat 96 surah Maryam yang berbunyi:

إِنَّ الَّذينَ آمَنُوا وَ عَمِلُوا الصَّالِحاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمنُ وُدًّا

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.”

Kandungan ayat itu dalam hemat Ibnu Taimiyah adalah bahwa tanda dan ciri orang beriman adalah adanya kecintaan manusia kepadanya. Dan karena banyak dari para sahabat dan Tabi’în membenci Ali dan mencacinya maka ayat itu bisa jadi bukti pertanda ketidak-imanan Ali dan dia bukan tergolong orang-orang yang beramal shaleh!

Bolehkah seorang Muslim melontarkan kata-kata keji sepeti itu?! Lalu dengan cara licik seperti itu ia menggiring pembacanya untuk mengeluarkan orang pertama yang memeluk Islam dari kelompok kaum Mukminin?! Demi Allah, sunngguh durhaka kata-kata yang terlontar dari mulut Ibnu Taimiyah dan musuh-musuh Ali ra. lainnya!

Kedua, Jika maksud ayat di atas bahwa tanda dan ciri orang Mukmin itu adalah adanya kecintaan seluruh manusia kepadanya maka pastilah di muka bumi ini tidak ada seorang Mukmin pun yang dicintai seluruh umat manusia. Kaum Yahudi membenci dan memusuhi Nabi Isa as., sebagaimana mereka juga tentunya membenci Nabi Muhammad saw.!

Ini adalah bukti bahwa Ibnu Taimiyah jahil akan makna ayat di atas!

Makna ayat itu adalah, Allahu A’lam adalah demikian: bahwa orang beriman yang mengerjakan amal-amal shaleh maka ia secara umum akan dicintai manusia. Sebab keimanannya akan mendorongnyan untuk menyandang nilai-nilai mulia kemanusiaan dan berbuat amal-amal kebajikan yang bermanfaat untuk orang banyak. Dan karenanya pasti mereka mencintainya!

Ketiga: Sebagaimana telah sering saya katakan dan tegaskan bahwa Ibnu Taimiyah ini adalah manusia berbahaya bagi agama kita sebelum ia berbahaya bagi mazhab Ahlusunnah sendiri! Bagaimana tidak? Betapa sering ia demi menyerang al Hilli (ulama Syi’ah yang sedang ia bantah kitabnya itu) dan menjatuhkan dalil-dalil Syi’ah tentang kepempimpinan Sayyidina Ali ra (seperti yang diyakini Syi’ah)… ya betapa sering untuk itu, Ibnu Taimiyah menjatuhkan dan menghinakan Sayyidina Ali ra sendiri. Dan ini yang telah ditegaskan Ibnu Hajar al Asqallâni.

Dalam kitab Lisân al Mîzân, Ibnu Hajar berkata:

   وكم من مبالغة لتوهين كلام الرافضي أدتـه أحياناً إلى تنقيص عليّ رضي الله عنه.

“Dan betapa sering, karena berlebih-lebihan dalam melemahkan ucapan ulama rafidhi itu menyeretnya kepada menghina Ali (semoga ridha Allah untuknya).”[2]

Karenanya para ulama Ahlusunnah dan juga para kyia dan santri harus serius mewaspadai bahaya pemikiran sesat Ibnu Taimiyah….

Dan kali ini, dalam kata-katanya di atas Ibnu Taimiyah telah mengatakan sesuatu yang sangat berbahaya sekali bagi agama kita bahkan bagi kesunnian kita sendiri!

Jika perkataan Ibnu Taimiyah di atas kita benarkan dan tidak kita anggap sebagai fitnah murahan, maka itu artinya kita telah digiring oleh Ibnu Taimiyah untuk meyakini bahwa banyak dari para sahabat Nabi itu yang fasik dan munafik. Demikian juga dengan para Tabi’în! Sebab, seperti telah disabdakan Nabi Muhammad saw. yang tidak berbicara melainkan dari wahyu bahwa tidak membenci Ali melainkan orang Munafik! Dan yang mencaci Ali berarti ia mencaci Allah dan Rasul-Nya!

Dengan sanad bersambung kepada ats Tsawri dari A’masy dari Adi bin Tsabit dari Zirr bin Hubaisy, ia berkata, “Aku mendengar Ali as. bersabda:

وَ الذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ و بَرَأَ النَّسَمَةَ إنَّهُ لَعَهْدُ النَّبِيِّ الأُمِّيْ أَنَّهُ : لاَ يُحِبُّنِيْ إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُنِيْ إلا مُنافِقُ.

Demi Dzat Yang membelah biji-bijian dan menciptakan makhluk bernyawa, ini adalah ketetapan Nabi yang Ummi kepadaku bahwa tiada mencintaiku kecuali mukmin dan tiada membenciku kecuali munafik.[3]

Imam Ahmad, an Nasa’i, al Âjurri dan al Hakim meriwayatkan dengan sanad bersambung kepada Abu Abdillah  al Jadali, ia berkata:

دخلت على أُمّ سلمة ، فقالت : أيسبّ رسول الله(ص) فيكم؟! فقلت : معاذ الله ! أو سبحان الله ! أو كلمة نحوها ، قالت : سمعت رسول الله(ص) يقول : من سبّ عليّاً فقد سبّني .

“Aku masuk menemui Ummu Salamah, lalu ia berkata, “Mengapakah Rasulullah dicaci-maki di tempat-tempat kalian?! Maka aku berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah! Subhanallah! Atau ucapan semisal itu. Ummu Salamah berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa mencaci Ali berarti ia mencaciku.”

Setelahnya, al Hakim berkata:

هذا حديث صحيح الإسناد ، ولم يخرجاه

Ini adalah hadis shahih sanadnya hanya saja Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya.”

 Hukuman Bagi Orang Yang membenci dan Mencaci Ali ra.!

Dan bagi yang membenci Sayyidina Ali ra. dan apalagi disertai dengan mencacinya adalah murka Allah dan neraka jahannam.

Allah berfirman:

إِنَّ الْمُنافِقينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَ لَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصيراً إِلاَّ الَّذينَ تابُوا وَ أَصْلَحُوا وَ اعْتَصَمُوا بِاللَّهِ وَ أَخْلَصُوا دينَهُمْ لِلَّهِ فَأُولئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنينَ وَ سَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنينَ أَجْراً عَظيماً.

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.* Kecuali orang-orang yang tobat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.”(QS. An Nisâ’[4]:145-146)

Dan:

إِنَّ الَّذينَ يُؤْذُونَ اللَّهَ وَ رَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فِي الدُّنْيا وَ الْآخِرَةِ وَ أَعَدَّ لَهُمْ عَذاباً مُهيناً.

“Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan.” (QS. al Ahzâb[33]57)

Abu Salafy:

Jadi, Ibnu Taimiyah (yang dengan semangat membela kaum munafik seperti Mu’awiyah Cs.) menghujat Syi’ah Rafidhah maka sekarang justeru memberi amunisi berdaya ledak besar bahwa: Jangan salahkan Syi’ah jika mereka menganggap banyak sahabat Nabi saw. itu munafik sebab mereka telah membenci dan mencaci Imam mereka; Ali bin Abi Thalib as.!

Dan ini benar-benar akan membuat kita dipermalukan di hadapan mereka! Lalu apakah kita akan membiarkan Ibnu Taimiyahmenjerumuskan kita kepada faham Nashibi yang hanya berambisi menjauhkan umat Islam dari Ali bin ABi Thalib, sahabat mulia nabi saw. dan Khalifah keempat kita?!

Ibnu Taimiyah adalah gembong kaum Nashibi dan kita umat Islam tidak butuh kepadanya dalam membela atau melawan siapapun!

Keempat, Klaim Ibnu Taimiyah (dengan cara licik dan licinya itu) bahwa Sayyidina Ali ra tidak termasuk yang tercakup dalam ayat di atas adalah sebuah kepalsuan dan bukti kebenciannya kapada Sayyidina Ali ra. Para ulama dan mufassir Ahlusunnah telah meriwayatkan di antaranya dari sahabat al barâ’ bin ‘Âzib bahwa Rasulullah saw. bersabda kepada Ali, “Ya Allah, jadikan untukku di sisi-Mu sebuah janji dan jadikan untukku kecintaan di dalam hati orang-orang beriman, maka Allah menurunkan ayat tersebut.[4]

Demikianlah fanatisme buta dan kebencian telah menyeret Ibnu Taimiyah (Syeikhul Islamnya kaum Salafi Wahhâbi) ke dalam lembah kenistaan dan kemunafikan dengan meluapkan “unek-unek” hati terhadap Sayyidina Ali ra.!

Kelima, Tuduhannya bahwa banyak sahabat Nabi saw. membenci dan mencaci Sayyidina Ali ra. adalah kepalsuan belaka. Sejarah pun akan membuktikan kebohongan dan kepalsuaannya!

Ambil sebagai contoh sedernaha saja, dalam peperangan Shiffîn ketika Khalifah Ali ra. menumpas para pemberontak yang dipimpim oleh Mu’awiyah dan Amr bin al Âsh… dalam pasukan Ali ra telah bergabung tidak kurang dari delapan puluh sahabat Nabi saw. yang pernah bergabung bersama beliau dalam peperangan Badar.

Ibnu al Atsîr melaporkan, “Dan beliau (Ali bin Abi Thalib) memimpin pasukan di sayap tengah bersama beliau para penduduk kota suci Madinah, dan mayoritas dari penduduk Madinah yang bersama beliau adalkah dari golongan Anshar. Dan bersama beliau juga banyak dari pasukan dari suku Khuzâ’ah, Kinânah dan selainnya dari penduduk kota Madinah.”[5]

Sementara tidak bersama Mu’awiyah melainkan kaum arab baduwi dan sisa-sisa anak-anak kaum munafik Quraisy dan putra-putra Thulaqâ’ (kaum kafir yang menyerah ketika Nabi saw. kota Mekkah dan kemudian ditawan dan setelahnya dibebaskan, di antara mereka adalah Abu Sufyan, Hindun, Yazid putra Abu Sufyan, Suhail bin Amr, Ikrimah putra Abu Jahl dan tarusan lainnya)!

Kesiapan para sahabat besar seperti Ammar bin Yasir dan ratusan lainnya, demikian juga dengan para tokoh dan kaum shaleh dari generasi Tabi’în seperti Uwais al Qarani (yang syahid membela Ali ra) adalah bukti nyata bukan untuk sekedar kecintaan tetapi bukti nyata kesetiaan mereka kepada Allah dan rasul-Nya!

Dan lembaran ini tidak sanggup menyebutkan lebih dari apa yang sudah saya sebutkan. Mudah-mudahan Allah memberikan taufiq dan inayah-Nya untuk menyajikan tulisan lengkap tentang masalah ini.

Ketujuh, Kami meminta Ibnu Taimiyah dan atau para pemuja kesesatannya dari kalangan Salafi Wahhâbi untuk menyebutkan nama-nama para sahabat yang kata Ibnu Taimiyah itu membenci Sayyidina Ali ra.!

Kami meminta para sarjana Salafiyyûn untuk berani menyebutkan nama-nama sahabat yang mendukung Mu’awiyah dalam memerangi Khalifah Ali bin Abi Thalib ra!

Di sini kami benari pastikan bahwa mereka pasti tidak akan sanggup mendatangkan kecuali nama-nama kaum munafik dan/atau kaum fasik seperti Mu’awiyah, Abu Sufyan, ‘Amr bin al Âsh, Mughirah bin Syu’bah, al Walîd bin ‘Uqbah, Yazid bin Mu’awiyah, Samurah bin Jundub dan yang semisalnya….

Penutup  

Dan sebelum saya akhir tanggapan saya atas fitnah keji Ibnu Taimiyah, saya ingin menutupnya dengan ucapan seorang Salag Shaleh agung bernama Abu Qais al Awdi.

Ia brkata, “Aku menemui manusia itu terbagi menjadi tiga golongan:

  • Ahli agama (yang berpegang teguh dengan agama)… mereka mencintai Ali.

  • Ali dunia (penyembah dunia)… mereka mencintai Mu’awiyah.

  • Dan Khawarij.[6]

Selamat atas Ibnu Taimiyah yang menyanjung para pecinta Mu’awiyah… semoga kelak ia dibangkitkan dan kumpulkan bersama Mu’awiyah, Abu Sufyan, Abu Jahal dan Abdullah bin Ubay bin Salûl. Âmîn Ya Rabbal âlamîn.

Wassalam.


[1] Minhâj as Sunnah,7/137 dan dalam cetakan Dâr al Kotob al Ilmiah, Beirut,4/38.

[2] Lisân al Mîzân,6/319. Jadi adalah aneh sikap ngotot sebagian sarjana Wahhâbi Salafi yang mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah tidak membenci Ali ra., bahkan ia sangat mencintai dan menghormati Ali! Dan abusalafy hanya salah faham.. abusalafy tidak mengerti maksud ucapan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah… dan mengada-ngada fitnah itu!! (Lebih lanjut silahkan merujuk artikel: Persembahan Untuk Ustadz Firanda: Ibnu Taimiyah Syeikhul Islam Atau Syiekhun Nifâq? [1] )

[3] Hadis ini telah diriwayatkan oleh:

1)      Imam Muslim dalam Shahihnya

2)      An Nasa’i dalam Sunannya dengan dua jalur dan dalam Khashâishnya dengan tiga jalur: hadis 95,96 dan 97, yang semuanya sahih berdasarkan komentar Abu Ishaq al Hawaini (korektor kitab Khashâish).

3)      Turmudzi dalam Sunannya, Manâqibu Ali, bab 95 (Tuhfatu al Ahwadzi,10/239-230) dan ia berkata, :Hadis ini hasan sahih.”

4)      Ibnu Mâjah dalam Shahihnya,bab fadhlu ali ibn Abi Thalib ra.,1/42, hadis114. Ia hadis ertama dalam bab itu.

5)      Ibnu Abi ‘Âshim dalam kitab Sunnahnya,2/598.

6)      Abu Nu’aim dalam Hilyatu al Awliyâ’,4/185 dari tiga jalur dari Adiy ibn Tsâbit dari Zirr, kemudian ia berkata, “Hadis ini muttafaqun ‘alaih (disepakati kesahihannya)”. Setelahnya ia menyebutkan banyak ulama yang meriwayatkan dari Adiy.

7)      Al Muttaqi al Hindi dalam Kanz al ‘Umâlnya,6/394 dan ia berkata, “hadis ini telah dikeluarkan oleh Al Humaid, Ibnu Abi Syaibah, Ahmad ibn Hanbal, Al Adani, At Turmudzi, An Nasa’i, Ibnu Mâjah, Ibnu Hibbân, Abu Nu’aim dan Ibnu Abi ‘Âshim.

[4] Baca tafsir Rûh al Ma’âni; al Alûsi,16/143 dan juga tafsir al Marâghi,16/88.

[5] Al Kâmil fî at Târîkh,3/297.

[6] Al Istî’âb; Ibnu Abdil Barr,3/1115, biodata nomer:1855.



Bani Umayyah Dalam Al Qur’an Dan Sunnah

$
0
0

Persembahan Untuk Ustadz Firanda dan Para Pemuja Pohon Terkutuk Dalam Al Qur’an!

Pendahuluan

Keabadian di akhirat ada dua macam, Abadi di dalam surga dan abadi di dalam neraka..

أُولئِكَ أَصْحابُ الْجَنَّةِ هُمْ فيها خالِدُونَ

“ … mereka itulah penghuni-penghuni surga; mereka kekal di dalamnya. (QS. Al Baqarah;82)

فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْن

“… mereka adalah penghuni neraka (dan) mereka kekal di dalamnya. (QS. Al Baqarah;81)

Demikian puladengan kebadian di dunia. Ia ada dua macam…

Kebadian dengan sebutan harum, keutamaan dan kemuliaan serta amal-amal shaleh… penyandang kemulian sifat akan abadi dalam sebutan harum … abadi dalam hati dengan kerinduan dan kecitaan… dalam lembaran kitab dan di pertemuan-pertemuan umum dengan pujian

Sementara penyandang sifat-sifat buruk dan pelaku kejahatan juga akan abadi… namun dengan sebutan buruk, kehinaan, kecaman dan kutukan … hati-hati manusia mmebencinya… lisan-lisan mereka mengecam dan mengutuknya… kitab-kitab membeber kejahatan dan kehinaannya.

Antara keabadian di dunia dan keabadian di akhirat terdapat relasi yang sangat erat… keabadian di surga di akhirat dan sebutan indah di dunia saling terkait…

Demikian pula dengan keabadian di neraka dengan keabadian sebutan buruk, laknatan juga salng terkait!

Ini adalah Sunnah Allah….

Dan taida perubahan pada Sunnah Allah!

فَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّتِ اللَّهِ تَبْديلاً وَ لَنْ تَجِدَ لِسُنَّتِ اللَّهِ تَحْويلاً

“Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunah Allah, dan sekali- kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunah Allah itu.” (QS. Al Fathir;43)

Inilah dua model keabadian yang saling berhadap-hadapan .. saling menjauh .. saling bermusuhan di sepanjang sejarah imat manusia…

Pada umat terakhir di pentas sejarah umat manusia ini mereka adalah:

Muhammad bin Abdillah, Rasulullah dan Ahlulbait dan para sahabat bsetia beliau di satu sisi

Dan Abu Sufyan, Hindun, Mu’awiyah, Yazid di sisi lain..

Rasulullah dan Ahlulbait adalah wujud keabadian cahaya ilahi.. mereka abadi dengan sebutan harum dan kenangan indah serta kecintaan penghuni langit dan bumi…

Sementara bani Umayyah yang dikepalai oleh Abu Sufyan kemudian Mu’awiyah kemudian Yazid adalah wujud keabadian bagi kegelapan dan laknat Allah!! Sebutan mereka selalu disertai dengan kecaman dan kutukan Allah, penghuni langit dan penghuni bumi!!

Alhulbait kapan pun mereka disebut selalu diiringi dengan pujian…

Dalam Al Qur’an Ahlulbait terpuji….

Dalam Sunnah Ahlulbait juga tersanjng dan terpuji…

Sejarah pun mengabadikan kemulian dan pujian Allah dan manusia…

Sebaliknya dengan bani Umayyah.. kapanpun mereka disebut laknat Allah selalu menyertai mereka…

Dalam Al Qur’an mbani Umayyah terlaknat

Dalam Sunnah bani Umayyah juga terkutuk..

Lisan-lisan penghuni langit dan penghuni bumi juga melaknati bani Umayyah…

Ini adalah kenyataan yang bukti kebenarannya telah menyatu dengan hakikatnya… tidak perlu bukti dari luar dirinya…

Bani Umayyah Dalam Al Qur’an

Al Qur’an adalah puncak etika dan kemulian… lautan sopan santun dan adab.

إِنَّ هذَا الْقُرْآنَ يَهْدي لِلَّتي‏ هِيَ أَقْوَمُ وَ يُبَشِّرُ الْمُؤْمِنينَ الَّذينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْراً كَبيراً

“Sesungguhnya Al Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS. Al Isra’;9)

Al Qur’an telah menetapkan sebuah ketetapan bahwa konsekeunsi dosa dan tanggun jawab kejahatan hanya akan dipilulkan kepada palakunya… tidak kepada selainnya.. tidak kepada anak keturunannya … tidak pula kepada nenek moyangnya… dan tidak pula kepada teman atau sahabatnya… hanya si pelaku yang harus mempertanggung-jawabkan kejahatannya!

عَلَيْها وَ لا تَزِرُ وازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرى‏

“… dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.: (QS. Al An’âm;164)

Inilah Al Qur’an al Karîm… lembaran manapun yang engkau buka… surah dan ayyat apapun yang engkau baca… hanya etika adil ini yang akan engkau temukan! Al Qur’an hanya membatasi kecaman atas pelaku kejahatan dan/atau yang penyandang sifat setani dengan sifat setani si pelaku kejahatan …

Ketika Al Qur’an mengecam seorang dari dedengkot kaum kafir Quraisy… Allah berfiaman:

إِنَّهُ فَكَّرَ وَ قَدَّرَ

“Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang ditetapkannya )

فَقُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَ

Maka  celakalah dia! Bagaimanakah dia menetapkan,

ثُمَّ قُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَ

Kemudian celakalah dia! Bagaimanakah dia menetapkan.” (QS. Al Mudatstsir;18-20)

Al Qur’an juga mengecam seseorang dengan ayat:

وَ لا تُطِعْ كُلَّ حَلاَّفٍ مَهينٍ

Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina,

هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَميمٍ

Yang  banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah,

مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثيمٍ

Yang  sangat enggan berbuat baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa,

عُتُلٍّ بَعْدَ ذلِكَ زَنيمٍ

Yang  kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya. “ (QS. Al Qalam;10-13)

Dan ketika berbicara tentang orang ketika, Al Qur’an menyebutkan:

فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذينَ كَذَّبُوا بِآياتِنا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir.(QS. Al A’raf;176)

Dan demkkian seterusnya…

Tetapi dalam kenyataan etika ini terdapat pengecualian … dan hanya dalam satu kasus.. dalam satu ayat saja .. dan hanya untuk beberapa orang tertentu saja!

Kapan itu?

Siapa yang dikecualikan dari aturan umum Al Qur’an itu?

Mengapa dalam kasus ini Al Qur’an tidak seperti biasanya yang hanya menyebut si palaku kejahatan saja… tetapi sekarang menyebut satu keluarga besar.. ya satu keluarga besar sebagai Fitnah/cobaan bagi umat manusia (bukan hanya bagi umat Islam saja!) dan sebagai keluarga terkutuk… pohon terlaknat!

Tahukan kalian, siapa mereka itu?

Keluarga siapakah yang terkutuk dalam Al Qur’an?

Mereka adalah bani Umayyah…

Bukan hanya Abu Sufyan seorang … bukan Mu’awiyah seorang… bukan pula Yazid bin Mu’awiyah seorang… mereka adalah keluarga besar bani Umayyah

 وَ إِذْ قُلْنا لَكَ إِنَّ رَبَّكَ أَحاطَ بِالنَّاسِ وَ ما جَعَلْنَا الرُّؤْيَا الَّتي‏ أَرَيْناكَ إِلاَّ فِتْنَةً لِلنَّاسِ وَ الشَّجَرَةَ الْمَلْعُونَةَ فِي الْقُرْآنِ وَ نُخَوِّفُهُمْ فَما يَزيدُهُمْ إِلاَّ طُغْياناً كَبيراً

“Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu: “Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia.” Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon kayu yang terkutuk dalam Al Qur’an. Dan Kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka.” (QS. Al Isra’;60)

Bukan hanya Abu Sufyan seorang yang terlaknat!

Bukan Mu’awiyah seorang yang terlaknat!

Bukan juga hanya Yazid putra Mu’awiyah yang  mal’ûn!

Tetapi keluarga bani Umayyah lah yang terkutuk….

Abu Sufyan… Mu’awiyah … Yazid…

Kakek… Bapak … Anak… semuanya terlaknat … semuanya adalah pohon terkutuk dalam Al Qur’an!!

Pohon terkutuk itu adalah bani Umayyah...

Baca kenyataan ini dalam berbagai kitab tafsir dengan riwayat-riwayat yang shahih dari para sahabat dan Tâbi’în!

Baca tafsir ad Durr al Matsûr karya Imam Jalaluddin as Suyuthi… beliau telah meriwayatkan fatsir ayad di atas bahwa yang dimaksud dengan syajarah mal’ûnah fîl Qur’ân adalah bani Umayyah dari riwayat:

(1) Ibnu Abi Hatim dari Ya’la  bin Murrah.

(2) Ibnu Mardawaih dari Imam Husain bin Ali ra.

(3) Ibnu Mardawaih, Ibnu Abi Hatim, al Baihaqi dalam Dalâil dan Ibnu ‘Asâkir dari Said bin Musayyib.[1]

Imam ar Râzi juga menukil dari Ibnu Abbbas ra. bahwa syajarah mal’ûnah fîl Qur’ân adalah bani Umayyah![2]

Inilah kenyataan Qur’aniyah yang sering ditutup-tutupi dan diputar-nalikkan oleh para pemuja pohoh terkutuk tersebut!

Abusalafy akan membantu Anda wahai pecinta kebenaran untuk melacak ayat-ayat kecaman atas bani Umayyah agar dapat diselamatkan dari fitnah dan kejahatan mereka!

(Bersambung, Insya Allah)


[1] Ad Durr al Mantsûr, ketika menfsirkan ayat di atas.

[2] Tafsir ar Râzi , ketika menfsirkan ayat di atas.


Gembong Takfiri Wahhâbi Bin Jibrin Mengecam Imam Ahlusunnah Wal Jama’ah; ath Thahâwi!

$
0
0

Karakter khas Wahhâbi salafi adalah keganasan sikapnya terhadap siapapun yang tidak mendukung akidah menyimpang mereka, khususnya tentang sifat!

Kini giliran Imam besar Ahlusunnah, Imam ath Thahâwi mereka kecam dan tuduh menyembunyikan akidah yang shahihah yang diyakini “Salaf Shaleh”. Kata Bin Jibrin, Imam ath Thahâwi terpengaruh kesesatan ahli bid’ah!! Dan yang aneh, Bin Jibrin yang kerjanya hanya mengkafirkan sana sini, khususnya kaum Rafidhah, kini malah menuduh Imam Ahlusunnah ath Thahâwi itu telah bertaqiyyah dalam sikapnya yang tidak mau berterang-terangan menegaskan akidah sifat versi Wahhâbi Salafi.

Dalam ta’liqât-nya atas kitab al Aqîdah al Wâsithiyah, Bin Jibrin memuntahkan kecamana dan tuduhan palsunya kepada Imam ath Thahâwi. Berikut ini fitnahan Bin Jibrin:

.

.

.

.

.

Dan ath Thahawi juga menulis akidahnya yang terkenal itu dan ia tidak menegaskan terang-terangan mazhab yang benar tentang penetapan sifat istiwa’ dan sifat ketinggian hakiki/fisikal serta sifat-sifat fi’liyah sesuai dengan Salaf umat ini yang terdukung oleh dalil-dalil yang jelas, SEBAB DIA HIDUP DI ZAMAN BANYAK PARA PENGINGKAR TERHADAP SIFAT.

walaupun dalam masalah sifat-sifat lain ia menjelaskannya. Apapun kondisinya, IA TELAH TERSERANG SEBAGIAN DARI SYUBHAT-SYUBHAT PARA AHLI KALAM, KARENANYA IA MENERIMA SEBAGIAN DARI BID’AH MEREKA .

.

Abu Salafy berkata:

Bin Jibrin, hendak memaksa agar ath Thahawi meyakini kesesatan akidah yang mengatakan bahwa Allah bersemayam di atas Arsy yang dipikul oleh kambing-kambing hutan/para malaikat yang serupa dengan kambing hutan yang mengapung di atas air di atas sana/ fi ‘ama’! akidah yang jelas-jelas meniscayakan butuhnya Allah kepada tempat dan keterbatasan-Nya. yang mana semua itu tidak pernah/tidak mau dipikirkan baik-baik oleh para masyaikh Wahabi Salafy yang pandainya hanya menelan mentah-mentah riwayat-riwayat palsu dan pemahaman kaum mujassimah musyabbihah. dan barang siapa yang berani menyalahi akidah tajsim dan tasybih ala Wahhabi Salafi mereka kecam sebagai Jahmi! Ahli Bid’ah yang sesat lagi menyesatkan!

Inilah Wahhabi!! Dan inilah sikap mereka terhadap para ulama Muslim dari kelompok lain!


Persembahan Untuk Ustadz Firanda dan Para Pemuja Pohon Terkutuk Dalam Al Qur’an! (Bagian: 2)

$
0
0

Selain ayat di atas yang telah saya paparkan tafsir dan maksudnya dalam artikel sebelumnya, tidak sedikit Allah mengecam Bani Umayyah dalam ayat-ayat Al Qur’an suci-Nya.

Di antara ayat-ayat suci itu adalah firman Allah SWT.:

أَ لَمْ تَرَ إِلَى الَّذينَ بَدَّلُوا نِعْمَتَ اللَّهِ كُفْراً وَ أَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دارَ الْبَوارِ * جَهَنَّمَ يَصْلَوْنَها وَ بِئْسَ الْقَرارُ * وَ جَعَلُوا لِلَّهِ أَنْداداً لِيُضِلُّوا عَنْ سَبيلِهِ قُلْ تَمَتَّعُوا فَإِنَّ مَصيرَكُمْ إِلَى النَّارِ

Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan, * yaitu neraka Jahanam; mereka masuk ke dalamnya; dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman. *Orang-orang kafir itu telah menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah supaya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah:Bersenang-senanglah kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu ialah neraka.” (QS. Ibrahim;28-30)

Keterangan Para Mufassir Ahlusunnah Wal Jamâ’ah

Para muafassir Ahlusunnah baik klasik maupun kontemporer telah menegaskan bahwa yang dimaksud dengan, ‘Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan’ adalah bani Umayyah.

Keterangan Imam ath Thabari

Perhatikan bagaimana Imam para ahli tafsir, Ibnu Jarir ath Thabari menafsirkan ayat di atas!

Ibnu Jarir berkata tentang ayat-ayat di atas:

القول في تأويل قوله تعالى : { أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَةَ اللَّهِ كُفْرًا وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ * جَهَنَّمَ يَصْلَوْنَهَا وَبِئْسَ الْقَرَارُ  } يقول تعالى ذكره: ألم تنظر يا محمد( إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَةَ اللَّهِ كُفْرًا ) يقول: غيروا ما أنعم الله به عليهم من نعمه ، فجعلوها كُفرا به، وكان تبديلهم نعمة الله كفرا في نبيّ الله محمد صلى الله عليه وسلم ، أنعم الله به على قريش ، فأخرجه منهم ، وابتعثه فيهم رسولا رحمة لهم ، ونعمة منه عليهم ، فكفروا به ، وكذّبوه ، فبدّلوا نعمة الله عليهم به كفرا. وقوله:( وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ ) يقول: وأنزلوا قومهم من مُشركي قريش دار البوار ، وهي دار الهلاك ، يقال منه: بار الشيء يبور بورا: إذا هلك وبطل .. وقيل: إن الذين بدّلوا نعمة الله كفرا: بنو أمية ، وبنو مخزوم.

“Pendapat tentang firman Allah –Ta’ala-: “Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan, yaitu neraka Jahanam; mereka masuk ke dalamnya; dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman.” Allah –Ta’ala- berfirman, “Tidakkah engkau –hai Muhammad melihat/meperhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran maksudnya: merubah-rubah nikmat-nikmat yang Allah anugerahkan kepada mereka lalu mereka mengkufurinya. Dan penukaran nikmat Allah yang mereka lakukan adalah dengan mengufuri Nabi Muhammad saw.. Allah menganugerahkan nikmat itu kepada suku Quraisy dan mengeluarkan beliau dari mereka dan mengutusnya sebagai rasul di antara mereka karena belas kasih Allah dan nikmta-Nya atas mereka, tetapi mereka mengingkarinya, membohongkannya dan menukar nikmat Allah itu dengan kekafiran. Dan firman Allah: “dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan, yaitu neraka Jahanam” Allah berfirman, “Mereka mencelakakan kaum mereka dari kalangan Musyrik Quraisy ke dalam lembah kebinasaan…. ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan: perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran adalah Bani Umayyah dan Bani Makhzûm.”

Setelahnya beliau melanjutkan:

Keterangan tentang para ahli tahfir yang mengatakan pendapat ini. Beliau berkata:

ذكر من قال ذلك: 

حدثنا ابن بشار وأحمد بن إسحاق ، قالا ثنا أبو أحمد ، قال : ثنا سفيان ، عن عليّ بن زيد ، عن يوسف بن سعد ، عن عمر بن الخطاب ، في قوله:( أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَةَ اللَّهِ كُفْرًا وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ جَهَنَّمَ ) قال: هما الأفجران من قريش: بنو المغيرة ، وبنو أمية ، فأما بنو المغيرة فكفيتموهم يوم بدر ؛ وأما بنو أمية فمتِّعوا إلى حين.

... dari Umar bin Khaththâb tentang ayat di atas: mereka adalah dua kabilah dari Quraisy; bani Mughirah dan bani Umayyah. Adapun bani Mughirah mereka telah dibinaakan dalam peparangan Badar. Sedangkan bani Umayyah mereka diberi tangguh hingga waktu tertentu.”

حدثني المثنى ، قال : ثنا أبو نعيم الفضل بن دكين ، قال : أخبرنا حمزة الزيات ، عن عمرو بن مرّة ، قال : قال ابن عباس لعمر رضي الله عنهما: يا أمير المؤمنين ، هذه الآية ( الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَةَ اللَّهِ كُفْرًا وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ ) ؟ قال: هم الأفجران من قريش أخوالي وأعمامك ، فأما أخوالي فاستأصلهم الله يوم بدر ، وأما أعمامك فأملى اللَّه لهم إلى حين.

حدثنا محمد بن بشار ، قال : ثنا عبد الرحمن ، قال : ثنا سفيان ، عن أبي إسحاق عن عمرو ذي مرّ ، عن عليّ (وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ ) قال: الأفجران من قريش.

… dari Ali tentang ayat: ‘dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan’ ia berkata, “Mereka adalah dua keluarga jahat dari suku Quraisy.

حدثنا ابن بشار ، قال : ثنا عبد الرحمن ، قال : ثنا شعبة ، عن أبي إسحاق ، عن عمرو ذي مرّ ، عن عليّ ، مثله/ حدثنا أحمد بن إسحاق ، قال : ثنا أبو أحمد ، قال : ثنا سفيان وشريك ، عن أبي إسحاق ، عن عمرو ذي مرّ ، عن عليّ ، قوله ( أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَةَ اللَّهِ كُفْرًا وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ ) قال: بنو المغيرة وبنو أمية ، فأما بنو المغيرة ، فقطع الله دابرهم يوم بدر ، وأما بنو أمية فمُتِّعوا إلى حين.

…. dari Ali tentang ayat: ‘Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan’ ia berkata, “Mereka adalah bani Mughirah dan bani Umayyah. Adapun bani Mughirah, Allah telah membinasakan mereka pada peperangan Badar. Sedangkan bani Umayyah, mereka diberi tangguh hingga waktu tertentu.”

 حدثنا محمد بن المثنى ، قال : ثنا محمد بن جعفر ، قال : ثنا شعبة ، عن أبي إسحاق ، قال : سمعت عمرا ذا مرّ ، قال : سمعت عليا يقول في هذه الآية( أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَةَ اللَّهِ كُفْرًا وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ ) قال: الأفجران من بني أسد وبني مخزوم.

 حدثنا ابن المثنى ، قال : ثنا عبد الرحمن ، قال : ثنا شعبة ، عن القاسم بن أبي بزّة ، عن أبي الطفيل ، عن عليّ ، قال : هم كفار قريش. يعني في قوله ( وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ جَهَنَّمَ )، حدثنا ابن المثنى ، قال : ثنا محمد بن جعفر ، قال : ثنا شعبة ، عن القاسم بن أبي بزّة ، عن أبي الطفيل أنه سمع عليّ بن أبي طالب ، وسأله ابن الكوّاء عن هذه الآية( الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَةَ اللَّهِ كُفْرًا وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ ) قال: هم كفار قريش يوم بدر.

 حدثنا ابن وكيع ، قال : ثنا أبو النضر هاشم بن القاسم ، عن شعبة ،  عن القاسم بن أبي بزّة ، قال : سمعت أبا الطفيل ، قال : سمعت عليا ، فذكر نحوه.

 حدثنا أبو السائب ، قال : ثنا أبو معاوية ، عن إسماعيل بن سميع ، عن مسلم البطين ، عن أبي أرطأة ، عن عليّ في قوله( أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَةَ اللَّهِ كُفْرًا ) قال: هم كفَّار قريش .

 هكذا قال أبو السائب مسلم البطين ، عن أبي أرطأة.حدثنا الحسن بن محمد الزعفراني ، قال : ثنا أبو معاوية الضرير ، قال : ثنا إسماعيل بن سميع ، عن مسلم بن أرطأة ، عن عليّ ، في قوله تعالى( الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَةَ اللَّهِ كُفْرًا ) قال: كفار قريش.

 حدثنا الحسن بن محمد ، قال : ثنا يعقوب بن إسحاق ، قال : ثنا شعبة ، عن القاسم بن أبي بزّة ، عن أبي الطفيل ، عن عليّ ، قال في قول الله( أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَةَ اللَّهِ كُفْرًا وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ ) قال: هم كفار قريش.

 حدثنا الحسن بن محمد ، قال : ثنا شبابة ، قال : ثنا شعبة ، عن القاسم بن أبي بزّة ، قال : سمعت أبا الطفيل يحدّث ، قال : سمعت عليا يقول في هذه الآية( أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَةَ اللَّهِ كُفْرًا وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ ) قال: كفار قريش يوم بدر.

 حدثنا الحسن ، قال : ثنا الفضل بن دكين ، قال : ثنا بسام الصَّيرفيّ ، قال : ثنا أبو الطفيل عامر بن واثلة ، ذكر أن عليا قام على المنبر فقال: سلوني قبل أن لا تسألوني ، ولن تسألوا بعدي مثلي ، فقام ابن الكوّاء فقال ، من( الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَةَ اللَّهِ كُفْرًا وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ )؟ قال: منافقو قريش .

 حدثنا الحسن ، قال : ثنا محمد بن عبيد ، قال : ثنا بسام ، عن رجل قد سماه الطنافسيّ ، قال : جاء رجل إلى عليّ ، فقال: يا أمير المؤمنين: من ( الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَةَ اللَّهِ كُفْرًا وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ ) ؟ قال: في قريش.

 حدثنا أحمد بن إسحاق ، قال : ثنا أبو أحمد ، قال : ثنا بسام الصيرفيّ ، عن أبي الطفيل ، عن عليّ أنه سئل عن هذه الآية( الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَةَ اللَّهِ كُفْرًا ) قال: منافقو قريش.

Abu Salafy:

Dalam beberapa atsar di atas Ali ra. mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mereka adalah para munafik dari suku Quraisy. Tentunya ini tidak bertentangan dengan tafsir sebelumnya yang mengatakan bahwa mereka adalah bani Umayyyah, mengingat setelah Fathu Mekkah, mereka menyerah dan menyatakan keislamannya secara dzahir sementara mereka menyembunyikan kekafiran mereka. Karenanya mereka adalah munafik!

حدثنا الحسن بن محمد ، قال : ثنا عفان ، قال : ثنا حماد ، قال : ثنا عمرو بن دينار ، أن ابن عباس قال في قوله ( وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ ) قال: هم المشركون من أهل بدر.

حدثنا الحسن بن محمد ، قال : ثنا عبد الجبار ، قال : ثنا سفيان ، عن عمرو ، قال : سمعت عطاء يقول: سمعت ابن عباس يقول: هم والله أهل مكة ( الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَةَ اللَّهِ كُفْرًا وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ ).

 حدثنا القاسم ، قال : ثنا الحسين ، قال : ثنا صالح بن عمر ، عن مطرف بن طريف ، عن أبى إسحاق قال: سمعت عمرا ذا مرّ يقول: سمعت عليا يقول على المنبر ، وتلا هذه الآية ( أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَةَ اللَّهِ كُفْرًا وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ )  قال: هما الأفجران من قريش ، فأما أحدهما فقطع الله دابرهم يوم بدر ، وأما الآخر فمُتِّعوا إلى حين.

 حدثني محمد بن عمرو ، قال : ثنا أبو عاصم ، قال : ثنا عيسى = وحدثني الحارث ، قال : ثنا الحسن ، قال: حدثنا ورقاء ، وحدثنا الحسن ، قال : ثنا شبابة ، قال : ثنا ورقاء جميعا ، عن ابن أبي نجيح ، عن مجاهد قوله( بَدَّلُوا نِعْمَةَ اللَّهِ كُفْرًا ) قال: كفار قريش.

 حدثنا أحمد بن إسحاق ، قال : ثنا أبو أحمد ، قال : ثنا عبد الوهاب ، عن مجاهد ، قال : كفار قريش/ حدثنا المثنى ، قال : ثنا أبو حذيفة ، قال : ثنا شبل ، عن ابن أبي نجيح ، عن مجاهد( بَدَّلُوا نِعْمَةَ اللَّهِ كُفْرًا ) كفار قريش.

 حدثنا القاسم ، قال : ثنا الحسين ، قال : حدثني حجاج ، عن ابن جريج ، عن مجاهد ، مثله

حدثنا الحسن بن يحيى ، قال : أخبرنا عبد الرزاق ، قال : أخبرنا ابن عيينة ، عن عمرو بن دينار ، عن عطاء ، قال : سمعت ابن عباس يقول: هم والله ( الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَةَ اللَّهِ كُفْرًا وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ ) قريش. أو قال: أهل مكة.

….

  حدثني المثنى ، قال : ثنا عمرو بن عون ، قال : أخبرنا هشيم ، عن إسماعيل بن أبي خالد ، عن أبي إسحاق ، عن بعض أصحاب عليّ ، عن عليّ ، في قوله( أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَةَ اللَّهِ كُفْرًا ) قال: هم الأفجران من قريش من بني مخزوم وبني أمية ، أما بنو مخزوم فإن الله قطع دابرهم يوم بدر ، وأما بنو أمية فمُتِّعوا إلى حين.

(Abu Salafy: Keterangan Ali ra di atas sama dengan keterangan beliau sebrlumnya)

….

حُدثت عن الحسين ، قال : سمعت أبا معاذ يقول: أخبرنا عبيد بن سليمان ، قال : سمعت الضحاك ، يقول في قوله ( أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَةَ  اللَّهِ كُفْرًا ) … الآية ، قال : هم مشركو أهل مكة.

 Abu Salafy:

Demikianlah Imam Ibnu Jarîr ath Thabari menjelaskan dan memaparkan keterangan para sahabat besar, seperti Sayyidina Umar dan Sayyidina Ali ra. dan mereka adalah Salaf Shaleh kita; Ahlusunnah, walaupun kali ini, ketika para Salaf Shaleh itu menafsirkan ayat dengan tafsiran yang tidak sejalan dengan hawa nafsu mereka pastilah mereka akan memasukkan para tokoh Salaf Shaleh itu ke dalam kerangjang sampah! Mereka campakkan jauh-jauh!

 Keterangan Ibnu Katsir

Ibnu Katsir yang sering menjadi kebanggaan para sarjana dan muallaf Salafi Wahhâbi karena sikap ‘miringnya’ kepada Sayyidina Ali, seperti juga Ibnu Taimiyah; guru kepercayaannya, kini ia menjelaskan apa adanya, sehingga ketarangannua penting disitir di sini.

Dalam tafsirnya yang terkenal Ibnu Katsir[1] merangkum keterangan para sahabat dan generasi Salaf Shaleh tentang ayat di atas.

Di antaranya ia berkata:

قال ابن أبي حاتم: حدثنا أبي، حدثنا ابن نفيل قال: قرأت على مَعْقِل، عن ابن أبي حسين قال: قام علي بن أبي طالب، رضي الله عنه، فقال: ألا أحد يسألني عن القرآن، فوالله لو أعلم اليوم أحدا أعلم مني به  وإن كان من وراء البحار لأتيته. فقام عبد الله بن الكواء فقال: من الذين بدلوا نعمة الله كفرًا وأحلوا قومهم دار البوار؟ فقال: مشركو قريش، أتتهم نعمة  الله: الإيمان، فبدلوا نعمة الله كفرا وأحلوا قومهم دار البوار

… dari Ibnu Abi Husain ia berkata, “Ali bin Abi Thalib ra. berdiri lalu berkata. ‘Tidakkah ada seorang yang mau bertanya kepadaku tentang Al Qur’an. Demi Allah, andai aku sekarang ini tau ada seseorang yang lebih mengerti tentang Al Qur’an dariku, walaupun ia berada di balik lautan sana pastilah aku datangi ia.’ Maka bangkitlah Ibnu Kawâ’ lalu berkata, ‘Siapakah yang dimaksud dengan: orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan,” ia berkata, “Mereka adalah kaum Musyrik Quraisy. Datang kepada mereka nikmat Allah lalu mereka menukarnya dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan,”

Al Adawi berkata tentang ayat di atas:

وقال العدوي في قوله: { أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَةَ اللَّهِ كُفْرًا } الآية، ذكر مسلم المستوفي عن علي أنه قال: هم الأفجران من قريش: بنو أمية، وبنو المغيرة، فأما بنو المغيرة فأحلوا قومهم دار البوار يوم بدر، وأما بنو أمية فأحلوا قومهم دار البوار يوم أحد. وكان أبو جهل يوم بدر، وأبو سفيان يوم أحد. وأما دار البوار فهي جهنم.

“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan,”Muslim al Mustawfi menyebutkan dari Ali bahwa ia berkata, “Mereka adalah dua keluarga jahat dari suku Quraisy yaitu bani Umayyah dan bani Mughirah. Adapun bani Mughirah mereka telah menjatuhkan kaumnya ke dalam kebinasaan di hari perang Badar. Adapun bani Umayyah mereka menjatuhkan kaumnya ke dalam kehancuran di parang Uhud. Abu Jahal di hari parang Badar sedangkan Abu Sufyan di hari parang Uhud. Adapun maksud Dârul Bawâr adalah neraka Jahannam.

 وقال ابن أبي حاتم، رحمه الله: حدثنا محمد بن يحيى، حدثنا الحارث بن منصور، عن إسرائيل، عن أبي إسحاق، عن عمرو بن مرة قال: سمعت عليا قرأ هذه الآية: { وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ} قال: هم الأفجران من قريش: بنو أمية وبنو المغيرة، فأما بنو المغيرة فأهلكوا يوم بدر، وأما بنو أمية فمتِّعوا إلى حين.

 ورواه أبو إسحاق، عن عمرو بن مرة، عن علي، نحوه.

 وروي من غير وجه عنه.

Ibnu Abi Hâtim meriwayatkan…… dari ‘Amr bin Murrah ia berkata, “Aku mendengar Ali membaca ayat ini: “وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ dan berkata, “Mereka adalah dua keluarga jahat dari suku Quraisy; bani Umayyyah dan bani  Mughirah. Adapun bani Mughirah mereka telah dibinasakan dalan parang Badar. Sedangkan bani Umayyah mereka diberi tangguh hingga waktu tertentu.”

Dan atsar serupa juga diriwayatkan Abu Ishaq dari ‘Amr bin Murrah dari Ali.

Dan selain jalur di atas, banyak jalur lain yang meriwayatkan tafsir Ali.

 وقال سفيان الثوري، عن علي بن زيد، عن يوسف بن سعد، عن عمر بن الخطاب، في قوله: { أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَةَ اللَّهِ كُفْرًا } قال: هم الأفجران من قريش: بنو المغيرة وبنو أمية، فأما بنو المغيرة فكُفيتمُوهُم يوم بدر، وأما بنو أمية فمتعوا إلى حين.

Sufyan ats Tsawri meriwayatkan … dari Umar bin al Khaththab tentang firman Allah: “Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran.” Umar berkata, “Mereka adalah dua keluarga jahat dari suku Quraisy; bani Umayyyah dan bani  Mughirah. Adapun bani Mughirah mereka telah dibinasakan dalan parang Badar. Sedangkan bani Umayyah mereka diberi tangguh hingga waktu tertentu.

وكذا رواه حمزة الزيات، عن عمرو بن مرة قال: قال ابن عباس لعمر بن الخطاب: يا أمير المؤمنين، هذه الآية: { الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَةَ اللَّهِ كُفْرًا وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ } قال: هم الأفجران من قريش: أخوالي وأعمامك فأما أخوالي فاستأصلهم الله يوم بدر، وأما أعمامك فأملى الله لهم إلى حين.

Demikian juga diriwayatkan oleh Hamzah az Zayyât dari ‘Amr bin Murrah, ia berkata, “Ibnu Abbas berkata kepada Umar, ‘Wahai Amirul Mukminin, ayat ini: “orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan,”, siapa yang dimaksud? Umar berkata, ““Mereka adalah dua keluarga jahat dari suku Quraisy; paman-paman dari sisi ibuku dan paman-paman dari sisi ayahmu (bani Umayyah maksudnya_pen). Adapun paman-paman dari sisi ibuku, Allah telah binasakan mereka. adapun paman-paman dari sisi ayahmu maka Allah memberi tangguh hingga waktu tertentu.”

 Abu Salafy:

Tentu jelas bagi Anda bagaimana makna sebenarnya ayat di atas, dan siapa sebenarnya yang dimaksud dengannya!

Dan ini semua membuktikan betapa bahayanya bani Umayyah… sebab selain mereka adalah pohon terkutuk dan akan menjadi fitnah atas umat Islam… mereka ini akan diberi tangguh dalam menjalankan agenda penyesatan hingga waktu tertentu persis Iblis yang kebedaraannya sebagai ujian bagi umat manusia. Dan ini sesuai denga himat penciptaan… di mana Allah selain melengkapi manusia dengan akal sehat dan fitrah serta megutus para nabi dan rasul dengan membawa kitab suci demi membimbing mereka ke jalan kebahagian dan surga… Allah juga melengkapi manusia dengan hawa nafsu dan juga musuh-musuh yang akan menghalang-halnagi mereka menuju kesempurnaan penghambaan demi meraih kebagiaan di sisi Allah SWT.

Allah memberi tangguh bani Umayyah sebagai ujian bagi umat manusia pada umumnya dan khususnya umat Islam!

Dan di antara bukti beratnya ujian bani Umayyah yang tidak sedikit dari umat Islam terjatuh dan gagal adalah banyak umat Islam yang masih tertipu oleh propaganda penyesatan bani Umayyah sehingga mereka menjadi agen-agen aktif dalam membela Mu’awiyah dan bani Umayyah pada umumnya!

Semoga Allah menyelamatkan kita dari tipu daya dan propaganda penyesatan bani Umayyah. Âmîn Yâ Rabbal Âlamîn.

(Bersambung insya Allah)


[1] 4/509.


Ibnu Taimiyah Syaikhyul Islam Atau Syaikhun Nifâq? (7)

$
0
0

Kata Ibnu Taimiyah: Perjuangan Ali Tidak Ada Nilai Dan Perannya!

Tak henti-hentinya, Ibnu Taimiyah memuntahkan nanah kedengkiannya kepada Sayyidina Ali, kesatria Islam yang sangat berjasa membela Nabi saw. di dalam seluruh perjalanan dakwah beliau saw., utamanya di medan perang, di saat kaum kafir, khususnya kafir Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sufyan, bapak Mu’awiyah.

Jasa Ali bin Abi Thalib ra dalam membela Nabi saw. bukan perkara yang perlu diperselisihkan. Tidak seorang pun meragukannya apalagi mengingkar besarnya jasa perjuangan da pembelaan Ali.

Tetapi anehnya, Ibnu Taimiyah dengan kata-kata kejinya berani memuntahkan nanah kemunafikannya dengan mengatakan bahwa pedang Ali dalam membela Nabi saw. itu tidak ada pengaruhnya… . bukan sesuatu yang hebat… banyak pedang lainnya yang ketika berjasa…. Demikianlah Ibnu Taimiyah mencekoki para mukallid butanya dengan doktrin menyesatkan yang semuanya bertujuan mengecilkan bahkan menafikan jasa besar Ali bin Abi Thalib ra.

Tetapi yang mengenal siapa sebenarnya Ibnu Taimiyah dan bagaiamana kebusukan jiwanya terhadap Nabi dan keluarga beliau, khususnya Sayyidina Ali bin Abi Thalib tidak akan heran terhadapnya!

Sekali lagi kedengkian itu ia munculkan dalam bantahannya kepada seorang alim Syi’ah bernama al Hilli yang mengatakan bahwa perjuangan Ali sangat besar jasanya atas Islam.

Alim Syi’ah itu berkata, “Sesungguhnya dia (Ali) adalah paling beraninya manusia, dan dengan padangnyalah pondasi-pondasi Islam kokoh dan tegaklah pilar-pilar keimanan. Ali tidak pernah lari barang sekali pun dalam peperangan, seperti yang lainnya lari… “[1]

Perhatikan baik-baik kekejian kata-kata Ibnu Taimiyah dalam bantahannya atas perktaan Alim Syi’ah itu di bawah ini:

Ibnu Taimiyah membanatah, “Adapun ucapannya bahwa ‘Ali adalah paling beraninya manusia’ maka ini adalah kidzbun, kepalsuan belaka. Paling benarinya manusia adalah Rasulullah saw. … “[2]

Abu Salafy:

Perhatikan sobat abusalafy yang cerdas jawaban Ibnu Taimiyah (yang mengaku membela Ahlusunnah di hadapan orang-orang Syi’ah)! Apakah memang klaim ini yangt sedang diajukan oleh si alim Syi’ah itu?! Apakah al Hilli sedang mengatakan bahwa Ali lebih berani dibanding Rasulullah saw. sehingga harus dibantah dengan apa yang dikatakan Ibnu Taimiyah?!

Sikap bodoh (atau lebih tepatnnya bodoh-bodohan) seperti inilah yang menjadikan saya berulang kali mengatakan bahwa bantahan Ibnu Taimiyah atas alim Syi’ah hanya membuat malu kita Ahlusunnah di hadapan mereka! Mereka pasti akan mengatakan bahwa para ulama Ahlusunnah tidak layak diajak diskusi mengingat mereka lâ yakâdûnâ yafqahûna qaulâ/hampir-hampir tidak mengerti omongan orang waras!

Jawaban Ibnu Taimiyah di atas justru akan membuat Ahlusunnah terpojok di hadapan dalil-dalil Syi’ah!

Karena itu, kita harus tegas mengatakan bahwa kitab Minhâj as Sunnah tidak mewakili jawaban Ahlusunnah atas Syi’ah. Ia hanya mewakili Ibnu Taimiyah dan kaum Nashibi lainnya!

Setelah itu, perhatikan lanjutan bantahan Ibnu taimiyah atas pendalilan al Hilli di atas.

“(Pasal): Saya berkata, “Adapun ucapannya (al Hilli), ‘Dengan pedangnya pondasi-pondasi Islam kokoh dan pilar-pilar agama pun tegak berdiri’ maka ia adalah kepalsuan yang nyata, kidzbun dzâhirun bagi setiap orang yang mengenal Islam. Tetapi pedang Ali adalah bagian dari banyak pedang, bagian dari banyak sebab kokhnya pondasi-pondasi Islam.

Dan banyak dari peristiwa yang dengannya Islan tegak kokoh, pedang Ali tidak memberikan pengaruh sedikit pun, seperti peristiwa perang Badar. Dalam perang itu, pedang Ali hanya sebuah pedang di antara pedang-pedang yang sangat banyak. Dan telah berulang kami sebutkan bahwa peparangan itu sebanyak sembilan kali. Dan Ali sepeninggal nabi saw. tidak pernah ikut serta dalam memerangi Ramawi dan Persia. Dan tidak diketahui bahwa Ali ikut serta dalam peperangan apapun yang memberikan paran secara sendirian terpisah dari Nabi saw., tetapi kemenangannya dalam berbagai peperangan (bersama Nabi) itu mengikuti pertolongan untuk Rasulullah saw.

Dan peperangan besar yang Ali menjadi panglimanya itu ada tiga; parang Jamal, perang Shiffîn dan perang Nahrawân. Dalam peparangan Jamal dan Nahrawân Ali tertolong/ menang, karena jumlah pasukannya berlipat ganda dari jumlah pasukan lawan. Namun kendati demikian ia tidak dapat mengalahkan total pasukan musuh, bahkan mereka lah yang mengalahkannya sehingga ia gugur menuju kemuliaan dan kerelaan Allah. Urusan Ali kian melemah dan perkara pasukan yang memeranginya kian kuat. Ini semua menunjukkan bahwa ketertolongan Ali yang ia peroleh di masa hidup Nabi saw. itu adalah pertolongan dari Allah untuk Rasul-Nya dan untuk para pejuang yang berperang bersama beliau demi membela agama. Karena sesungguhnya Allah berfirman:

إِنَّا لَنَنْصُرُ رُسُلَنا وَ الَّذينَ آمَنُوا فِي الْحَياةِ الدُّنْيا وَ يَوْمَ يَقُومُ الْأَشْهادُ

“Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat).” (QS. Al Ghafir [40];51)

Demikian pula dengan pertolongan yang didapat selain Ali, seperti pertolongan yang didapat Abu bakar, Umar dan Utsman atas orang yang mereka perangi adalah pertolongan dari Allah untuk Rasul-Nya seperti yang Dia janjikan dalam kitab-Nya.”[3]

Abu Salafy:

Sengaja saya kutipkan keterangan panjang Ibnu Taimiyah agar menjadi jelas dan tidak ada alasan bagi sebagia Salafi untuk mengatakan bahwa saya tidak jujur dan menotong-motong keteranga Ibnu Taimiyah!

Dari keterang panjangnya di atas jelas bagi kita bagaimana Ibnu Taimiyah berusaha mengingkari jasa besar Ali dan menenggelamkannya di antara parang para sahabat lain. Walaupun kita mengakui jasa dan paran para sahabat selain Ali, namun adalah tidak adil apabila dengan alasan menampakkan jasa para sahabat kita meremehkan jasa Sayyidina Ali, singa padang pasir tak terkalahkan, asadullahi al ghâlib yang jasa dan padang tajamnya telah membuat para pendekar kafir Quraisy termasuk kakek dan paman-paman Mu’awiyah tersungkur mati akibat sebatan pedang tajam Ali!

Dengan kata-kata sumbangnya itu, Ibnu Taimiyah ingin menanamkan dalam benak para mukallid butanya bahwa jangan kamu terlalu membesar-besarkan jasa dan perjuangan Ali! Kemenangan Ali itu bukan karena Ali dan kehebatan serta kegigihan perjuangannya. Tetapi ia adalah pertolongan Allah untuk Rasul-Nya, karena Ali berjuang bersama Nabi, Allah memberikan kemenangan dan pertolongan itu, bukan untuk Ali… tapi untuk Rasul-Nya. Buktinya ketika Ali berjuang sendirian sepeninggal Nabi, Ali meneguk cawan pahit kekalahan.

Jadi janji Allah itu hanya berlaku untuk para rasul-Nya dan orang-orang beriman yang berjuang bersama beliau dan demi membela agama Allah dan menegakkan Kalimatullah! Adapun ketika seseorang itu berjuang dema nafsu kekuasaan, maka ia seperti Fir’aun dan Allah pasti tidak akan memberikan pertolongan-Nya!

Abu Bakar, Umar dan Utsman ditolong Allah atas musuh-musuh mereka karena mereka berjuang menegakkan agama Allah. Karenanya Allah menolong mereka sesuai janji-Nya dalam ayat di atas.

Adapun Ali… Ya, adapun Ali, Allah menelantarkannya! Mengapa? Karena perjuangan Ali tidak karena Allah! Ia berjuang demi kekuasaan dan melampiaskan syahwat memerintah! Ya demikian Ibnu Taimiyah dengan penuh kekejian menuduh Khalifah Ali ra.!

Ini bukan fitnah saudaraku! Ini adalah kenyataan yang selalu tidak pernah mau diakui para Salafi yang sudah terlanjur cinta kepada Ibnu Taimiyah seperti bangsa Yahudi mencintai patung anak sapi… karenanya Allah menyesatkan dan akhirnya menyiksa mereka dengan siksa di dunia sebelum adzab pedih di akhirat nanti!

Jika Anda ragu, maka saya persilahkan Anda membaca kembali artikel abusalafu dengan Judul: Persembahan Untuk Ustadz Firanda: Ibnu Taimiyah Syeikhul Islam Atau Syiekhun Nifâq? (2))

Ibnu Taimiyah berkata, “Dan Ali berparang agar ia dita’ati dan berbuat sekehendaknya/menguasai jiwa-jiwa dan harta-harta, lalu bagaimana peperangan seperti itu dijadikan peparangan demi agama?!”[4]

Setelahnya Ibnu Taimiyah menyerupakaN Sayyidina Ali dengan Fir’aun yang berperang menumpahkan darah demi syahwat kekuasaan semata! Ia berkata, Maka barang siapa menginginkan kekuasaan dan berbuat kerusakan di muka bumi pastilah ia bukan tergolong orang yang berhagai di akhirat nanti.”

Abu Salafy:

Setelah keterangan di atas, saya ajak sobat abusalafy untuk kembali kepada keterangan palsu Ibnu Taimiyah yang saya sebutkan di awal artikel ini.

Pedang Sayyidina Ali –Karramallahu Wajhahu- Sangat Berjasa Bagi Islam dan Kaum Muslimin!

Jika Ibnu Taimiyah membohongkan bahwa padang Sayyidina Ali ra. itu perjasa dan memberikan andil besar dalam perjuangan melawan kamusyirikan dan kekafiran, khususnya dalam menundukkan keangkuhan sikap kafir Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sufyan, bapak Mu’awiyah yang sangat disanjung kaum Salafi Wahhabi… maka seluruh ulama Islam mengakuinya!

Ibnu Taimiyah menyebut parang Badar sebagai contoh bagaimana pedang Ali ternyata tidak memberikan ta’tsîrun/pengaruh apapun dalam mengokohkan pondasi Islam, maka saya ajak Anda mengikuti laporan Ibnu Hisyam dalam kitab Sîrahnya tentang parang tersebut!

Nama-nama Kaum Kafir Quraisy Yang Dibunuh Sayyidina Ali ra.

Dalam kitab Sîrah Ibnu Hisyâm disebutkan nama tuju belas pasukan kaum kafir Quraisy yang dibunuh sendirian oleh Sayyidina Ali ra. dengan pedangnya dan empat nama yang juga Ali ikut serta dalam membunuh mereka.

Nama-nama mereka adalah sebagai berikut:

  1. Al ‘Âsh bin Sa’îd bin al Umayyah.
  2. Al Walîd bin Utbah bin Rabî’ah.
  3. ‘Âmir bin Abdullah.
  4. Tha’îmah bin ‘Adiy bin Naufal.[5]
  5. Naufal bin Khuwailid bin Asad.
  6. An Nadhr bin al Hârits bin Kildah.
  7. ‘Umair bin ‘Utsmân bin ‘Amr.[6]
  8. Harmalah bin ‘Amr.[7]
  9. Abu Qais bin al Fâkih bin al Mughîrah.[8]
  10. Hâjiz bin as Sâib.
  11. Mu’awiyah bin ‘Âmir.
  12. Uwais bin Mi’yar.[9]
  13. Mas’ûd bin Abi Umayyah bin al Mughîrah.
  14. Abdullah bin al Mundzir bin Abi Râfi’.
  15. Al Âsh bin Munabbbih bin  al Hajjâj.
  16. Abu al Âsh bin Qais bin ‘Adiy.[10]
  17. Uqbah bin Abi Mu’aith.[11]

Adapun pasukan kafir Quraisy yang Ali juga ikut serta mmembunuhnya bersama-sama dengan sahabat lainnya adalah:

  1. Handzalah bin Abu Sufyân (saudara Mu’awiyah). Ali membunuhnya bersama Hamzah dan Zaid bin Hâritsah.
  2. ‘Utbah bin Rabî’ah bin Abdi Syams. Ali membunuhnya bersama Hamzah dan Ubaidullah bin al Hârits (sepupu Rasulullah saw. yang akhirnya beliau gugur syahid dalam perang Badar)
  3. Zam’ah bin al Aswad bin al Muththalib bin Asad. Ali membunuhnya bersama Hamzah dan Tsâbit.
  4. ‘Aqîl bin al Aswad bin al Muththalib. Ali membunuhnya bersama Hamzah.

Imam Muslim dalam Shahih-nya,8/245 hadis no.3033, Imam ath Thabari dalam Târîkh-nya,2/198 dan Ibnu Sa’ad dalam Thabaqât-nya,3/17 meriwayatkan dari sahabat Abu Dzarr ra. bahwa ayat 19 surah al Hajj turun untuk Sayyidina Ali ra., Sayyidina Hamzah dan Sayyidina Ubaidulah bin al Hârits terkait dengan perjuangan mereka ketika berduel melawan pendekar-pendekar kafir Quraisy dalam parang Badar.

هذانِ خَصْمانِ اخْتَصَمُوا في‏ رَبِّهِمْ فَالَّذينَ كَفَرُوا قُطِّعَتْ لَهُمْ ثِيابٌ مِنْ نارٍ يُصَبُّ مِنْ فَوْقِ رُؤُسِهِمُ الْحَميمُ

“Inilah dua golongan (golongan mukmin dan golongan kafir) yang bertengkar, mereka saling bertengkar mengenai Tuhan mereka. Maka orang kafir akan dibuatkan untuk mereka pakaian-pakaian dari api neraka. Disiramkan air yang sedang mendidih ke atas kepala mereka.”

Ibnu Taimiyah berusa membohongkan jasa-jasa Ali dalam parang Badar dan mengingkari kalau Ali membunuh banyak pasukan kafir![12]

Jasa Sayyidina Ali Dalam Parang Uhud.

Adapun jasa dan paran kesatria Ali dalam parang Uhud adalah sangat masyhur. Para sejarawan Islam talah mengabadikannya dalam lembaran-lembaran berharga mareka. Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan Imam ath Thabari dalam Târikh-nya,2/197 dan 514: “Setelah Ali bin Abi Thalib berhasil membunuh panglima pasukan musuh yang memegang bendera, Nabi saw. melihat serombongan pasukan kaum Musyrikin, maka beliau berkata kepada Ali, ‘Serang mereka!’ Ali pun segera menyerang dan memporak-porandakan mereka. Ali membunuh ‘Amr bin Abdullah al Jumahi. Kemudian Nabi saw. melihat lagi sekelompok pasukan kaum Musyrikin lainnya, maka beliau berkata kepada Ali, ‘Serang mereka!’ Ali pun menyerang dan memporak-porandakan mereka. Ali berhasil membunuh Syaibah bin Malik. Lalu malaikat Jibril berkata kepada Nabi saw., ‘Wahai Rasulullah! Sesungguhnya ini adalah pembelaan dan kesetiaan yang luar biasa!’ Maka Nabi pun berkata kepada Jibril as. ‘Sesungguhnya ia dariku dan aku darinya.’ Mendengar ucapan Nabi saw. tersebut, Jibril berkata, ‘Dan aku dari kalian berdua.’

Perawi berkata, ‘Dan terdengarlah suara:

Tiada padang kecuali pedang Dzul Fiqâr… dan Tiada Pemuda Kesatria kecuali Ali.”

Abu Salafy: 

Ketika al Hilli (si alim Syi’ah) menyebutkan bagaimana Ali membela dan menghalau kaum Musyrikin yang menyerang Nabi saw. setelah kekalahan kaum Muslimin akibat ketidak-taatan sebagai pasukan pamanah yang ditempatkan Nabi saw. di puncak gunung untuk membentengi pasukan Islam dari serangan balik kaum kafir… hanya Ali bersama segelintir pasukan Islam saja yang masih bertahan dan tidak lari dari medan perang. Ali selalu menghalau serangan pasukan musuh seperti yang telah Anda baca sebagian keterangannya dari Imam th Thabari -Guru Besar para ahli sejarah Islam-… ketika menyaksikan kenyataan ini, hati Ibnu Taimiyah seakan tidak terima (bakhan bukan seakan, tetapi ia benar-benar tidak terima) sehingga ia dalam dua lembar besar penuh memamerkan kedengkiannya terhadap Sayyidina Ali ra. dengan mengingkari jasa apapun untuk Ali dalam peperanga Uhud di khususnya di saat genting itu!

Saya tidak bermaksud mengingkari bahwa ada beberapa sahabat seperti Abu Dujânah yang menjadikan punggunnya sebagai pameng agar anak-anak panah itu tidak mengenai Nabi saw. sehinggga diriwayatkan punggung beliau menjadi seperti binatang landak, dan beberapa sahabat lainnya yang juga bertahan. Tetapi yang menjijikkan adalah ketika seorang mengingkari jasa dan paran serta kepahlawanan Sayyidina Ali ra. dalam perang Uhud dan di saat yang sangat genting itu! Itulah sikap Ibnu Taimiyah! Ia menafikan seluruh peran Ali dan tidak menyebutnya barang sehuruf saja! Semua yang ia sebut adalah paran sahabat lain! Itu pun kalau riwayatnya shahih atau sekuat riwayat tentang paran dan jasa Ali ra.!

Jumlah Pasukan Kafir Yang Dibunuh Ali Dalam Parang Uhud

Setelah data sejarah di atas yang mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib-lah yang membunuh para pemegang bendera kaum kafir Quraisy, di sini saya bermaksud melengkapi nama-nama kaum kafir yang terbunuh di tangan Ali ra.

Mereka adalah:

  1. Thalhah bin Abu Thalhah. Nama asli Abu Thalhah adalah Abdil ‘Uzzâ bin ‘Utsmân bin Abdi Dâr.
  2. ‘Utsmân bin Abi Thalhah bin Abdil Uzzâ.
  3. Musâfi’bin Thalhah bin Abdil ‘Uzzâ.
  4. Jullâs, Kilâb bin Thalhah bin Abdil ‘Uzzâ.
  5. Al Hârits bin Thalhah bin Abdil ‘Uzzâ.

Mereka semua adalah pemegang bendera peperangan yang disegerakan pedang Ali menuju neraka jahannam. Adapun dari selain pemegang bendera yang juga dibunuh Ali adalah:

  1. Waqâsith bin Syurahbîl dari suku Bani Abdi Dâr.
  2. Shuâb.
  3. Hubsyi budaknya Yazîd bin ‘Umair bin Hâsyim bin Abdi Manâf bin Abdi Dâr.
  4. Abdullah bin Humaid bin Zuhair bin al Hârits bin Asad bin Abdil ‘Uzzâ.
  5. Abu al hakam bin al Akhnas bin Syarîq bin ‘Amr bin Wahb ats Tsaqafi.
  6. Abu Umayyah bin Abi Hudzaifah bin al Mughîrah al Makhzûmi.
  7. Hisyâm bin Abi Umayyah al Makhzûmi.

Demikianlah sejarah mencatat…. perjuangan dan kesatrian yang tak tertandingi… beliau tetap setia mendampingin Nabi saw. dan tidak lari bersama sabahat lain ketika terdengar isu bahwa Nabi Muhammad sawt telah terbunuh… Allah memuji mereka yang tetap setia dan tidak meninggalkan Rasul-Nya dengan menyindir mereka yang lari itu akibat diperdaya dan dikuasai oleh setan karena dosa-dosa mereka. Allah berfirman:

إِنَّ الَّذينَ تَوَلَّوْا مِنْكُمْ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعانِ إِنَّمَا اسْتَزَلَّهُمُ الشَّيْطانُ بِبَعْضِ ما كَسَبُوا وَ لَقَدْ عَفَا اللَّهُ عَنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَليمٌ

 Sesungguhnya orang- orang yang berpaling di antaramu pada hari bertemu dua pasukan itu, hanya saja mereka digelincirkan oleh setan, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau) dan sesungguhnya Allah telah memberi maaf kepada mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (QS. Âlu ‘Imrân; 155)

Abu Salafy:

Ikhtisar kata, Ibnu Taimiyah benar-benar keterlaluan dalam kebiadapannya ketika mengatakan bahwa padang Ali tidak sedikit pun punya ta’tsîrun/pengaruh dalam menegakkan pondasi Islam!

Bukankah sikap itu adalah ungkaan kedengkiann yang mendalam terpendam dalam jiwa busuknya?!

Bukankah kita harus marah ketika ada seorang sahabat, apalagi sekelas Ali, Khalifah keempat, menantu Rasulullah saw., pahlawan Islam terkemuka dan pintu kota ilmu Nabi dilecehkan oleh siapapun! Apalagi oleh seorang anak Taimiyah.

Lalu mengapakah kalian wahai kaum Salafi Wahabi diam seribu bahasa dan tidak menampakkan pembelaan kalian kepada Sayyidina Ali (walaupun hanya sekedar berpura-pura saja dalam membela) ketika Ibnu Taimiyah mengecilkan peran beliau bahkan menginkarinya?!

Lalu apakah kalian akan diam, misalnya apabila abusalafy menyajikan laporan para ulama; para muhaddis dan para sejarawan bahwa ada banyak sabahat Nabi saw. yang lari meninggalkan dan membiarkan Nabi saw. diserang pasukan musuh dan dihujani anak panah mereka.. hanya sekedar mendengar isu bahwa Nabi saw. telah terbunuh?! Apakah kalian akan diam atau justru akan mengatakan bahwa abusalafy adalah Syi’ah Rafidhah karena telah meghina para sahabat Nabi saw. Sementara itu, laporan tentang melarikan dirinya banyak sahabat itu telah diriwayatkan dalam riwayat-riwayat shahih bahkan, Al Qur’an pun menyebutkannya?!

Apakah Anda akan menuduh Allah SWT sebagai Syi’ah Rafidhah karena menyebutkan larinya para sahabat di parang Uhud itu?!

Lalu mengapakah ketika yang dihina dan difitnah adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. kalian diam dan seakan mengamini sikap penghinaan itu, tetapi ketika Mu’awiyah, anak pasangan serasi si Hindun dan Abu Sufyan (imam kakafiran dan gua kaum munafik), kalian bangkit meraung-raung bak anjing kesurupan setan!

Para Ulama Ahlusunnah Telah Menvonis Ibnu Taimiyah Sebagai Munafik!

Dan tidaklah berlebihan ketika ulama Ahlusunnah menvonis Ibnu Taimiyah Syeikhul Islam-nya kaum Salafi Wahabi sebagai Dedengkot kaum munafik karena sikap kebencian dan kedengkiannya serta mulut busuknya terhadap Imamul Masyâiq wal Maghârib Sayyidina Ali bin Abi Thalib –Karramallahu wajhahu wa Radhiyallahu’anhu-.

Ibnu Hajar berkata dalam kitab ad Durar al Kâminah,1/153 dan seterusnya:

ومنهم من ينسبه إلى النفاق ، لقوله في علي ما تقدّم ـ أي قضيّة أنّه أخطأ في سبعة عشر شيئاً ـ

ولقوله : إنّه ـ أي علي ـ كان مخذولاً حيثما توجّه ، وأنّه حاول الخلافة مراراً فلم ينلها ، وإنّما قاتل للرئاسة لا للديانة ،

ولقوله : إنّه كان يحبّ الرئاسة ، ولقوله : أسلم أبوبكر شيخاً يدري ما يقول ، وعلي أسلم صبيّاً ، والصبي لا يصحّ إسلامه ، وبكلامه في قصّة خطبة بنت أبي جهل ، وأنّ عليّاً مات وما نسيها . فإنّه شنّع في ذلك ، فألزموه بالنفاق ، لقوله صلّى الله عليه وسلّم : ولا يبغضك إلاّ منافق.

“Di antara ada yang menggolongkannya sebagai orang munafik, sebab ucapannya tentang Ali seperti telah lewat (di antaranya yaitu bahwa Ali, ia salah dalam tujuh belas kasus, di mana Ali menentang nash al Qur’an,

dan dikarenakan ucapannya bahwa Ali selalu terhina (tidak ditolong Allah) ke mana pun ia menuju. Dan beliau berulang kali berusaha merebut kekhalifahan namun ia tidak berhasil. Ali berperang hanya karena ingin berkuasa bukan demi agama!,

dan dikarenakan ucapannya bahwa Ali gila kekuasaan,

dan dikarenakan ucapannya bahwa Abu Bakar memeluk Islam di usia tua mengerti apa yang ia ucapkan semantara Ali memeluk Islam di usia kanak-kanak, dan anak kecil tidak sah islamnya,

dan dikarenakan ucapannya bahwa tentang kisah (niatan perkawinan Ali denga putrid Abu Jahl, dan sesungguhnya Ali tidak mampu melupakannya hingga ia mati, ia mengolok-oloknya dalam masalah itu.

Maka para ulama menvonisnya sebagai munafiq berdasarkan sabda Nabi saw. (kepada Ali), ‘Tidak membencimu melainkan orang munafiq.’”

Abu Salafy:

Setelah ini semua masihkah kaum Salafi Wahabi “ngotot” mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah adalah pecinta Sayyidina Ali ra. dan sangat menghormati beliau?!

Atau jangan-jangan mereka punya kamus bahasa tersendiri yang hanya dimengerti oleh keledai atau Salafi dungu!

(Bersambung insya Allah)


[1] Minhâj as Sunnah,8/76. Dan 4/163. Dalam cet. Dâr al Kotob al Ilmiah. Berirut.

[2] Ibid.

[3] Minhaj as Sunnah,8/89 dan dalam cetakan Dâr al Kotob al Ilmiah – Beirut,4/167.

[4] Minhaj as Sunnah,8/329.

[5] Dan ada yang mengatakan bahwa Sayyiduna Hamzah ra. yang membunuhnya.

[6] Dan ada yang mengatakan bahwa Abdurrahman bin ‘Auf ra. yang membunuhnya.

[7] Dan ada yang mengatakan bahwa Khârijah bin Zaid ra. yang membunuhnya.

[8] Dan ada yang mengatakan bahwa Ammâr bin Yâsir ra. yang membunuhnya.

[9] Dan ada yang mengatakan bahwa al Hushain bin al Hârits dan Utsmân bin Madz’ûn ra. yang membunuhnya

[10] Dan ada yang mengatakan bahwa an Nu’mân bin Mâlik atau Abu Dujânah ra. yang membunuhnya.

[11] Dan ada yang mengatakan bahwa Âshim bin Tsâbit ra. yang membunuhnya.

[12] Baca keterangan berbelit Ibnu Taimiyah dalam Minhaj as Sunnah,4/168-169.


Tanggapan Atas Ustadz Firanda dalam buku “Ketinggian Allah Di Atas Makhluk-Nya” (5)

$
0
0

Membongkar Kepalsuan Akidah Salafi Wahhâbi Tentang Ketinggian Fisikal Allah SWT Di Atas Makhluk-Nya

Selain keterangan para ulama besar Ahlusunnah dalam artikel sebelumnya, coba Anda perhatikan keterangan-keterangan para ulama di bawah ini, sebagai bukti lanjutan kepalsuan klaim lugu (baca: dungu) Ustadz Firanda bahwa akidah konyol ala Salafi Wahhâbi adalah akidah Islam yang telah disepakati ulama Ahlusunnah wal Jamâ’ah.

Keterangan Imam Abu Abdillah al Abi al Maliki

Dalam syarahnya atas kitab Shahih Muslim ketika beliau menerangkan hadis Nuzûl, beliau berkata:

والمجسمة القائلون بالجهة يمرون ذلك على ظاهره ، ويحتجون به لمذهبهم ، ويثبتون لله تعالى جهة فوق ، وهو فوق العرش ، ويجعلون النزول حقيقة ، حتى أنّ بعض غلاتهم نزل من إدراج كرسيه وقال : هكذا تمشى للنزول المذكور في الحديث ، تعالى الله عن ذلك لاستحالة الحركة في النقلة عليه سبحانه وتعالى ، ثم الأظهر من قول أهل الحق التأويل ، وهو اختيار الإمام

“Dan kaum Mujassimah yang berkeyakinan bahwa Allah berada di sebuah lokasi memaknai hadis ini secara leterlek, dengannya mereka membela mazhab mereka dan mereka menetapkan bagi Allah sisi atas yaitu di atas Arsy. Mereka memaknai nuzûl/turun sebagai apa adanya, sampai-sampai sebagian Ekstrimis mereka (memperagakan) turun dari tangga kursi dan berkata, ‘Demikianlah turun Allah yang dimaksud dalam hadis ini. Maha suci Allah dari hal tersebut karena mustahil bagi Allah SWT “GERAK dalam keberpindahan”. Kemudian yang nyata dari pendapat/sikap Ahlil haq adalah menakwil (hadis-hadis nuzûl dan yang semisalnya_pen). Dan pendapat ini adalah yang dipilih oleh Sang Imam (al Asy’ari).”

Lalu setelahnya beliau berhujah dengan menyebut keterangan berharga Imamul Haramain al Juwaini dalam kitab al Irsyâd-nya.[1]

Abu Salafy:

Inilah akidah Ahlusunnah tentang Ketridak-butuhan Allah kepada tempat appaun namanya dan di manapun dia. Dan dalam menyajikan akidah suci ini para ulama telah memaparkan berbagai bukti aqliah dan sejalan dengan kesucian Tauhid Al Qur’an dan jauh dari khurafat Ahli Kitab yang bekerja siang malam untuk menyusupkan akidah sesatnya di tengah-tengah umat melalui para pendeta yang berpura-pura memeluk Islam… dan akhirnya sebagian dari umat Islam, karena kurangnya akal sehat, mereka tertipu dengannya dan mempercayainya sebagai akidah Tauhid yang di ajarkan Islam… mereka menelan mentah-mentah hadis/riwayat dan kemudian memaknainya dengan mengandalkan akal-akal yeng telah dicemari oleh syubhat-syubhat Ahli Kitab yang merusak!

Setelahnya, Anda saya ajak menyimak keterangan Imam al Baihaqi di bawah ini.

Keterangan Imam al Hâfidz Abu Bakar al Baihaqi

Dalam kitab al Asmâ’ wa at Tauhîd-nya, Imam al Baihaqi berkata:

وفيما كتب إليّ الأستاذ أبو منصور بن أبي أيوب : أنّ كثيراً من أصحابنا ذهبوا إلى أنّ الاستواء هو القهر والغلبة ، ومعناه أنّ الرحمن غلب العرش وقهره ، وفائدته الإخبار عن قهره مملوكاته ، وأنها لم تقهره ، وإنما خص العرش بالذكر ، لأنه أعظم المملوكات ، فنبه بالأعلى على الأدنى

 والإستواء بمعنى القهر والغلبة شائع في اللغة ، كما يُقال استوى فلان على الناحية إذا غلب أهلها ، وقال الشاعر في بشر بن مروان:

قد استوى بشر على العراق من غير سيف ودم مهراق

 يريد أنه غلب أهله من غير محاربة ….

“Dan pada apa yang ditulis al Ustâdz Abu Manshûr bin Abi Ayyûb: Bahwa sesungguhnya banyak di antara para ulama kami berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Istiwâ’ adalah al Qahru wa al Ghalabah/menguasai dan menaklukan. Dan mankanya adalah: Allah Dzat Yang Maha Rahmân telah menaklukkan dan mengalahkan Asry. Faidah dari ungkapan ini adalah pemberitauan bahwa Allah telah menguasai seluruh makluk/milik-Nya dan mereka tidaklah sekali-kali mengalahkan-Nya. Di sebutnya Arsy secara khusus karena dia adalah makhluk ciptaan-Nya yang paling agung. Dengan menyebutkan yang paling tinggi untuk menunjukkan makhluk yang lebih rendah darinya (pun pasti telah dikuasainya)

Beliau menambahkan: Dan penyebutan kata istiwâ’ dengan arti menguasai dan menaklukkan banyak ditemukan dalam penggunaan, seperti contoh:

استوى فلان على الناحية

Si polan telah beristiwâ atas penjuru/daerah tertentu. Artinya ia telah menaklukkannya.

Seorang pujangga Arab bersyair tentang Busyri bin Marwân:

قد استوى بشر على العراق من غير سيف ودم مهراق

Ia telah beristiwâ’ atas negeri Irak tanpa hunusan pedang dan darah tercucur

Maksudnya, ia telah menaklukkan negeri Irak tanpa peperangan.[2]

Abu Salafy:

Melalui keterangan yang beliau kutip dari Guru besar Abu Ayyûb yang membimbing pemaknaan yang benar secara bahasa dan berlaku dalam pengunaan orang-orang Arab yang fashih tentang makna kata istawâ.

Jadi menafsirkan ayat Istiwâ’ dengan makna menguasai dan menaklukkan bukanlah tafsir yang mengada-ngada dan tidak berbasis bahasa Arab yang kental! Tidak seperti anggapan kaum Mujassimah Musyabbihah dan para pengikut sekte Wahhâbi yang membebek kepada mereka bahwa kata istawâ hanya dapat diartikan duduk/bersemayam. Dan Allah bersemayam/duduk di atas Arsy-Nya! Maha Suci Allah dari pensifatan kaum jahil!

Keterangan Syihâbuddîn bin Jahbal al Kilâbi

Imam Tâjuddîn as Subki dalam kitab Thabaqât asy Syâfi’iyyah al Kubrâ-nya menyebutkan bahwa Ahmad bin Yahya bin Ismail al Halabi telah menulis sebuth buku khusus yang menafikan jihah bagi Allah. Beliau berkata, ‘Aku perhatikan buku karyanya tentang penafian jihah sebagai bantahan atas Ibnu Taimiyah, buku itu lumayan bagus.’[3]

Dan di antara yang beliau sebutkan dalam buku bantahan atas Ibnu Taimiyah itu adalah sebagai berikut:

فالذي دعا إلى تسطير هذه النبذة ما وقع في هذه المدة ، مما علقه بعضهم في إثبات الجهة ، واغتر بها من لم يرسخ له في التعليم قدم ، ولم يتعلق بأذيال المعرفة ، ولا كبحه لجام الفهم ، ولا استبصر بنور الحكمة ، فأحببت أنْ أذكر عقيدة أهل السنة والجماعة

“Yang mendorong ditulisnya buku kecil ini adalah apa yang terjadi dewasa ini yaitu apa yang ditorehkan oleh sebagian orang dalam menetapkan jihah/arah (bagi Dzat Allah SWT). Dan telah tertipu dengannya sebagian orang yang tidak kokoh pendirian akidahnya, tidak bergantung kepada tali pengetahuan dan tidak dikekang oleh kendati pemahaman yang lurus serta tidak berpetunjuk dengan cahaya hikmah. Maka saya ingin menyebutkan akidah Ahlusunnah wal Jamâ’ah tentangnya… (Lalu setelahnya beliau memaparkan akidah Ahlusunnah dalam menafikan jihah bagi Allah SWT).[4]

Dan kemudian beliau berkata:

مذهب الحشوية في إثبات الجهة مذهب واه ساقط ، يظهر فساده من مجرد تصوره ، حتى قالت الأئمة : لولا اغترار العامة بهم لما صُرف إليهم عنان الفكر ، ولا قطَر القلم في الرد عليهم ، وهم فريقان ، فريق لا يتحـاشى في إظهـار الحشـو  وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ عَلَى شَيْءٍ أَلاَ إِنَّهُمْ هُمْ الْكَاذِبُونَ  ، وفريق يتستر بمذهب السلف لسحت يأكله أو حطام يأخذه أو هوى يجمع عليه الطُغام الجهلة ، والرعاع السفلة ، لعلمه أنّ إبليس ليس له دأب إلا خذلان أمة محمد صلى الله عليه (وآله) وسلم ، ولذلك لا يجمع قلـوب العـامـة إلا على بــدعـة وضـلالـة ، يهـدم بهـا الـدين ، ويُفسـد بها اليقين

“Mazhab Hasyawiyah dalam masalah menetapkan arah/lokasi (bagi Allah) adalah mazhab/pendapat yang rapuh dan gugur. Kerusakannya tanpak dari sekedar membayangkannya saja. Sampai-sampai para imam berkata, ‘Andai bukan karena ketertipuan kaum awam kepada mereka pastilah kendali pikiran tidak perlu diarahkan untuk menggubris mereka, dan tidaklah pena mengalirkan tintanya untuk membantah mereka. Mereka ada dua kelompok; satu kelompok yang tidak segan-segan menampakkan akidah ngawurnya, “… dan mereka menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan memperoleh suatu (manfaat) . Ketahuilah, bahwa sesungguhnya merekalah orang- orang pendusta.” Dan satu kelompok lain bersembunyi di balik Mazhab Salaf, demi harta haram yang akan mereka makan atau harta dunia yang mereka ambil atau hawa nafsu yang dengannya mereka menyatukan kaum preman yang jahil dan orang-orang rendahan, karena kelompok ini tau bahwa Iblis tidak punya cita-cita kecuali menyesatkan umat Muhammad saw., karenanya ia tidak menyatukan hati-hati kaum awam kecuali di atas bid’ah dan kesesatan dengannya agama dihancurkan dan keyakinan dirusak….

Kemudian ia menambahkan ketika membantah Ibnu Taimiyah yang tidak henti-hentinya mensifatinya sebagai si Mujassim:

 من قال إنّ الله في جهة العلو ؟ وأنّ الإشارة الحسية إليه جائزة ؟ فإنْ قال هذه طريقة السلف وطريقة الصحابة قلنا : من أين لك هذا ؟ ثم لا تأمن من كل مبتدع أنْ يدعي ذلك .

Siapa berkata bahwa Allah itu belokasi di sisi atas? Dan bahwa isyarat/menunjuk Allah secara fisikal itu boleh dilakukan?

Jika ia berkata, ‘Inilah jalan/pendapat Salaf dan para sahabat.’ Maka kami akan katakan (dalam membantahnya), ‘Dari mana mungkin kamu membuktikan klaim itu?!’ selain itu, kamu tidak merasa aman dari setiap pembid’ah juga akan mengklaim hal yang sama.[5]

Imam as Subki menegaskan bahwa akidah sesat mereka itu sebenarnya diambil dari murid-murid kaum Yahudi, kaum Musyrik dan penganut agama Shabiah. Dan di kalangan umat Islam yang pertama memusculkan akidah sesat ini adalah Ja’d bin Dirham dan darinya diambil oleh Hajm bin Shofwân dan mensohorkannya sehingga akidah ini diidentikkan dengannya.

Imam as Subki juga menambahkan dalam bantahannya atas Ibnu Taimiyah:

ونقل عن ابن خزيمة أنّ من لم يقبل أنّ الله فوق سماواته ، بائن من خلقه وجب أنْ يُستتاب ، فإنْ تاب وإلا ضربت عنقه ، ثم أُلقي على مزبلة لئلا يتأذى به أهل القبلة وأهل الذمة ، فيقال له : الجواب عن مثل هذا قد تقدم ، على أنّ ابن خزيمة قد علم الخاص والعام حديثه في العقائد ، والكتاب الذي صنفه في التوحيد ، ورد الأئمة عليـه أكثر من أنْ يُذكـر ، وقولهـم فيـه فيما قاله هو في غيره معروف .

“Dia menukil dari Ibnu Khuzaimah ucapannya, “Sesiapa yang tidak menerima bahwa Allah berlokasi di atas laingit-langit-Nya, tertisah dari ciptaan-Nya maka wajib untuk diminta bertaubat, jika ia bertaubat maka selesailah urusannya, tapi jika tidak maka wajib dipenggal kepalanya lalu dilempar ke tempat sampah agar umat Islam dan Ahli Dzimmah tidak terganggu. Maka jawaban atasnya dan yang semisalnya adalah telah lewat. Selain itu, Ibnu Khuzaimah telah diketahui baik oleh kaum khusus/ulama maupun oleh kaum awam bagiamana penyimpangannya dalam akidah. Kitab karyanya tentang tauhid dan bantahan ulama agung terhadapnya telah banyak untuk perlu diuraikan di sini dan pendapat para imam terhadapnya dalam apa-apa yang ia ucapkan dalam selain kitab itu juga sudah ma’ruf.”[6]

Beliau melanjutkan:

وحكى عن عبد القادر الجيلي أنه قال : الله بجهة العلو مستو على عرشه ، فليـت شعـري !! لـم احتـج بكـلامه وتـرك جعفر الصادق (ع) والشبلي والجنيد وذي النون المصري وجعفر بن نصير وأضرابهم رضي الله عنهم ؟؟!! ،

“Dia menukil dari Abdul Qadir al Jîli (al Jîlâni) bahwa ia berkata, ‘Allah berada di sisi/lokasi atas bersemayam di atas Arsy-Nya.’ Duhai alangkah anehnya orang itu (Ibnu Taimiyah), bagaimana ia berhujjah dengan ucapannya (Abdul Qadir al Jîlâni) sementara itu ia meninggalkan Ja’far ash Shadiq as., asy Syibli, Junaid, Dzun Nûn al Mishri, Ja’far bin Nushair dan para tokoh semisal mereka semoga Allah meridhai mereka.?!

Dan akhirnya beliau menegaskan:

وكلمات علماء السنة الذين لم يقبلوا كلام الحنابلة في العلو كثيرة جداً ، ولازم كلام بعض الحنابلة الذي حكم بكفر هؤلاء وممن صرح بذلك من وصفوه بإمام الأئمة محمد بن إسحاق بن خزيمة أنْ يحكم بكفر علماء السنة الذين أنكروا القول بالعلو كالحافظ ابـن حجر العسقلاني وأضرابه .

“Dan perkataan para ulama Ahlusunnnah yang meneolak pendapat kau Hanâbilah yang menetapkan sisi/arah atas (bagi lokasi Allah) sangatlah banyak sekali. Dan konsekuensi ucapan sebagian ulama Hanâbilah yang menvonis KAFIR mereka, dan di antara yang berterang-terangan dalam mengafirkan atas dasar akidah di atas adalah orang yang mereka sifati dengan Imamnya para imam; Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah… konsekuensi darinya adalah KAFIRNYA para ulama Ahlusunnah yang menolak akidah keberadaan Allah di sisi atas, seperti al Hafidz Ibnu Hajar al Asqallâni dan yang semisalnya.[7]

Catatan Penting!

Apa yang dinukil atas nama Ibnu Khuzaimah seperti di atas dan juga yang pernah saya sebutkan dalam salah satu artikel sebelumnya adalah penukilan/penisbatan yang tidak shahih. Tetapi para ulama Ahlusunnah ketika menukil ucapan itu bisa jadi karena kaum Mujassimah membenarkannya, maka konsekuensi darinya adalah seperti di atas, pengafiran para ulama Ahlusunnah! Insya Allah pada bagian lain dari tanggapan saya atas Ustadz Firanda saya akan buktikan kepalsuan penukilan atas nama Ibnu Khuzaimah itu. Nantikan!

Abu Salafy:

Dan keterangan tiga ulama besar Ahlusunnah di atas akan semakin menambah panjang daftar bukti kenaifan klaim Ustadz Firanda bahwa Akidah Keberadaan Allah di atas Arsy atau Kertinggian fisikan Allah di atas makhluk-Nya adalah akidah yang telah diijma’kan para ulama Islam!

Sebab keterangan para ulama di atas benar-benar telah memporak-porandakan klaim ijma’ Ustadz Firanda tersebut dan menjadikannya bak secuil kapas yang dihempas aingin topan kenjang.

Dan dengan menyebut keterangan tiga ulama Ahlusunnah di atas saya akhiri sajian pembuktian saya atas kepalsuan klaim Ustadz Firanda dan kaum Salafi Wahhâbi lainnya.

(Bersambung inya Allah)


[1] Ikmâl Ikmâl al Mu’allim,2/385. Cet. Dâr al Kotob al Ilmiah. Beirut.

[2] Asmâ’ wa ash Shifât:519. Cet Dâr al Kotob al Ilmiah. Beirut.

[3] Thabaqât asy Syâfi’iyah,9/35/1302. Cet. Dâr Ihyâ’ al Kotob al ‘Arabiyah. Kairo. Thn. 1974 M.

[4] Ibid.

[5] Ibid.9/69.

[6] Ibid.77.

[7] Ibid.


Akidah Salafi Wahhâbi Tentang Ketinggian Fisikal Allah SWT Adalah Mereka Warisi Dari Akidah Sesat Yahudi! (1)

$
0
0

Persembahan Untuk Ustadz Firanda Dan Para Mujassimûn

Dalam mengusung dan mempropagandakan akidah sesat tentang Ketinggian Fisikal Allah di atas langit para penganut Sekte Sempalan Salafi Wahhâbi tidak terkecuali “Sarjana Awam” kebanggaan para pemuda Salafi lokalan; Ustadz Firanda selalu membanggakan sajian para Mujassimah Musyabbihah seperti adz Dzahabi, Ibnu Qayyim al Jauziyah dan guru besar mereka Ibnu Taimiyah… dan apabila Anda kaji dan teliti ternyata argumentasi yang mereka banggakan adalah pemahaman kekanak-kanakan terhadap ayat-ayat Al Qur’an atau hadis-hadis lemah dan bahkan palsu atau hadis-hadis yang tidak ada sangkut pautnya dengan klaim mereka.

Dan yang paling istimewa dari argumentasi mereka adalah bahwa mereka sangat membanggakan dan mengandalkan ucapan dan penukilan para pendeta Yahudi dari kitab mereka; Taurat yang tentunya telah terkontaminasi dan mengalami tahrîf baik dari sisi teks maupun maknanya.

Inilah yang dilakukan oleh adz Dzahabi dalam kitab al ‘Uluw-nya yang menjadi kebanggaan Ustadz Firanda pada bagian pertama dari atsar/kutipan dari kalangan Tabi’în adalah atsar dari Ka’ab al Ahbâr, seorang pendeta Yahudi yang mengaku memeluk Islam di masa kekhalifahan Umar bin Khaththâb ra. walaupun banyak sahabat dan Tabi’în yang meragukan kejujuran keislamannya! Adz- Dzahabi menulis sub bab dengan judul: Dzikru Ma ittashala binâ ‘an at Tâbi’în Fî Masalati al ‘Uluw/sebutan tentang apa yang bersambung kepada kami dari para tabi’în tentang ketinggian. dalam sub bab ini ia banyak menyajikan penukilan dari kalangan Yahudi dan tentunya ia mengawalinya dengan menyebut penukilan gembong isrâiliyyât yaitu Ka’ab al Ahbâr!

Adz Dzahabi berkata:

280. Berkata Abu Shafwân al Umawi Abdullah bin Sa’îd bin Abdul Malik bin Marwân, Yunus bin Yazid menyampaikan hadis kepada kami dari Zuhri dari Ibnu Musayyib dari Ka’ab al Ahbâr, ia berkata, “Allah berfirman dalam Taurat:

أنا اللهُ فوقَ عبادي ، و عرشِي فوقَ جميعِ خلقِي، و أنا على عرشِي أدَبِّرُ عبادي و لا يخفى عليَّ شيئٌ في السماء و لا في الأرضِ.

“Akulah Allah di atas hamba-hamba-Ku dan Arsy-Ku di atas seluruh makhluk-Ku dan Aku berada di atas Asry-Ku mengatur hamba-hamba-Ku dan tidaklah samar atas-Ku sesuatu apapun di langit maupun di bumi.

Adz Dzahabi berkata, “Para parawinya adalah tsiqat/jujur terpercaya.”

.

Abu Salafy berkata:

Inilah akidah kebanggan kaum Mujassimah yang sekarang diwarisi oleh para penganut sekte Wahhâbi Salafi yang atasnya mereka tak segan-segan mengkafirkan siapapun yang tidak berakidah seperti akidah mereka! Ternyata akidah itu adalah diambil dari seorang pendeta Yahudi yang siang malam aktif meracuni umat Islam dengan ocehan kesesatan ajaran Yahudi yang diatas-namakan Taurat!

Tentu para penbaca masih ingat bagaimana Ustadz Firanda bangkit bak Arab Baduwi kesurupan setan gurun pasir Najd ketika saya (abusalafy) membawakan atsar dari Imam Ali bin Abi Thalir ra., Imam Ali bin Husain ra. dan Imam Ja’far ash Shadiq ra. ia segera mengelaknya dengan mempertnyakan sanadnya dan juga dengan menuduh abusalafy sebagai agen Syi’ah Rafidhah yang menukil dari kitab doa amalan kaum Syi’ah yaitu ash Shahifah as Sajjâdiyah… padahal semua juga mengetahui bahwa atasr-atsar itu saya ambil dari kitab-kitab Ahlusunnah! Tetapi anehnya, justeru terbukti bahwa kaum Mujassimah dan rujukan utama mereka adz Dzahabi dalam kitab al ‘Uluw lah yang membangun akidah sesatnya tentang ketinggian Allah di atas langit/Arsy berdasarkan penukilan dari seorang pendeta Yahudi!

Terlepas dari Ka’ab sebagai seorang yang masih diragukan kejujuran dan kesucian imannya… ucapannya sama sekali bukan sumber agama. Sebab sumber agama adalah al Qur’an, As Sunnah, Ijmâ’ dan akal sehat! Adapun ucapan manusia biasa yang tidak ma’shum, walaupun ia seorang Sahabat, apalagi seorang mantan pendeta, maka ia bukan hujjah dalam agama! Khususnya dalam masalah-masalah yang sedang diperselisihkan di antara mereka sendiri!!

Bahaya Penukilan Kaum Yahudi

Dalam banyak ayat Al Qur’an, Allah telah memperingatkan kita akan bahaya dusta dan kecurangan kaum Yahudi yang sering memutar balikkan firman dan merubah-rubahnya dan kemudian menyajikan firman palsu sebagai firman suci Tuhan. Saya benar-benar heran menyaksikan sikap adz Dzahabi bagaimana ia sudi menjadikan nukilan seorang pendeta Yahudi dari taurat (yang sangat kuat adalah telah mengalami perubahan dalam firman ini) sebagai dalil andalan yang dia banggakan, seperti ia katakan di awal kitabnya setelah membawakan ayat-ayat yang dianggapnya mendukung klaimnya, “Maka jika kamu, wahai hamba Allah berminat untuk obyektif maka berhentilah bersama nash-nash Al Qur’an dan Sunnah, kemudian perhatikan apa yang diucapkan oleh para sahabat dan tabi’în serta para imam tafsir tentang ayat-ayat di atas, dan apa yang mereka kisahkan dari mazhab-mazhab Salaf…

Dan kamu akan menyaksikan ucapan para imam masing-masing berdasarkan tingkatannya setelah menyebutkan hadis-hadis Nabi“

Apakah ucapan dan penukilan Ka’ab al Ahbâr ini yang ia katakan sebagai ucapan para pembesar Tabi’în dan imam Ahli Tafsir? Sungguh memilukan logika kaum Mujassimah yang diwakili oleh adz Dzahabi saat itu dan oleh kaum Wahhâbi dewasa ini!

Apakah mereka tidak mengindahkan firman Allah SWT dalam Al Qur’an suci-Nya:

.

وَ إِنَّ مِنْهُمْ لَفَريقاً يَلْوُونَ أَلْسِنَتَهُمْ بِالْكِتابِ لِتَحْسَبُوهُ مِنَ الْكِتابِ وَ ما هُوَ مِنَ الْكِتابِ وَ يَقُولُونَ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَ ما هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَ يَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَ هُمْ يَعْلَمُونَ

Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan:” Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah”, padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah, sedang mereka mengetahui.(QS.Âlu ‘Imrân [3];78)

Dan:

فَوَيْلٌ لِّلَّذِيْنَ يَكْتُبُوْنَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيْهِمْ ثُمَّ يَقُوْلُوْنَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللهِ لِيَشْتَرُوْا بِهِ ثَمَناً قَلِيْلاً فَوَيْلٌ لَّهُمْ مِّمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيْهِمْ وَوَيْلٌ لَّهُمْ مِّمَّا يَكْسِبُوْنَ

Maka celakalah orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka sendiri lalu mereka berkata, “Kitab ini berasal dari sisi Allah” (dengan tujuan) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka celaka besarlah mereka akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri dan karena (hasil yang) mereka dapatkan (dari jalan ini).” (SQ. 2;79)

Tentu apa yang dibawakan oleh adz Dzahabi dari Ka’ab al Ahbâr termasuk darinya!

Dari kutipan di atas jelaslah bagi kita bagaimana proses menyusupnya isrâiliyyât ke dalam bangunan ideologi Islam dan jelas pula siapa lakon yang berperan aktif menyusupkannya! Yang kemudian melahirkan fahan Tajsîm dan Tasybîh yang sekarang diyakini sebagai akidah Islam oleh Wahhâbi Salafi! Para lakon yang berperang aktif itu tidak lain adalah mantan para pendeta. Seperti Ka’ab al Ahbâr dan kawan-kawan yang berpura-pura memeluk Islam dengan tujuan agar mereka dengan leluasa dapat menyebarkan kesesatan ajaran Yahudi di tengah-tengah kaum Msulimin!

Adalah aneh jika memang benar Ka’ab al Ahbâr tulus dalam mengimani agama Islam dan menerima kenabian Rasulullah Muhammad saw., lalu mengapakah ia masih menyebarkan ajaran Yahudinya dan membacakan taurat palsunya kepada kaum Muslimin?! Mengapakah dia sok menjadi Guru Besar umat Islam dengan mengajarkan poin-poin penting dalam akidah?! Bukankah sebagai seorang muallaf sudah seharusnya ia tawâdhu’ dan tau diri untuk mau belajar dan mempelajari ajaran Islam dari para sahabat dan ulama Tabi’în?! Tapi yang kita saksikan dalam sejarah Ka’ab justeru sebaliknya, ia tidak pernah mau belajar ajaran Islam! Dan ia hanya sok jadi Maha Guru dengan mendektekan kitab agama lamanya!! Buknkah ini semua sudah cukup menjadikan kita paling tidak mencurigai motif dibalik ia memeluk Islam secara formal?! Mengapakah ia tidak menjadi seperti sahabat Salman al Farisi yang sejak memeluk Islam dan beriman kepada Nabi Muhammad saw. ia terus bersemanhgat belajar dan secara sungguh-sungguh telah meninggalkan agama lamanya dan tidak mau lagi menoleh ke belakang dengan mengingat-ngingat apalagi mengajarkan agama lamanya kepada kaum Muslimin!!

Selain itu, seperti telah saya singgung, tidak sedikit sahabat Nabi saw. yang meragukan keislamannya!

Sebelum saya akhiri catatan ini saya ingin mengajak Anda merenungkan pernyataan Ibnu Katsir dalam tafsirnya ketika ia menafsirkan ayat 41-44 surah an Naml setelah menukil sebuah riwayat tentang Nabi Saulaiman as. dari riwayat Ibnu Abi Syaibah dan setelah menyebutkan komentar Ibnu Abi Syaibah tentangnya yang berkata, “Alangkah indahnya hadis ini”. Maka Ibnu Katsir berkata,

“Aku berkata, ‘Bahkan ia adalah hadis yang sangat munkar lagi gharîb. Mungkin ia termasuk kesalahan-kesalahan ‘Athâ’ bin Saîb dalam menukilnya dari Ibnu Abbas. Allah-lah yang Maha Mengetahui. Dan yang lebih dekat dalam konteks kisah-kisah seperti itu adalah diambil dari Ahlil Kitab dari apa yang ia temukan dalam lembaran-lembaran mereka, seperti riwayat Ka’ab dan Wahb (bin Munabbih) -semoga saja Allah mengampuni mereka- yang mereka berdua nukil kepada umat Islam dari berita-berita bani Israil berupa kekacauan berat dan berita-berita ganjil serta aneh-aneh dari apa saja yang tidak pernah terjadi dan dari apa-apa yang telah diubah-ubah dan dirusak-rusak serta telah dihapus (dari kitab Taurat). Dan Allah telah mencukupkan kita dari semua kepalsuan itu dengan apa-apa yang lebih shahih dan lebih manfaat serta lebih jelas dan lebih gamblang. Segala puji bagi Allah!” [1]

.

Abu Salafy:

Apa yang dikatakan Ibnu Katsir di atas adalah tepat sekali dan patut kita renungkan dan acungi jempol, khususnya dari seorang Ibnu Katsir!

Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya telah menulis sebuah bab dalam Kitabul I’tishâm bil Kitâb wa as Sunnah/kitab tentang berpegang teguh dengan Al Qur’an dan Sunnah dengan judul: Bab Qaul an Nabi Shallallahu Alaihi wa Alihi Wa Sallama, Lâ tasalû Ahlal Kitâb ‘An Syai’in/Bab Sabda Nabi saw. ‘Jangan kalian bertanya kepada Ahli Kitab tentang sesuatu apapun!

Dan setelah ini semua adalah sangat mengherankan ketika kita saksikan adz Dzahabi menukil dan mengandalkan nukilan seorang Ka’ab yang jelas-jelas menukil dari kitab yang ia sebut dengan taurat (sebab kita umat Islam telah meyakini bahwa taurat yang beredar dewasa itu dan apalagi sekarang adalah telah mengalami perubahan mendasar!) dan yang lebih mengherakan lagi adalah ucapan dan keyakinan az Dzahabi sendiri di akhir keterangannya ketika ia menyebut biodata Ka’ab dalam kitab Siyar A’lâm an Nubalâ’-nya,3/494: “Maka siapakah sekarang yang berani menghalalkan/ membolehkan berhujjah dengan sesuatu nash dari taurat dengan meyakini bahwa ia benar-benar memang dari taurat yang diturunkan?! Tidak! Sama sekali tidak! Demi Allah!”

.

Abu Salafy:

Di sini saya pun berkata kepada adz Dzahabi dan para Masyâikh dan sarjana Wahhâbi Salafi, “Tidak! Sekali-kali tidak! Tidak berhujjah dengannya kecuali kaum bangkrut! Dan engkau hai adz Dzahabi serta siapa saja yang berakidah dan berpendapat seperti pendapatmu dan bangga berhujjah dengan bualan para pendeta Yahudi, mengapakah kalian jadi penjaja kesesatan ajaran Yahudi atas nama Islam dan akidah Tauhid?!

Begitu juga tuanmu, Syeikh Islamnya kaum Mujassimah; Ibnu Taimiyah juga berdalil dan berhujjah dalam menshahihkan hadis dengan bersandar kepada nash palsu taurat! Saya tidak mengatahui apakah kalain mengetahui kenyataan ini atau tidak?!

Begitu juga dengan para mukallid buta pandahulu kaum Mujassimah, maka seorang Syeikh Wahhâbi Mujassima kental telah menulis sebuah buku konyol dengan judul: ‘Aqîdatu Ahlil Îmân Fî Khalqi Âdam ‘Alâ Shûratir Rahmân/Akidah Ahli Iman (kaum Mukminin) tentang Diciptakannya (Nabi) Adam sesuai bentuk Tuhan Yang Maha Rahman! Di dalamnya pada halaman 76 ia berusaha menetapkan adanya shûrah/bentuk bagi Dzat Allah SWT berdasarkan fatwa Syeikh Islam mereka; Ibnu Taimiyah. Ia berkata, “Dan juga (sebagai bukti lain kebenaran bahwa Allah punya bentuk_pen) adalah bahwa makna ini (bahwa Allah berbentuk) ada di kalangan Ahli Kitab dari kitab-kitab yang mereka warisi dari para nabi seperti kitab Taurat. Maka di dalam as Sifr pertama dikatakan, “Kami (Allah) akan menciptakan manusia sesuai bentuk kami dan menyerupainya… “ 

.

Abu Salafy:

Wahai umat Islam, coba perhatikan dan renungkan bagaimana kaum Wahhâbi Salafi membangun akidah mereka!

.

.

Bani Umayyah Di Balik Peluang Ka’ab Menyebarkan Kesesatan Yahudiyah-nya!

Satu catatan lain yang ingin saya katakan di sini adalah bahwa dengan memperhatikan nama-nama perawi bualan Ka’ab di atas adalah nama-nama keluarga besar bani Umayyah –pohon terkutuk dalam Al Qur’an-!

Dari sini kita juga dapat mengerti mengapa para penguasa bani Umayyah sangat antusias menyebarkan kepalsuan akidah Yahudi dan memberikan peluang seluas-luasnya kepada para pendeta seperti Ka’ab agar menyebarkan racun kesesatannya di tengah-tengah umat Islam!

Mu’awiyah sangat membanggakan kedalaman ilmu Ka’ab dan menyesal karena umat Islam kurang memberikan perhatian selayaknya kepada warisan intelektual Ka’ab!

Demikian juga dengan Abdul Malik bin Marwan ketika disebutkan di hadapannya Shakhr/batu yang ada di Baitul Maqdis ia berkata, Ia adalah batu yang Allah meletakkan kaki-Nya di atas batu itu!”

Jadi para penguasa bani Umayyah-lah yang berada di balik penyebaran akidah Tajsim dan Tasybîh yang diwarisi para tokoh Mujassimah seperti Ibnu Taimiyah dan kemudian sekarang diwarisi dan diperjuangkan oleh pengakut Sekte Wahhâbi Salafi!

Renungkan kenyataan ini jika Anda menginkan kebenaran!

.

Riwayat Kedua Ka’ab al Ahbâr

Selain riwayat konyol di atas yang menjadi kebanggan pengikut sekte Wahhâbi, adz Dzahabi juga menukil dengan bangga riwayat penukilan lain dari Ka’ab yng jauh lebih konyol dan menunjukkan kesesatan akidah Tajsîm dan Tasybîh yang menjadi akidah unggulan Sekte Wahhâbi, yang sampai-sampai demikian “gilanya” riwayat itu, adz Dzahabi sendiri terpaksa menyensor bagian “gila” itu dari riwayat tersebut dan dengan terpaksa ia pun mengakui kemunkaran dan dan “kegilaan” teks dan kandungannya.

Dalam riwayat dengan nomer: 281:

Abu Syeikh meriwayatkan dalam kitab al ‘Adzamah-nya[2], …. bahwa Zaid bin Aslam menyampaikan hadis kepadanya dari ‘Athâ’ bin Yasâr, ia berkata, “Datang seorang menemui Ka’ab ketika ia bersama sekumpulan orang lalu ia berkata, ‘Wahai Abu Ishaq (sapaan Ka’ab_pen), sampaikan kepadaku tentang Dzat Yang Maha Jabbâr/Perkasa -Azza wa jalla-, maka orang-orang pun menganggap besar apa yang ia minta dari Ka’ab. Maka Ka’ab berkata, ‘Biarkan orang itu! Sesungguhnya jika ia seorang yang jahil maka ia akan belajar dan jika ia seorang yang alim maka ilmunya akan bertambah!

Aku akan beritahu kepadamu. Sesungguhnya Allah menciptakan langit-langit dan sejumlah itu pula Allah mencipta bumi. Lalu Dia menjadikan jarak antara setiap dua langit seperti jarak antara langit dunia dan bumi. Dan Dia menjadikan tebalnya seperti itu. Kemudian Dia mengangkat Arsy lalu Dia bersemayam di atasnya. Dan tiada satu langit pun dari langit-langit itu melainkan berbunyi seperti bunyi rahl/kursi/tempat duduk yang di letakkan di atas punggung onta atau kuda) ketika awal dinaiki….

Sampai di sini adz Dzahabi menyensor perkataan Ka’ab dan mengatakan: Dan Ka’ab menyebut kalimat yang munkar yang tidak pantas bagi kita. Sanad riwayat ini bersih….

.

Abu Salafy:

Subhanallah! Inilah akhir dari seorang yang dalam akidahnya mengandalkan ajaran peninggalan para pendeta Yahudi seperti Ka’ab. Para pendeta itu pasti akan meracuni pikiran umat Islam dengan kepalsuan dan sampah akidah sesat agama Yahudi yang telah dipalsukan para pendetanya!

Tahukan Anda wahai sahabat Abu Salafy, kalimat apa yang disebarkan Ka’ab –si pendeta Yahudi yang berpura-pura memeluk Islam itu-? Yang sampai-sampai adz Dzahabi sendiri malu menyebutkannya?!

Ka’ab mengatakan bahwa suara yang terdengar dari langit-langit itu yang menyerupai suara kursi atau tempat duduk yang karena beratnya beban berbunyi krieeet… krieeet!  Ya suara itu akibat bobot berat Dzat Allah! Ka’ab melanjutkan:

.

مِنْ ثِقَلِ الجبارِ فَوقَهُنَّ    

“… dikarenakan beratnya Dzat Yang Maha Jabbâr yang duduk/bersemayam di atasnya!”

.

Inilah akidah kalian wahai Wahhâbi Salafi betapapun kalian berusaha mengelabui umat Islam, namun tetap saja kalian tidak mampu menyembunyikan akidah sesat ini, karena memang sudah sangat kental dengan bangun akidah kalian!

Abu Salafy menyarankan mestinya dahulu, para Tabi’în segera setelah mendengar mulut busuk Ka’ab menyebarkan virus beracun akidah Yahudi ini, atau bahkan sebelum ia sempat menyelasaikan bualan sesatanya itu mereka langsung memukul mulut pembual itu dengan batu karas sehingga ia mendapat pelajaran yang tak akan pernah ia lupakan sepanjang hidupnya!

Saya tidak habis pikir bagaimana generasi Tabi’în yang sangat dibanggakan para Wahhâbi Salafi itu memberikan peluang bagi si Pendeta Yahudi itu untuk menjajakan ajaran sesatnya di tengah-tengah mereka sementara Al Qur’an dengan tegas memperingatkan umat Islam agar hati-hati dari kesesatan kaum Yahudi! Dan di tengah-tengah mereka ada para sahabat dan anak-anak para sahabat yang telah menerima akidah suci dari sumber terpercaya yaitu Al Qur’an dan Sunnah Nabi saw.?!

Sungguh mengherankan bagaimana mereka mengizinkan Ka’ab dan para pendeta lainnya untuk meracuni pikiran umat Islam sementara mereka melarang umat Islam untuk mengucapkan radhiyallah ‘anhu/semoga Allah meridhainya untuk Sayyidina Ali –karramallahu wajhahu-

Sungguh akidah sesat ini sama sekali tidak layak diabadikan oleh seorang Muslim berakal waras, apalagi mengandalkannya dalam membangun akidah yang mereka namakan dengan akidah Islam!!

Dan inilah kualitas atsar dan dalil andalan adz Dzahabi dan kaum Wahhabi Mujassim yang dibanggakan Ustadz Firanda dan ia wasiatkan agar kaum Muslimin membaca dan menelannya mentah-mentah!

Semoga kenyataan ini dapat menyadarkan kita akan bahayanya isrâiliyyât yang banyak tersebar dalam kitab-kitab khususnya dalam kitab-kitab akidah kaum Mujassimah Musyabbihah yang dibanggakan kaum Wahhâbi Salafi termasuk sarjana-sarjana awam setengah intelek yang hanya pandai menelan mentah-mentah sajian beracum para masyâikh Wahhâbi Arab sana!

Semoga kita semua diselamatkan dari kesesatan akidah Tajsîm Tasybîh kaum Wahhâbi Salafi!

(Bersambung Insya Allah)


[1] Tafsir Ibnu Katsîr,3/379.

[2] Riwayat ini dapat Anda baca dalam kitab al ‘Adzamah:91 riwayat nomer:236.  


Telah Terbit Buku Abu Salafy Kedua: “Ahlussunnah Versus Salafi Wahabi”

$
0
0

Alhamdulillah, segala puja dan puji bagi Allah SWT.

Serta Shalawat dan salam atas Nabi Muhammad Saw, keluarga dan para sahabatnya yang mulya.

Dengan senang hati kami informasikan bahwa dengan pertolongan Allah SWT akhirnya kami dapat menyempatkan diri untuk menerbitkan buku kami yang kedua “Ahlussunnah Versus Salafi Wahabi”

Cover_DepanSampul Depan

Buku kecil ini adalah kumpulan artikel (tentunya dengan sedikit penyempurnaan) yang kami tulis dalam blog kami dalam rentang waktu yang tidak sebentar. Ini adalah buku kedua AbuSalafy dan insya Allah akan disusul oleh buku-buku lanjutan.
.
Jika buku pertama lebih menyoroti klaim monopoli kebenaran Salafi Wahabi dan doktrin kekerasan dan ekstrimisme, maka buku kedua ini akan membongkar berbagai sisi kepalsuan klaim Salafi Wahabi bahwa mereka adalah PEWARIS mazhab Salaf Shaleh.
Cover_belakangCover Belakang
Semoga kehadiran buku ini dapat menambah khazanah kepustakaan umat islam di tanah air tercinta dan agar seluk beluk mazhab yang mengklaim sebagai kepanjangan dan pewaris tunggal mazhab Salaf Shaleh dapat diketahui dengan jelas sejatinya.
.
Silahkan mendapatkan buku ini di toko-toko buku terdekat .
.
Selamat Membaca


Karena Kejahatan, Kekejaman Dan Dosa-dosa Besarnya, Sebelum Matinya, Mu’awiyah Mengalami Gangguan Jiwa!

$
0
0

Persembahan Untuk Para Pemuja Gembong Kaum Munafik!

Sulit rasanya menemukan tandingan di antara para tiran dan penguasa kejam untuk kejahatan, dosa-dosa besar, kabâir dan kekejaman-kekejaman yang telah dilakukan Mu’awiyah bi Abi Sufyan selama ia berkuasa, baik selama dua puluh tahun menjadi Gubernur maupun setelah ia merampas kekuasaan dari kaum Muslimin dan menjadi RAJA TIRAN! Dan akibat dari bertumpuknya dosa dan kejahatan kemanusiaan yang telah mencabut dari dalam jiwanya sisa-sisa nilai kemanusian maka ia benar-benar telah berpengaruh pada jiwanya. Sebab setiap dosa, khususnya yang mengangkut hak manusia banyak, dan terkhusus lagi yang terkait dengan para Wali Allah dan hamba-hamba kekasih-Nya pasti berpengaruh dalam kestabilan kewarasan jiwa pelakunya!

Para sejarawan Islam melaporkan bahwa menjelang kematianya Mu’awiyah mengalami gangguan jiwa. Ia seakan melihat sesuatu yang menakutkannya. Ia menjerit-jerit ketakutan! Ia mengomel-ngomel dengan kata-kata yang tidak dipahami! Meminta-minta minum, setel;ah diberinya minum berkali-kali namun ia pun tak terpuaskan dahaganya! Sampai-sampai ia tak sadarkan diri, terkadang sehari dan terkadang dua hari baru siuman! Dan setelah siuman ia pun  menjerit-jerit: “Apa urusanku denganmu hai Hujur bin ‘Adiy!!    “Apa urusanku denganmu hai ‘Amr bin Hamq!! “Apa urusanku denganmu hai putra Abu Thalib!!

Imam ath Thabari melaporkan dalam Târîkh-nya,4/241 bahwa Mu’awiyah dalam sakitnya mengalami naffâtsât!

Semua itu adalah akibat dosa dan kejatahannya dalam membangkang dan memberontak kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib dan kemudian merampas kekhalifahan dan memaksakan kekuasaanya atas umat Islam dengan tangan besi! Dan juga akibat dari dosa-dosanya dengan membunuh para sahabat dan para Wali Allah seperti Hujur bin Adiy dan kawan-kawan! Mu’awiyah seakan atau boleh jadi menyaksikan ruh-ruh suci dan baying-bayang mereka mengejar-ngejarnya!

Ibnu Katsir –yang sangat dikenal membela Mu’awiyah dn bani Umayyah, musuh-musuh Khalifah Ali ra dengan berbagai cara dan dengan seribi satu alas an palsu- telah melaporkan dalam kitab al Bidâyah wa an Nihâyah-nya,8/52 (Cet. Dâr al Hadîts- Cairo) bahwa Ibnu Jarir ath Thabari,4/191meriwayatkan: “Menjelang matinya, Mu’awiyah yugharghir, mengeluarkan suara dari kerongkongannya seakan suara binatang yang sedang disembelih sambil berkata, “Sesungguhnya hariku darimu sangat panjang hai Hujur bin Adiy! Ia ulanginya tiga kali!”

Keterangan serupa juga telah dolaporkan oleh Ibnu al Atsîr dalam al Kâmil-nya,3/338.

Dalam kitab al Futûh-nya Ibnu al A;tsum melaporkan bahwa: Menjelang matinya Mu’awiyah menangis karena apa yang ia alami… dalam sakitnya itu ia menyaksikan banyak hal yang tidak menggembirakannya! Sampai-sampai ia mengoceh seperti ocehan seorang yang sedang sekarat. Ia berkata, ‘Beri aku minum! Beri aku minum! Ia pun minum banyak air tapi tidak terpuaskan rasa hausnya! Bahkan terkadang ia tak sadarkan diri seharian dan terkadang dua hari. Dan ketika ia siuman dari sekaratnya itu ia menjerit-jerit, “Apa urusanku denganmu hai Hujur bin ‘Adiy!!    “Apa urusanku denganmu hai ‘Amr bin Hamq!! “Apa urusanku denganmu hai putra Abu Thalib!!

Abu Salafy:

Inilah nasin akhir Mu’awiyah si gembong Munafik yang berkuasa secara kejam dan tiran atas umat Islam bak Fir’aun! Karenanya tidaklah heran apabila Nabi Muhammad saw. telah menyebut MU’AWIYAH dalam hadis shahih sebagai FIR’AUN UMAT INI! Dan MU’AWIYAH AKAN MATI DI ATAS KEKAFIRAN DAN KEMUNAFIKAN, seperti disabdakan Nabi Muhammad saw dalam hadis shahihnya pula! (seperti akan kami buktikan satu persatu keshahihan hadis-hadis di atas dalam artikel khusus. Nantikan!)

Dan tentunya siksa Allah yang sangat pedih telah menantinya di alam barzakh dan alam akhirat nanti! Dan Allah Maha Adil, tiada menyamakan kaum munafik dangan kaum Mukmin di dunia maupun di akhirat nanti!

Sekilas Tentang Kejahatan  Mu’awiyah Atas Hujr bin Adiy Dkk!

Adapun tentang kejahatan Mu’awiyah yang berakhir dengan pembunuhan terhadap Hujur bin Adiy –seorang sahabat mulia Nabi saw. yang dikenal sangat shaleh dan gigih dalam berjuang dan banyak jasanya dalam perjuangan Islam-, ‘Amr bin Hamq dkk. maka akan kami habas secara khusus dalam artikel-artikel kami tentang hal ini. Hanya saja di sini kami ingin sampaikan bahwa pembunuhan keji yang dilakukan Mu’awiyah terhadap Hujur dan kawan-kawan itu dikarenakan Hujur dan kawan-kawan enggan menuruti Mu’awiyah dan aparatnya untuk mencaci dan melaknati Khalifah Ali ra.! Demi keimanan dan kesetiaan mereka kepada Imam mereka; Ali bin Abi Thalib ra mereka rela mempersembahakan nyawa mereka! Semoga Allah meridhai dan merahmati mereka dan mengutuk Mu’awiyah dan semua yang terlibat dalam pembunuhan keji terhadap jiwa-jiwa mukminah pecinta Rasul dan Ahlulbaitnya yang dihormati Allah SWT.

Nantikan paparannya dalam edisi-edisi akan datang insya Allah.


HUKUM ISLAM VERSI SALAFI WAHABI SAUDI: DA’I SAUDI MEMPERKOSA DAN MEMBUNUH PUTRINYA YG MASIH BALITA DIHUKUM BEBAS

$
0
0

HUKUM ISLAM VERSI SALAFY SAUDI: DA’I SAUDI MEMPERKOSA DAN MEMBUNUH PUTRINYA  YG MASIH BALITA DIHUKUM BEBAS

SUMBER: Crescent Online (Bulan Sabit Online)

Oleh Tahir Mustafa

Maret 2013

Saudi preacherWarga Arab Saudi marah ketika pengadilan membebaskan seorang ustad/da’i yang difonis bersalah karena memperkosa dan membunuh secara brutal putrinya sendiri yang masih berusia lima-tahun walaupun si ustad telah beberapa bulan meringkuk di penjara dan membayar “uang darah” kepada ibu gadis itu yg juga istri si ustad. Hukum apa sebenarnya yg berlaku di kerajaan kolot ini?

Masyarakat macam apa yang tega menghukum ringan seorang peyiksa dan pembunuh anak bahkan membebaskannya hanya karena si korban dinyatakan sebagai miliknya sendiri? Hal ini hanya terjadi di Arab Saudi. Ada dua macam hukum: satu untuk pekerja asing yang hampir tidak memiliki hak apapun, dan satu lagi untuk warga Saudi yang bisa lolos dengan mudah karena kasus pembunuhan. Untuk memahami fenomena tersebut, mari kita perhatikan dua kasus yang tidak saling terkait beserta akibatnya.

Salah satu kasus tentang seorang pembantu rumah tangga [PRT] asal Sri Lanka, Rizana Nafeek yang dituduh membekap bayi di bawah perawatan sampai mati di kota al-Dwadmi pada tahun 2005. PRT Sri Lanka tersebut baru berusia 17 dan baru beberapa minggu bekerja di Arab Saudi. Dia tidak bias berbicara bahasa Arab dan dipaksa untuk mengaku kejahatan di bawah tekanan, tanpa didampingi pengacara dengan semestinya. Kementerian Dalam Negeri Saudi mengumumkan pada tanggal 9 Januari Rizana Nafeek telah dieksekusi meskipun permohonan belas kasihan disampaikan orang tua miskin Rizana kepada Raja Abdullah agar tidak menghukum bunuh sang putri.

Kasus lainnya terkait dengan da’i “selebriti” Saudi yang mengisi acara tetap di televisi negeri itu, Fayhan al-Ghamdi, yang menyiksa dan membunuh putrinya sendiri, Lama, yang masih berusia lima tahun. Ia juga dituduh memperkosa gadis balita tersebut. Al-Ghamdi hanya dijatuhi hukuman beberapa bulan di penjara dan harus membayar “uang darah” sebesar $ 50.000 kepada ibu sang gadis balita yang tentunya istri si ustad sendiri. Hakim menyatakan bahwa ini adalah hukum yang berlaku di Saudi dan sang ustad bisa melenggang bebas.

Berita tersebut menjadi skandal di Saudi dan semua pihak menuntut agar si ustad dihukum mati. Skandal ini kemudian mendapat sorotan publik demikian luas sehingga rezim Saudi terpaksa turun tangan dan menyatakan bahwa si ustad yang bersangkutan akan tetap dipenjara. Sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh Departemen Kehakiman Saudi pada 12 Februari mengatakan al-Ghamdi tetap meringkuk di penjara dan “kasus ini dilanjutkan.”

Jasad gadis mungil Lama, menderita beberapa luka-luka, termasuk tengkorak hancur, tulang punggung, tulang rusuk dan lengan kiri patah serta memar dan lebam di sekujur tubuh. Para saksi mengatakan Lama telah berulang kali diperkosa dan disiksa. Al-Ghamdi mengaku menggunakan tongkat dan kabel untuk menimbulkan cedera setelah meragukan keperawanan putrinya yang masih lima-tahun dan membawanya ke dokter. Insiden itu dilaporkan oleh kelompok Women to Drive yang memimpin kampanye menantang larangan rezim pada wanita mengemudi karena menurut para ulama Saudi, wanita yang mengemudi mobil dapat merusak moral.

Arab Saudi mengklaim menerapkan Hukum Islam dan bahwa konstitusi Negara adalah “Al-Qur’an dan Sunnah” namun di bawah sistem hukum Negara yang sah, ayah tidak bisa dihukum karena membunuh anaknya sendiri demikain pula suami tidak dihukum karena membunuh istrinya. Apa Al-Qur’an dan hadis mengatakan bahwa apa seorang ayah diibolehkan membunuh anak perempuan mereka tanpa dihukum? Demikian pula suami yang membunuh istrinya. Membunuh bayi perempuan adalah praktek umum di kalangan Arab zaman Jahiliyah karena si ayah malu memiliki anak perempuan. Islam mengakhiri praktek biadab itu.

Dalam putusan, hakim ketua mengatakan kepada jaksa bahwa ia hanya bisa meminta “uang darah” dari pelaku, dalam hal ini ayah gadis yang dibunuh. Hakim menolak untuk menjatuhkan hukuman kepadanya dengan mengatakan bahwa menurut “hukum,” ia tidak bisa melakukannya. Sebaliknya, hakim memutuskan: “uang darah” dan hukuman penjara terhadap terdakwa cukup sebagai hukuman atas kematian Lama.” Hukum apa yaag mengizinkan seorang ayah memperkosa putrinya sendiri, memukul hancurk tengkoraknya, tulang rusuk, punggung dan lengan degan menggunakan kabel dan hanya memenjarakannya beberapa bulan saja?

Mari kita kembali ke kasus PRT asal Sri Lanka, Rizana Nafeek yang dihukum setelah pembelaanya tanpa penerjemah. Dia dijatuhi hukuman mati dan dipenggal kepalanya oleh rezim Saudi. Ibu si bayi menuduhnya Rizana membekap korbannya. Rizana membantah keras setelah dia mengerti apa yang didakwakan kepadanya.

Dari keluarga Sri Lanka miskin, Rizana datang untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Arab Saudi dengan harapan mendapatkan kehidupan yang layak untuk menjaga kebutuhan keluarganya kembali di Sri Lanka. Dia dikirim ke rumah Quthaibis dimana ia diminta untuk merawat bayi, memberinya makan, mengganti popoknya, memasak makanan untuk keluarga, mencuci piring dan pakaian serta membersihkan rumah yang tergolong mewah. Hukum Internasional menyatakan orang di bawah usia 18 dianggap masih anak-anak (Rizana Nafeek baru 17 tahun pada waktu itu). Dia mencoba melakukan yang terbaik untuk memenuhi semua tugas.

Suatu hari ketika sang bayi minum susu dengan menggunakan botol kemudian tersedak. Dia bergegas memberitahu ibu bayi. Ketika mereka kembali, bayi tidak bernapas. Sang ibu menuduh Rizana menyebabkan sang bayi tersedak sampai mati. Dia tidak punya alasan untuk dituduh menyakiti bayi tersebut. Namun hal ini menjadi dasar PRT itu diadili dan dieksekusi mati. Meskipun sering melakukan banding ke Mahkama Saudi Saudi termasuk kepada Raja Abdullah, semua itu diabaikan dan Rizana dieksekusi dengan dipancung pada Januari 2013.

Cara pemerintah Saudi menangani kasus Rizana ini menimbulkan kritik keras dari Amnesty International dan Human Rights Watch (HRW). Kedua badan internasional ini dan lainnya juga berpendapat bahwa eksekusi terhadap Rizana telah melanggar Konvensi PBB tentang Hak Anak yang telah diratifikasi Arab Saudi. Bahkan, Arab Saudi adalah melanggar hak-hak anak negerinya sendiri juga perempuan, seperti kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Lama. Saudi tampaknya merupakan pusat dendam khusus terhadap perempuan. Saudi merupakan satu2nya rezim di dunia yang tidak mengizinkan wanita mengemudi.

Sebuah komunitas anti-perang Amerika Serikat United National Anti-War Coalition (UNAC) meluncurkan sebuah petisi melobi pemerintah AS untuk mengakhiri hubungan khusus dengan rezim Saudi dan mengakhiri kesepakatan $ 60 miliar kerjasama pertahanan. UNAC telah menyerukan untuk mengakhiri kekejaman Saudi dan menyerukan kepada pemerintah AS untuk tidak menjual senjata kepada rezim ini.

Menurut harian Inggris, The Guardian, saat ini terdapat 45 orang PRT asing terpidana mati di Arab Saudi. Kebanyakan dituduh membunuh majikan mereka. Saudi dikenal sering menzalimi pembantu rumah tangga miskin, baik dari Sri Lanka atau Filipina. Mereka sering mengalami pelecehan seksual. Jika mereka menolak melayani majikannya, mereka dituduh melakukan segala macam kejahatan. Seringkali tuduhan terhadap mereka adalah percobaan pembunuhan yang berakhir di penjara. Berapa banyak dari 45 pembantu asing di “barisan kematian” itu berakhir. Pada kenyataannya pemerintah Saudi demikian cepat dalam menghukum pekerja migrant asing walaupun dgn bukti-bukti yang lemah.

Gadis-gadis dari keluarga miskin di Sri Lanka, Bangladesh, India dan Filipina yang terpikat oleh agen yang nakal dengan janji gaji yang menggiurkan sebagai pembantu rumah tangga di Arab Saudi. Banyak yang akhirnya dijual ke kubangan prostitusi di kerajaan yang terdapat Haramain itu. Mereka bahkan tidak bisa melarikan diri karena paspor mereka ditangan “majikan” saat tiba di Saudi. Ketika mereka tertangkap, gadis-gadis miskin itu dipenggal kepala mereka dengan sadis. Para penguasa Saudi memiliki tekat mengklaim bahwa mereka mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah. Semoga mereka sendiri segera akan dihakimi dan dihukum sesuai dengan Kitab ilahi!

__________

SUMBER & ARTIKEL ASLINYA

Saudi “celebrity” preacher raped and murdered five-year-old daughter

SOURCE: Crescent Online

by Tahir Mustafa

March, 2013

Saudi preacherPeople in Saudi Arabia were outraged when a court said a preacher who was convicted of raping and brutally murdering his five-year-old daughter was to be set free after a few months in jail and paying “blood money” to the girl’s mother. What kind of law exists in the archaic kingdom?

What kind of society would execute minors after extracting confessions under torture but allow a child killer to get away with a relatively light sentence because he happens to be one of their own? Only in Saudi Arabia does this happen. There are two sets of laws: one for foreign workers that have virtually no rights, and another for Saudi citizens that can get away, literally, with murder. To understand the phenomenon, let us consider two unrelated cases and their outcomes.

One relates to a Sri Lankan domestic servant, Rizana Nafeek who was accused in 2005 of smothering an infant under her care to death in the town of al-Dwadmi. The Sri Lankan maid was barely 17 and had been in the kingdom only a few weeks. She did not speak Arabic and was forced to confess to the crime under duress. She was not properly represented by a lawyer. The Saudi Interior Ministry announced on January 9 it had executed Rizana Nafeek despite mercy pleas from her poor parents to King Abdullah to spare her life.

The other case relates to a Saudi “celebrity” television preacher, Fayhan al-Ghamdi, who tortured and murdered his five-year-old daughter. He was also accused of raping the young girl. Al-Ghamdi was sentenced to a few months in prison and ordered to pay $50,000 in “blood money” to the mother (the preacher’s wife) of the dead girl, Lama. The judge said that is all what is required under Saudi law and the preacher could walk free. The news scandalized Saudis from all walks of life who demanded the preacher be executed. The issue garnered so much publicity that the Saudi regime was forced to intervene and say the preacher would stay in prison. A statement issued by the Saudi Justice Ministry on February 12 said al-Ghamdi remained in prison and the “case was continuing.”

The murdered girl, Lama, had suffered multiple injuries including a crushed skull, broken back, broken ribs, a broken left arm and extensive bruising and burns. Social workers said she had also been repeatedly raped and burnt. The girl’s father, al-Ghamdi, admitted using a cane and cables to inflict the injuries after doubting his five-year-old daughter’s virginity and taking her to a doctor. This was reported by the group, Women to Drive, that leads the campaign challenging the regime’s ban on women driving because according to Saudi preachers, this could lead to immorality!

Saudi Arabia claims to be governed by Islamic Law and that its constitution is the “Qur’an and the Sunnah” yet under the country’s legal system, fathers cannot be executed for murdering their children nor can husbands be executed for murdering their wives. What ayat of the Qur’an and what hadiths say that fathers are permitted to kill their daughters without punishment? The same scandalous exemption exists in the case of husbands killing their wives. Killing daughters, that is, newborn girls, was a common practice in pre-Islamic Arabia because fathers were ashamed of having daughters. Islam put an end to this barbaric practice.

In a ruling, the presiding judge told the prosecution that it could only seek “blood money” from the offender, in this case the murdered girl’s father. The judge refused to sentence him to death saying according to the “law,” he could not do so. Instead, the judge ruled: “Blood money and the time the defendant had served in prison since Lama’s death suffices as punishment.” What kind of law would allow a father to rape his own daughter, break her skull, ribs, back and arm using a cable and yet sentence him to only a few months in prison?

Let us return to the case of the Sri Lankan maid Rizana Nafeek. She was convicted after extracting a confession from her without a translator present to explain to her what she was charged with. Instead, based on this “confession” she was sentenced to death and beheaded by the Saudi regime. The Sri Lankan maid had been in the kingdom only a few weeks and was barely 17 when the incident occurred. The infant’s mother accused her of smothering the child, an allegation Rizana vigorously denied after she understood what she was charged with.

From a poor Sri Lankan family, Rizana came to work as a domestic servant in Saudi Arabia in hopes of earning a decent living to look after her family’s needs back in Sri Lanka. She was sent to the house of the Quthaibis where she was required to look after the infant, feed it, change its diapers, cook food for the family, wash the dishes and clothes as well as clean the house, which was more like a mansion. New to the job and still a minor — under International Law, a person under 18 is considered a minor (Rizana Nafeek was 17 at the time) — she tried her best to fulfill all these chores. One day when she was bottle feeding the infant, it started to choke. She rushed to tell the baby’s mother. When they returned, the baby was not breathing. The mother accused Rizana of choking the baby to death. She had no reason to harm the infant. Yet this became the basis for her trial and subsequent conviction in 2007. Despite frequent appeals to the Saudis including King Abdullah, these went unheeded and Rizana was executed by beheading in January 2013. The life of a poor Sri Lankan maid was not worth much, as far as the Saudis are concerned.

She was given no access to lawyers before her conviction. No translators were provided to explain to her what she was being charged with. Even the Sri Lankan Embassy in Riyadh did not make any serious effort to help her. After all, she was a Muslim — yes, part of the much maligned Muslims worldwide that are up to no good — and not worth spending any time in helping her. The manner in which the Saudi authorities handled Rizana’s case evoked strong criticism from Amnesty International and Human Rights Watch (HRW). These two bodies and others also argued that her execution had breached the UN Convention on the Rights of the Child which Saudi Arabia has ratified. In fact, Saudi Arabia is in breach of violating the rights of its own children as well if they happen to be female, as the case of Lama demonstrates. The Saudis seem to harbour a special grudge against women. It is the only regime in the world that does not allow women to drive.

While the Sri Lankan government did not care much about one of its citizens, a frightened young woman, being brutalized and murdered in a strange land, the American anti-war group, United National Anti-War Coalition (UNAC) launched a petition to lobby the US government to end its special relationship with the Saudi regime and terminate the $60 billion arms deal. UNAC has called for an end to Saudi cruelties and called upon the US government to not sell weapons to this regime.

At its meeting in January, the UNAC Coordinating Committee endorsed the following internet petition to the US president and Congress: “The beheading of domestic worker Rizana Nafeek by the government of Saudi Arabia is the last straw. The regime should be an international pariah. Cancel the $60 billion US-Saudi Arms deal.” (To sign the petition, go to: http://signon.org/sign/condemn-the-execution?source=c.fwd&r_by=1386477).

While it is unlikely that the US government would terminate its relationship with the House of Saud given the American elites’ tight links with Saudi rulers, the fact that groups and organizations in the US are beginning to take note of Saudi atrocities is a hopeful sign. It is grassroots mobilization that would build pressure against such tyrannical regimes and force the US government to take notice even if it does not want to. UNAC seems to have a good grasp of the terrible situation in Saudi Arabia. Its statement that accompanied the petition went on: “The gruesome beheading of Rizana Nafeek, carried out by Saudi Arabian authorities, must mark the end of tolerance for the Saudi regime. This kingdom executes people for witchcraft and blasphemy, and lashes women who dare to drive cars. It does not allow the existence of labor unions, but does permit old men to marry children. Political rights are non-existent and demonstrations are put down violently. The regime is a notorious sanctuary for tyrants from Idi Amin of Urganda to Zine Ben Ali of Tunisia.”

According to the British daily, The Guardian, there are currently 45 foreign maids on death row in Saudi Arabia. Most are accused of killing their employers. The Saudis are notorious for mistreating poor domestic servants, whether from Sri Lanka or the Philippines. They often suffer sexual abuse. If they resist, they are accused of all kinds of crimes they have not committed. Often the charge against them is attempted murder that lands them in prison. How many of the 45 foreign maids on death row will end up on the chopping block is anybody’s guess but the fact is the Saudi authorities are quick to punish foreigners even if the evidence against them is weak. It is the word of the Saudi employer or his relatives versus that of a poor domestic servant with little or no legal representation.

Girls from poor families in Sri Lanka, Bangladesh, India and the Philippines are lured by unscrupulous operators with promises of good pay as domestic servants in Saudi Arabia. Many end up being sold into prostitution rings in the kingdom. They cannot even escape because their passports are snatched by “employers” upon arrival in the kingdom. When they are caught, it is these poor girls that are beheaded for “spreading vice,” not the operators or the Saudis that run such rackets. The Saudi rulers have the gall to claim they are following the Qur’an and the Sunnah. May they be judged and punished according to the divine Book!


Akidah Salafi Wahhâbi Tentang Ketinggian Fisikal Allah SWT Adalah Mereka Warisi Dari Akidah Sesat Yahudi (2)

$
0
0

Akidah Salafi Wahhâbi Tentang Ketinggian Fisikal Allah SWT Adalah Mereka Warisi Dari Akidah Sesat Yahudi (2)

Setelah Anda saksikan bagaimana kaum Mujuassimah Musyabbihah (Wahhâbi Salafi) membangun akidah sesatnya tentang ketinggian fisikan Allah SWT di atas ocehan kaum Yahudi, seperti Ka’ab al Akhbâr dkk. yang berpura-pura memeluk Islm untuk mwrcuni pikiran kaum Muslimin… kini saya ajak Anda mengikuti saya melanjutkan penelusuran terhadap akar akidah Yahudi dalam akidah Salafi Wahhâbi… Kali ini kita akan memergoki dua orang Yahudi pembual dan pembohong besar, kadzdzâb menjadi rujukan utama akidah sesat tersebut. Di adalah Wahb bin Munabbih dan Nauf al Bikâli.

Adz Dzahabi dalam kitab al ‘Uluw -yang sangat dibanggakan kaum Salafi Wahhabi, khususnya yang baru melek agama setelah dikenyangkan pikirannya oleh para masyâikh Wahhâbi Arab TimTeng- menyebutkan keterangan Wahb bin Munabbih dan Nauf al Bakâli sebagai landasan akidahnya tajsîm/posturisasi Allah dan bahwa Allah bertempat dan bersemayam di atas Arsy-Nya… dan bahwa Allah itu bersuara… Pada dua atsar yang ia kutip dengan sanad sebagai berikut:

Wahb bin Munabbih al Yahudi Dari Kitab Taurat!

Atasr Pertama:

Hadis Ahmad bin Muhammad bin Ghalib (dia seorang kadzdzâb/pembohong besar) dari Muhammad bin Ibrahim bin al ‘Alâ’, ia berkata, Ismail bin Abdil Karîm ash Shan’âni menyampaikan hadis, ia berkata, Abdush Shamad bin Ma’qil menyampaikan hadis kepada kami dari Wahb bin Munabbih, ia berkata, “Aku temukan dalam Taurat: “Dialah Allah telah ada sementara belum ada sesuatu apapun dalam ketidak-butuhannya dari ciptaan-Nya. Tiada dikatakan, ‘Bagaimana Dia ada dan di mana Dia berada…. Dia menciptakan Arsy-Nya kemudian dia bersemayam di atas Arsy. Dan kaif tidak diketahui.’”[1]

Abu Salafy:

Sebagaimana Anda telah saksikan langsung bagaimana Wahb bin Munabbih dengan tanpa malu menyebarkan Taurat (yang tentunya sudah banyak mengalami perubahan dan pentahrifan oleh para pendeta Yahudi sendiri) di tengah-tengah umat Islam… persis apa yang dilakukan pendahulunya si Ka’ab al Ahbâr al Yahudi… tentu bukan aneh apabila para endeta Yahudi yang berpura-pura memeluk Islam itu memiliki agenda jahat dalam meracuni pikiran kaum Muslimin setelah mereka tidak mampu memerangi Islam dengan senjata dan secara terang-tarangan… namun yang aneh adalah kemudian sebagian ulama membanggakan nukilan mereka dan seakan ia adalah wahyu suci!!! Inilah yang dilakukan kaum Mujassimah Musyabbihah yang menajdi Salaf kaum Salafi Wahhâbi!

Catatan!

Alhamdulillah, adz Dzahabi sendiri mengakui bahwa mata rantai pertama sanad riwayat di atas adalah seorang pembohong besar, ia adalah Ahmad bin Muhammad bin Ghalib. Adz Dzahabi berkata, “Dia seorang kadzdzâb/pembohong besar.!”

Dalam keterangan lanjutan adz Dzahabi terdapat keanehan yang luar biasa.. di mana ia mengomentari beberapa redaksi riwayat di atas sebagai redaksi yang rendahan. Ia menuduh ini buatan Ghulam, budak Khalil. Tahukan Anda redaksi apa yang ditolak adz Dzahabi dan yang ia katakana sebagai rendahan, tidak memenuhi standar sastra Arab.. redaksi yang ia vonis itu adalah redakasi yang justru mnunjukkan Kemaha Sucian Allah dari Bertempat! Adz Dzahabi berkata, bahwa ucapan seorang, “Di mana Allah?” sebelum Allah menciptakan ciptaan-Nya adalah salah dan tidak boleh diucapkan! Tetapi setelah Allah menciptakan ciptaan-Nya maka pertanyaan itu (“Di mana Allah?”) adakah benar, haq!

Abu Salafy:

Demikianlah akal pikiran jika telah dirusak oleh faham Tajsim, ketika menukil nas yang mensucikan Allah dari jismiyah ia segera menolak dan menuduhnya sebagai rendahan, rakîk! Sementara jika menukil atsar yang mengandung posturisasi Allah dan menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya ia segera mengatakannya ia shahih dan mengandung makna yang mendalam dan luar biasa! Ia menjungkir balikkan dan mengabaikan akal sehat dan bimbingan Syari’at!

Dan sebagaimana akan saya sebutkan nanti bahwa tuhan adz Dzahabi dan kaum Wahhâbi Salafi ternyata tidak hanya duduk di Arsy, tapi ia juga NONGKRONG DI JEMBATAN! 

Atsar Kedua: Adz Dzahabi menyebutkan atsar Wahab dari kitab as Sunnah karya Abdullah putra Ahmad bin Hanbal dengan sanad bersambung sebagai berikut: Abbas al Anbari menulis kepada saya dengan khath/tulisan tangannya, ia berkata, Ismail binAbdil Karim bin Ma’qil bin Munabbih telah menyampaikan kepada kami, ia berkata, Abdush Shamad bin Ma’qi telah menyampaikan kepadaku, ia berkata, ‘Aku mendengar Wahbi bin Munabbih berkata ketika disebut-sebut kemaha agungan Allah Azza wa Jalla, “Sesungguhnya tujuh langit dan laut benar-benar berada di Haikal dan Haikal di Kursi. Dan sesungguhnya kedua telapak kaki Allah berada di ats Kursi, dan Dia memikul Kusri, dan Kusri itu menjadi sebagai Sandal di dalam kedua telapak kaki Allah.”[2]

Abu Salafy:

Demikian adz Dzahabi meriwayatkannya dalam kitab al ‘Uluw: 385 dengan nomer 323 yang sangat dibanggakan oleh para Wahabi Salafi tidak terkecuali sarnaja-sarjana berpikirann kerdil jebolan kampus-kampus kaum Mujassimah di Arab Saudi sana seperti ustadz Firanda!

Dan tidak diragukan lagi bahwa ocehan Wahb di atas adalah dari bualan dan kesesatan yang sengaja diseber-luaskan para pendeta Yahudi di tengah-tengah kaum Muslimin untuk merusak kesucian akidah mereka! Maha Suci Allah dari ocehan kaum sesat dan kafir itu… maha Suci Allah dari memiliki dua telapak kaki dan bersandal atau memiliki dua telapak kaki dan meletakkan keduanya di atas Kursi atau apapun lainnya! Ini benar-benar penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya dan menggambarkan Allah dengan gambaran makhluk! Ini adalah kekafiran nyata!

Mengapakah kaum Mujassimah Musyabbihah yang sekaraang tampil dengan mana Salafi Wahhabi tidak henti-hentinya menyesatkan diri mereka sendiri dengan menelan ocehan dan kesesatan kaum Yahudi seperti Ka’ab al Ahbâr, Wahb bin Munabbih, Nauf al Bakâli dkk.?!

Al Qahthâni –pen-tahqiq kitab as Sunnah- mengatakan, “Dan ucapan Wahb di sini tergolong Isrâiliyyât (kutipan dari kitab-kitab kaum Yahudi_pen) yang tidak perlu dibenarkan dan juga tidak perlu ditolak. Allahu A’lam.”

Apa yang dikatakan al Qahthâni al Wahhâbi di atas bukan hal baru sebab para sarjana Wahhâbi tidak mampu membebaskan diri mereka dari belenggu taklid buta yang membodohkan kepada para pendahulunya. Apa yang ia katakan itu tidak jauh dari apa yang dikatakan adz Dzahabi setelah ia menyebut ocehan murahan Wahb yang mengandung kekafiran nyata di atas.

Adz Dzahabi berkata, “Wahb adalah dari bejana ilmu, tetapi kebanyakan ilmunya tentang berita-berita umat-umat terdahulu. Ia memiliki banyak itab Isrâiliyyât. Ia menukil darinya. Mungkin dia lebih luas ilmunya dibanding Ka’ab al Ahbâr. Dan apa yang ia sifati tentang Haikal dan bahwa bumi lapis tujuh dicela-celai lautan dan lain sebagainya terdapat padanya pandangan (perlu diperhatikan dan jangan langsung diterima_pen), Allahu A’lam, maka kita jangan menolaknya dan juga jangan menjadikannya dalil.”

Abu Salafy:   

Adapun anggapannya bahwa Wahb adalah seorang ulama besar dan dari bejana ilmu maka perlu saya katakan kepada adz Dzahabi, ‘Tidak! Sekali-kali tidak!!’ wahb adalah seorang yang SESAT DAN MENYESATKAN!! Karena ia telah mencampakkan Al Qur’an al Karim dan tetap bersikeras membaca dan menyebarkan kesesatan dan kekafiran kitab-kitab Isrâiliyyât yang telah dipenuhi oleh kepalsuan para pendeta Yahudi.. semua kejahatan Wahb dalam menyebarkan kesesatan akidahnya mendapat dukungan penuh dari penguasa bani Umayyah di masanya sebab bani Umayyah berkepentingan untuk menyesatkan kaum Muslimin dengan akidah Tasybîh dan tajsîm!! Lalu apalah artinya pembelaan orang yang membela Wahb dengan memberinya gelar-gelar palsu seperti min au’yatil ilmi/bejana ilmu! Tsiqah/jujur terpercaya! dll setelah kita ketahui bersama bahwa ia hanya rajin menyebarkan kesesatan dan kekafiran akidah kaum Yahudi di tengah-tengah umat Islam! Lebih lanjut perhatikan biografinya dalam kitab Siyar A’lâm an Nubalâ’,4/544.

Adapun ucapannya bahwa kesesatan yang disebar-luaskan Wahab tidak boleh kita tolak maka ia adalah kesalahan berpikir yang harus kita hindari agar kita tidak terjatuh dalam kesesatan seperti yang dialamai oleh mereka yang membukakan jiwa dan pikirannya untuk para pendeta Yahudi seperti Ka’ab, Wahb dkk.! Kita harus menolaknya dan berlepas diri dari kekafiran seperti yang disebarkan Wahab di atas!! Saya memaklumi adz Dzahabi sebab saat ia menulis kitab al ‘Uluw beliau sangat mudah usianya dan baru masuk dalam dunia penelitian dan penelusuran… dan bersasarkan bukti-bukti yang ada, beliua telah meninggalkan akidah ngawur yang ia bukukan dalam kitab al ‘Uluw-nya!

Catatan!

Perhatikan baik-baik nama-nama yang tercantum dalam sanad atsar wahab di atas! Anda akan mendapatkan nama-nama keluarga dekat Wahb sendiri:

1)      Ismail bin Abdil Karim bin Ma’qil bin Munabbih… ia meriwayatkan dari pamannya yang bernama Abdush Shamad bin Ma’qil.

2)      Abdush Shamad bin Ma’qil bin Munabbih al Yamani, anak saudara Wahb bin Munabbih ia meriwayatkan dari Wahb….

Jadi sepertinya keluarga ini bersekongkol menyera-luaskan akidah sesat dan kafir Yahudi di tengah-tengah umat Islam! Dan yanbg mengherankan adalah begitu besarnya kegemaran dan kegandrungan kaum Mujassimah Musyabbihah kepada akidah kaum Yahudi… Perhatikan realita formulasi ini: Setiap penyandang akidah Tajsîm dan Tasybîh pasti berlindung kepada ajaran Yahudi… dan kaum Yahudi dalam menyebarkan akidah kafirnya berlindung di bawah kekuasaan bani Umayyah! Jadi di sana ada unsur Yahudi dan Bani Umayyah! Perhatikan juga sekarang! Kaum Salafi Wahhâbi begitu akrab dengan Yahudi dan begitu getol membela bani Umayyah! Jika Anda mengatahui benang merah masalkah ini pastilah Anda tidak akan heran terhadapnya!!

Yang penting saya katakan di sini dan telah sata tegaskan sebelumnya bahwa AKIDAH KAUM MUJASSIMAH DAN MUSYABBIHAH TERMASUK TENTANG KETINGGIAN FISIKAL ALLAH DI ATAS LANGIT ADALAH MEREKA WARISI DARI AKIDAH KAUM YAHUDI!!!  Tetapi anehnya, kaum Salafi Wahhâbi selalu menuduh kaum Muslimin selain Wahhâbi sebagai pengikut Yahudi!!! Jadi itu artinya: Maling Teriak Maling!!

Setelah panjang lebar kita bahas kesesatan ocehan Wahb saya ajak sobat setia abusalafy untuk menyimak kesesatan lain yang disebar-luaskan oleh pendekar Israiliyyât kebanggaan para sarjana kerdil Salafi Wahhâbi!

Nauf al Bakâli al Yahudi

Atsar Pertama Nauf:

Adz Dzahabi meriwayatkan dalam kitab al ‘Uluw-nya dari Nauf al Bakâli dengan sanad yang ia sifati sebagai shahih! Bahwa ia berkata, “Sesungguhnya ketika Musa as. mendengar pembicaraan, ia berkata, ‘Siapa engkau yang berbicara denganku? Ia berkata, ‘Aku Tuhanmu yang Maha A’lâ, Maha Tinggi.’”

Setelahnya adz Dzahabi berkata, ‘Sanadnya shahih. Dan Nauf adalah seorang ulama dan pemberi wejangan generasi tabi’în.’[3]

Dan sejauh mana kebenaran ucapan adz Dzahabi tentang Nauf al Bakâli, perhatikan keterangan singkat saya tentangnya nanti!

Abu Salafy:

Inilah dalil yang sangat diandalkan para Mujasimûn Musyabbihûn dan kaum Wahhâbi Salafi… berujuk kepada bualan kaum Yahudi yang berpura-pura memeluk Islam lebih mendinginkan hati mereka ketimbang berujuk kepada para sahabat dan Ahlulbait Nabi saw.!

Apakah mereka tuli dan buta dari firman Allah SWT:

وَ إِنَّ مِنْهُمْ لَفَريقاً يَلْوُونَ أَلْسِنَتَهُمْ بِالْكِتابِ لِتَحْسَبُوهُ مِنَ الْكِتابِ وَ ما هُوَ مِنَ الْكِتابِ وَ يَقُولُونَ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَ ما هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَ يَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَ هُمْ يَعْلَمُونَ

“Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar- mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan:” Ia ( yang dibaca itu datang ) dari sisi Allah”, padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah, sedang mereka mengetahui. (QS. Alu Imran [3];78)

 Di sini kita perlu bersyukur bahwa riwayat ini shahih sanadnya kepada Nauf agar kaum Muslimin jadi mengerti dan kaum lengah jadi perhatian bahwa sesungguhnya kekacauan akidah di tengah-tengah kaum Muslimin ini sumbernya adalah dari kaum Yahudi yang menyelinap dan menyebarkan racun mereka di tengaht-tengah umat Islam! Dan agar Anda juga mengerti bahwa di antara ulama Islam ada orang-orang yang kerjanya merangkum dan mengabadikan kepalsuan dan kesesatan kaum Yahudi dan kemudian diatas-namakan Islam dan Akidah Salaf!!

Catatan

Di sini, adz Dzahabi hendak menakankan bahwa disifatinya Allah dengan Maha Tinggi bebarti Allah tinggi secara fisikal di atas makhluk-Nya…

Allah berada di atas langit…

duduk dan bersemayam di atas Arsy-Nya…

dan kelak di hari kiamat nanti Allah mendudukkan Nabi Muhammad saw. di samping Allah. ..

duduk bersama Allah di atas Arsy-Nya –dan kata kaum Mujassimah Musyabbihah dan para Salafi Wahhâbi memang Allah telah menyiapkan tempat di Arsy selebar enpat jari dengan jari jemari Allah-… di sisa tempat itulah Nabi Muhammad saw. duduk bersanding dengan Allah SWT!!!

Dan celakalah kalian wahai kaum Muslimin yang mengingkari akidah keyakinan kaum Salafi ini!!! Kalian langsung dicap sebagai Jahimi dan langsung divonis kafir dan kekal di dalam neraka Jahannam!!!

Atsar Kedua Nauf:

Adz Dzahabi juga menukil atsar dari Nauf melalui sanad sebagai berikut: Hadis Hammâd bin Salamah, Ali bin Zaid mengabarkan kepada kami dari Mathraf bin Syukhair bahwa sesungguhnya Nauf al Bakâli dan Abdullah bin amr berkumpul lalu nauf berkata, “Seandainya langit-langit dan bumi adalah hamparan dari baja kemudian ada seorang mengucapkan Lâ ilâha illallahu pastilah kalimat itu akan menembusnya sehingga ia berakhir kepada Allah –Ta’ala-.”[4]

Abu Salafy:

Inilah ucapan Nauf anak tiri Ka’ab yang sangat dibanggakan adz Dzahabi dan para Salafi Wahhâbi dalam membangun akidaj sesat meerka tentang keberadan Allah di atas langit! Inilah ocehan beracum para pendeta Yahudi yang mereka sebar-luaskan di tengah-tengah kaum Muslimin lalu berabad-abad setelahnya adz Dzahabi (dan juga para Mujassim lainnya) memungut dan mengabadikannya dalam kitab-kitab akidah mereka… maka dengan demikian mereka telah membantu mewujudkan cita-cita jahat kaum Yahudi dalam merusak akidah Islam!!! Mereka berandil besar daalam nenyebarkan berbagai khurafat di kalangan kaum Muslimin! Dan apakah benar dan boleh bagi kaum Muslimin untuk menyebar-luaskan apa yang terdapat dalam kitab taurat yang sduah mengalami pemalsuan dan kerusakan itu?!

Lebih Dekat Mengenal Para Penyebar Kesesatan!

Tentang Wahb, Nauf al Bakâli dan Ka’ab, maka para sahabat, pembesar tabi’în dan ulama telah megecam mereka berdua sebagai pendusta dan menyebarkan kepalsuan ajaran Yahudi di tengah-tengah kaum Muslimin! Tentu para sahabat dan tabi’în lebih mengenal hakikat para pendeta Yahudi yang berpura-pura memeluk Islam ketimbang para kaum Mujassimah Musyabbihah dan Wahabi!

Jika ada yang keberatan dengan apa yang saya katakan maka saya pesilahkan membuktikan kebenaran apa yang saya tegaskan ini dengan merujuk lansung kitab standar yang aya sebutkan di bawah ini:

*) Ka’ab al Ahbâr

Mu’awiyah bin Abi Sufyan –sesembahan kaum Wahhâbi yang disucikan- telah mendustakan Ka’ab. Baca Shahih Bukhari, Kitabul I’tishâm Bi al Kitâb wa as Sunnah, Bab Qaulu an Nabi saw. Lâ Tas-alû Ahlal Kitâb (Lihat Fathu al Bâri,28/103 hadis no.7361[5]. Juga dalam kitab Tahdzîb at Tahdzîb,8/394.)

*) Nauf al Bakâli

Adapun Nauf al Bakâli adalah anak tiri Ka’ab al Ahbâr, ia seorang Yahudi dan pembohong besar, kadzdzâb! Ibnu Abbas ra. mengecamnya sebagai ADUWWULLAH, MUSUH ALLAH! Demikian diriwayatkan Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya. Nauf sangat kental dengan akidah keyahudiannya. Tidak mau meninggalkan akidah sesat/kafir lamanya dan hendak memaksakan akidahnya dalam menafsirkan ayat-ayat suci Al Qur’an! Di antaranya seperti diriwayatkan Imam Bukhari, bahwa Nauf mengatakan bahwa Nabi Musa as. yang disebutkan kisahnya dalam banyak ayat Al Qur’an itu bukan Musa bin Imran tetapi ia Musa lain. Melihat kesesatannya yang ia sebarkan di tengah-tengah kaum Muslimin yang tentunya tujuan darinya adalah menciptakan kekacauan pemikiran dan akidah, maka Ibnu Ibnu Abbas ra. -sabahat mulia dari bani Hasyim dan murid dekta Imam Ali as., yang mendapat doa dari Nabi saw. agar dijadikan Allah sebagai seorang yang mendalami ajaran agama dan ahli tafsir- segera membongkar misi jahat Nauf dengan kata-kata bersejarahnya:

كذب عدوُاللهِ

‘Dustalah MUSUH ALLAH ITU!!”[6]

Ibnu Hajar mengomentari ucapan Ibnu Abbas ra. di atas dengan kata-kata beliua, “Boleh jadi Ibnu Abbas menuduh Nauf dalam kebenaran islamnya. Karenanya ia (Ibnu Abbas) tdidak mengatakan pernyataan seperti itu terhadap al Hurr bin Qais padahal ia juga berpendapat seperti itu.

Menyoroti Ucapan adz Dzahabi!

Dari sini dapat Anda mengerti betapa konyol adz Dzahabi ketika membanggakan Nauf al Bakâli sebagai ulama dan juru nasihat umat dengan ‘kata-kata lugunya’ (saya tidak mengatakan kata-kata dugunya! Walaupun hanya sekedar beda satu huruf), “Dan Nauf adalah seorang ulama dan wâ’idz/pemberi wejangan generasi tabi’în.”!

Selain itu semua bahwa apa yang disebutkan di atas adalah diambil dari kitab Taurat yang telah banyak mengalami perubahan dan kerusakan.

 Ternyata Tuhan Kaum Salafi Nongkrong Di Jembatan!

Sebelum saya akhiri diskusi kita dalam masalah ini saya ingin menghibur para pembaca dengan lelucon kaum Salafi Wahhâbi Mujassim Musyabbih (walaupun tidak terlalu lucu, maaf) yang disajikan imam agung mereka adz Dzahabi dalam kitab al ‘Uluw-nya yang oleh ustadz Firanda seluruh kaum Muslimin ia anjurkan agar membaca dan mendalami isi kitab tersebut! Lelucon itu berkata bahwa: “Di belakan shirâth ada beberapa jembatan, di salah satu jembatan itulah Allah nongkrong!!” Maha Suci Allah dari ocehan kaum dungu lagi sesat!!

Perhatikan adz Dzahabi berusaha meyakinkan kita dan sekaligus menghibur kita:

Hadis A’masy dari Salim  bin Abi al Ja’ad tentang firman Allah:

إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصادِ

“Sesungguhnya  Tuhanmu benar-benar mengawasi.” (QS. Al Fajr [89];14)

Ia berkata, “Di balik Shirâth ada beberapa jembatan; jembatan di atasnya terdapat amanat, jembatan di atasnya ada rahim/kerabat dan jembatan di atasnya terdapat Tuhan –Azza wa Jalla-.”

Diriwayatkan oleh al al Usâl dengan sanad yang SHAHIH!”[7]

Abu Salafy:

Saya harap Anda jangan berburu-buru melapas tawa dan kegelian Anda karena lelucon ini sama sekali tidak lucu!! Ia lebih mirip dengan kekafiran ketimbang dengan lelucon!

Tidak puas kaus Wahhabi mendudukkan Tuhan di atas Arsy-Nya dan Arsy-Nya dipikul para malaikat atau kambing hutan.. Allah berada di dalam perut bumi terdalam …. Allah naik turun setuap malam untuk menyantuni hamba-hamba-Nya … Allah lari-lari kecil … Allah berbobot sehingga jika Allah murka para pemukul Arsy-Nya merasakan ada tambahan bobot Allah  dan lain sebagainya dari akidah sesat … kini kaum Salafi Wahhâbi mengatakan bahwa Allah berada di atas jembatan…

Saya hanya ingin bertanya kepada adz Dzahabi dan para sarjana Wahhâbi Salafi yang membanggakan adz Dzahabi dan tertipu menelan mentah-mentah bahan beracun di atas.. apakah kalian serius menerima penafsiran dungu di atas oleh Salim bin Abi al Ja’ad?! Dan kemudian menetapkan akidah bahwa Allah benar-benar nongkrong di atas jembatan sana?! Saya tidak terlalu peduli apakah dalam keyakinan kalian Allah itu berdiri atau duduk atau jongkok ketika berada di atas jembatan itu! Itu urusan kalian!! Apakah kalian serius meyakini bahwa Allah yang kalian sembah itu berada di atas jembatan?

Maha Suci Allah dari pensifatan kaum Salafi Mujassim!!

Syeikh Albani Makin Menggila!!

Dan lebih gila dari yang kita bisa bayangkan adalah Pakar Ahli Hadis kebanggaan para sarjana Salafi Wahhâbi, Syeikh Nashiruddîn al Albâni dalam kitab Mukhtashar al ‘Uluw, ringkasan dan saduran kitab al ‘Uluw-nya adz Dzahabi  yang ia katkb bahwa ia akan membersihkan kitab al ‘Uluw dari hal-hal khurafat dan menyimpang atau hadis dan atsar yang tidak shahih atau palsu… ternyata dalam kitab tersebut:131 ia justru makin mendukung akidah gila ini dengan menguatkan akidah ini dengan menyebut sumber-sumber tambahan yang dalam hematnya dapat menguatkan status akidah ini! Ia menyebutkan bahwa fatsir di atas telah dimuat dalam kitab al Asmâ’ wa ash Shifât-nya[8] al Baihaqi:432 dan Mustadrak al Hakim,2/523… ia tidak sedikit pun menyinggung bahwa panafsiran ini adalah khurafat dan sesat!! Apakah benar baginya menipu kaum awam dengan menshahihkan sanad Salim bin Abni al Ja’ad…

Dan ini bukan satu-satunya kesalahan dan penyimpangan Albâni dalam kitab Mukhtashar al ‘Uluw.. hal mana membuktikan bahwa ia benar-benar telah mencampakkan akal sehat –kendati Al Qur’an dalam banyak ayatnya telah memerintah kita menggunakan akal- dan hanya sibuk meneliti sanad… yang penting dalam pandangannya adalah SANAD! Jika sanadnya shahih, maka semuanya berakhir! Semuanya harus ditelan mentah-mentah! Akal sehat harus dijauhkan!!

Imam Al Baihaqi mena’wil Atsar di Atas

Setelah menyebutkan atsar di atas dan menyebutkan kualitas sanadnya yang masih amburadul apakah ini ucapan Abdullah (yang juga belum jelas, apakah Abdullah bin Mas’ud atau selainnya)  atau ini adalah ucapannya Salim bin Abi al Ja’ad sendiri seperti disebutkan dalam nukilan adz Dzahabi di atas.. beliau berkata, “Jika ia shahih maka yang dimnaksud adalah para malaikta Tuhan menanyai manusia tentang apa yang telah mereka berbuat. Allahu a’lam.”[9]

Dan karena dalam pandangan kaum Salafi Wahhabi pengikut Ibnu Taimiyah sesiapa yang menakwil berarti ia ahli bid’ah yang sesat … maka dengan demikian, Imam al Baihaqi adaalah ahli bid’ah dan seat menyesatkan!! Dan tentunya bukan hanya Imam al Baihaqi yang mereka akan anggap sesat menyesatkan, tetapi seluruh kaum Muslimin dari kalanga pengikut Asy’ariyah, al Maturidiyah, para Shufiyyun dan Mu’tazilah serta Syi’ah!!! Jadi yang tidak sesat hanya Salafi Wahhâbi! Yang Ahlusunnah hanya Salafi Wahhâbi!! Semuanya penghuni neraka!! Hanya Salafi Wahabi yang akan menempati surga Allah!!!

Abu Salafy:

Sobat setia abusalafy, inilah akhir dari kajian kita kali ini… semoga kita akan berjumpa lagi dalam edisi lain untuk membongkar penyimpangan dan kepalsuan akidah Salafi tentang ketinggian fisikal Allah… dan bahwa ia tidak lain adalah akidah sesat kaum Yahudi…

Wassalam. 


[1] Al ‘Uluw Lil ‘Aliyyil Ghaffâr; adz Dzahabi –dengan tahqiq Guru beras kami Sayyidi al Habib Hasan bin Ali as Seqqâf, semoga Allah senantiasa melimpahkan kelembutan-Nya untuk beliau-:373.

[2] Ocehan Wahb di atas telah diriwayatkan juga oleh Abu Syeikh dalam kitab al Adzamah:199 dengan nomer 572, Abdullah bin Ahmab bin Hanbal dala kitab as Sunah,2/473-474 dengan nomer1092 (dengan tahqîq DR. Muhammad bin Sa’id bin Salim al Qahthâni. Terbitan Dâr Ibn Jauzi. Arab Saudi.

[3] Al ‘Uluw:371 atsar nomer295.

[4]Al ‘Uluw:372 atsar nomer296.

[5] Walaupun sebagian berusaha memalingkan kecaman Mu’awiyah bahwaia s ering menemukan Ka’ab berbohong, wa in kunnâ ma’a dzâlika lanablu ‘alaihi al khadziba. Mereka mentederhanakan makna kata kadziba dengan arti salah atau mengabarkan sesuatu yang kemudian tidak terjadi!

[6] Baca Shahih Bukhari,1/218/hadis no.122, baca juga Fathu al Bâri, syarah ShahihB ukhari oleh Ibnu Hajar al Asqallâni,1/328-329

[7]Al ‘Uluw:375 atsar nomer303.

[8] As Asmâ’ wa ash Shifât; Imam al Baihaqi:539 atsar nomer 1014 dari Salim bin Abi al Ja’ad dari Abdullah.

[9] Ibid.


Aliansi Wahabi dan Saudi: Masjid diperluas warisan nabi diberantas

$
0
0

Dibawah ini artikel dari situs Merdeka.Com tentang ulah rezim Al Saud yang makin mengila dalam melenyapkan peninggalan-peninggalan Islam, khususnya bukti sejarah peninggalan Rasulullah saw dan sahabatnya, dengan dalih konyol “dijadikan sesembahan” warisan sejarah Rasulullah saw mereka lenyapkan..! (Abu Salafy)

_________________

Aliansi Wahabi dan Saudi (1)
Persekongkolan bedebah Wahabi dan Bani Saud

SUMBER: Merdeka.Com

mekkah_1

Bodoh, arogan, dan suka melawan. Itulah penilaian Ibnu Humaidi, guru dari pendiri gerakan Wahabi, Syekh Muhammad bin Abdul Wahab. Dia akhirnya tidak lulus belajar dengan mufti bermazhab Hambali di Kota Makkah itu.

Dia lantas berguru kepada Muhammad Hayyat al-Sindhi, di Kota Madinah. Di sana, dia ajarkan untuk mengharamkan ziarah kubur dan menghormati para wali. Setelah belajar ke mana-mana, termasuk Basrah dan Baghdad di Irak, pada 1740 dia pulang ke kampung halamannya di Desa Uyaina, Najd, Arab Saudi. 

Dengan usia masih 37 tahun, Syekh Muhammad mulai menyebarluaskan ajarannya. Dia berhasil mempengaruhi Usman bin Muammar, penguasa Uyaina. Dia lantas menyuruh Usman mengangkat kubur Zaid bin Khattab dikeramatkan warga setempat. Kemudian dia memerintahkan semua pelaku zina dirajam sampai mati. Dia bahkan pernah memimpin hukuman itu.

Semua ajaran Syekh Muhammad mendapat perhatian dari Sulaiman bin Muhammad bin Ghurair dari Bani Khalid. Dia memerintahkan Syekh Muhammad dibunuh. Namun Usman menolak perintah atasannya itu. Akhirnya, Syekh Muhammad diusir dari tanah kelahirannya itu.

Selepas itu, dia bermukim di Diriyah diperintah oleh Muhammad bin Saud. “Oasis ini milikmu, jangan takut terhadap musuh-musuhmu. Atas nama Allah, jika seluruh penduduk Najaf mengusirmu, kami tidak akan pernah melakukan itu,” kata Muhammad bin Saud, seperti ditulis Madawi al-Rasyid dalam buku berjudul A History of Saudi Arabia.

Syekh Muhammad menjawab, “Anda adalah pemimpin dan orang bijak. Aku ingin Anda bersumpah kepada saya untuk memerangi para penentang saya. Sebagai balasan, Anda menjadi imam masyarakat muslim dan saya pemimpin dalam urusan agama.”

Keduanya pada 1744 membuat perjanjian berlaku hingga kini. Kedua pihak saling mendukung. Keturunan Muhammad bin Saud akhirnya memimpin Kerajaan Arab Saudi sekarang menyokong dana buat penyebaran paham Wahabi, jumlahnya sekitar USD 2 miliar saban tahun. Anak cucu Syekh Muhammad yang menjadi pemuka agama Saudi memberikan legitimasi terhadap penguasa sebagai balasan.

Seperti para pendahulunya, keluarga Kerajaan Saudi melenyapkan semua peninggalan sejarah Islam berkaitan dengan Nabi Muhammad. Mereka beralasan praktek berziarah dan berdoa di tempat-tempat disakralkan itu sebagai syirik. Para pengikut Wahabi ini juga tidak percaya dengan syafaat Rasulullah.

Paham Wahabi juga menganggap Rasulullah sebagai manusia biasa sehingga tidak perlu dipuja dan dipuji. Apalagi, sampai merayakan hari kelahirannya. Bahkan mendiang Syekh Abdul Aziz bin Baz berani menyatakan Allah itu memiliki batas dan hanya Dia yang tahu keterbatasannya.

Sejumlah ulama Wahabi juga melontarkan pendapat membahayakan. Seperti Syekh Al-Qanuji dalam kitabnya Ad-Dinul Khalish, jilid pertama halaman 140, “Taklid terhadap mazhab termasuk syirik.”

Syaikh Hassan al-Aqqad dalam kitabnya Halaqat Mamnuah, halaman 25, menyatakan, “Kafir orang membaca salawat untuk nabi seribu kali atau mengucapkan La ilaha illallah seribu kali.”

Kebanyakan ulama Sunni menganggap ajaran Syekh Muhammad sesat. Ayah dan saudara lelakinya, Sulaiman bin Abdul Wahab, termasuk pengkritik dia. Sulaiman menganggap Syekh Muhammad orang terpelajar yang sakit mental dan tidak toleran. Dia juga menilai paham Wahabi sebagai ajaran pinggiran sekaligus fanatik.

Gurunya saja sudah bilang Syekh Muhammad bodoh, berarti umat Islam lebih bahlul lantaran membiarkan dua kota suci Makkah dan Madinah terus dalam cengkeraman rezim Wahabi.

*****************

Aliansi Wahabi dan Saudi (2)
Masjid diperluas warisan nabi diberantas

SUMBER: Merdeka.Com

Pemerintah Arab Saudi sudah memulai proyek perluasan Masjid Al-Haram di Kota Makkah. Proyek miliaran pound sterling ini dipastikan bakal membuat kawasan sekitar kiblat umat Islam itu bakal makin megah dan gemerlap.

Sejumlah foto diperoleh surat kabar the Independent memperlihatkan para pekerja dengan pelbagai peralatan berat sudah mulai merobohkan bangunan bekas peninggalan kekhalifahan Usmaniyah dan Abbasiyah di sebelah timur kompleks masjid.

Bangunan bekas peninggalan dua pemerintahan Islam itu berhiaskan kaligrafi Arab berisi nama-nama sahabat Nabi Muhammad dan momen terpenting dalam kehidupan mereka. Bahkan, salah satu bagian tembok diratakan diyakini tempat Rasulullah memulai isra ke Masjid Al-Aqsha di Kota Yerusalem, Tepi Barat.

Untuk melayani jamaah haji dan umrah terus bertambah saban tahun, Negeri Dua Kota Suci ini terus memperluas kompleks Masjid Al-Haram dan Masjid Nabawi di Kota Madinah. Miliaran pound sterling pun digelontorkan. Raja Abdullah telah menunjuk Syekh Abdul Rahman al-Sudais, ulama tersohor sekaligus imam Masjid Al-Haram, bertanggung jawab atas proyek itu dan Bin Ladin Group, perusahaan konstruksi terbesar di Saudi, menjadi pelaksana.

Beberapa pihak mengecam perluasan dua masjid paling dikeramatkan itu karena merusak peninggalan sejarah dan budaya Islam, termasuk warisan nabi. Gulf Institute berkantor di Ibu Kota Washington DC, Amerika Serikat, memperkirakan 95 persen bangunan berusia satu milenium di Makkah telah dimusnahkan dalam dua dekade. Lusinan tempat bersejarah penting menandai kelahiran Islam juga lenyap.

Banyak ulama senior Wahabi mendukung penghancuran tempat-tempat bersejarah berkaitan dengan Nabi Muhammad. Mereka cemas lokasi-lokasi itu bakal dikultuskan sehingga bisa menimbulkan syirik.

Namun Dr Irfan al-Alawi, Direktur Eksekutif the Islamic Heritage Research Foundation, menegaskan ada banyak cara memperluas kedua masjid itu tanpa melenyapkan tempat bersejarah. “Proyek itu bermasalah karena banyak bagian dirobohkan pernah menjadi tempat duduk dan salat nabi,” katanya, seperti dilansir the Independent, Jumat dua pekan lalu. “Catatan sejarah telah dihapus. Muslim generasi baru tidak akan pernah mempunyai petunjuk karena tidak ada penanda lokasi-lokasi ini.”

Ada tanda-tanda Raja Abdullah mendengarkan kritikan itu. Oktober tahun lalu, rencana perluasan Masjid Nabawi akan mengorbankan tiga masjid tertua sejagat. Namun, awal Maret ini, sang raja meneken proposal baru yang memindahkan proyek dari bagian barat ke sebelah utara kompleks masjid.

Meski begitu, proyek Masjid Al-Haram bakal mengancam rumah kelahiran Rasulullah (Bait al-Maulid) kecuali rencana itu segera diubah. Sebelumnya, perluasan serupa sudah menghilangkan Darul Arqam (tempat nabi mengajar) dan perpustakaan milik Khadijah.

Para pecinta sejati tentu tidak rela memusnahkan peninggalan kekasihnya dan membiarkan warisan mereka dilenyapkan.

*******************

ARTIKEL TERKAIT TTG PENINGGALAN SEJARAH NABI SAW
YANG DIHANCURKAN REZIM AL SAUD

01. 5 Peninggalan Nabi Muhammad yang Dihancurkan Arab Saudi

02. MUST WE SAVE HOLY SITES IN MECCA AND MADINA?

03. Shame of the House of Saud: Shadows over Mecca

04. THE DESTRUCTION OF THE HOLY SITES IN MECCA AND MEDINA, By Irfan Ahmed

05. Saudi Destruction of Muslim Historical Sites, by Sheila Musaji

06. Destruction of early Islamic heritage sites

07. Mecca’s creeping capitalism

08. The photos Saudi Arabia doesn’t want seen – and proof Islam’s most holy relics are being demolished in Mecca 

09. Why don’t more Muslims speak out against the wanton destruction of Mecca’s holy sites?

10. Mecca for the rich: Islam’s holiest site ‘turning into Vegas’ 

11. Medina: Saudis take a bulldozer to Islam’s history 

12. Saudi’s Destruction Of The Islamic Heritage (YOUTUBE)

13. Saudis “turning Mecca into Las Vegas” (YOUTUBE)

14. PETITION: 

Destruction of Holy Sites in Makkah & Medina – The Cradle of Islam 

Send To: Saudi Government, United Nations, Human Rights Groups


Goenawan Mohamad: Mekkah

$
0
0
Goenawan Mohamad dalam Tulisan Catatan Pinggirnya mengisahkan pengalamannya ketika di Mekkah, Mekkah yang peninggalan sejarah nya telah di musnahkan oleh Rezim Wahabi Al Saud. tulisan ini perlu  dishare dan kita baca bersama. (Abu Salafy)

____________

SUMBER: Goenawan Mohamad’s Blog

.

MEKAH

– Tapi kini, di abad ke-21, Wahabisme dan kapitalisme bertaut, dan Mekkah berubah

Betapa berubahnya Mekah.  Duduk di salah satu sudut Masjidil Haram ketika matahari meredakan panasnya, kita bisa merasakan bayang-bayang sebuah bangunan yang menjangkau langit dari arah Selatan.

Memang: di seberang gerbang Baginda Abdul Aziz, berdiri sebuah super-gedung, (baru diresmikan Agustus tahun ini), yang disebut Abraj al Bait.  Raksasa ini lebih dari 600 tingginya: menara waktu yang paling jangkung sedunia.  Empat muka jam di puncaknya masing-masing berbentuk mirip Big Ben di London, meskipun mengalahkannya dalam ukuran:  diameternya masing-masing 46 m, dengan jarum panjang yang melintang 22 meter. Dan berbeda dari Big Ben, di jidatnya yang diterangi dua juta lampu LED tertulis الله أكبر, “Allahu Akbar.” 

Di Abraj al Bait ada 20 lantai pusat perbelanjaan dan sebuah hotel dengan 800 kamar. Juga tempat tinggal.  Garasenya bisa menampung 1000 mobil.  Tapi para tamu dan penghuni juga bisa datang dengan helikopter (ada lapangan untuk menampung dua pesawat), karena ini memang tempat bagi mereka yang mampu menyewa, atau memiliki, kendaraan terbang itu.  Ongkos semalam di salah satu kamar di Makkah Clock Royal Tower bisa mencapai 7.000.000 rupiah.

Dari ruang yang disejukkan AC itu orang-orang  dengan duwit berlimpah bisa memandang ke bawah — ya, jauh ke bawah — mengamati ribuan muslimin yang bertawaf mengelilingi Kaabah bagai semut yang berputar mengitari sekerat coklat.

Saya tak bisa membayangkan, bagaimana dari posisi itu akan ada orang yang bisa menulis seperti Hamka di tahun 1938. Apa kini artinya “di bawah lindungan Kaabah”?  Justru kubus sederhana tapi penuh aura itu yang sekarang seakan-akan dilindungi gedung-gedung jangkung, terutama Abraj al Bait yang begitu megah dan gemerlap — dengan 21.000 lampunya  yang memancar sampai sejauh 30 km dan membuat rembulan di langit pun mungkin tersisih.

Betapa berubahnya Mekah.  Atau jangan-jangan malah berakhir. “It is the end of Mekkah“, kata Irfan al-Alawi, direktur pelaksana Islamic Heritage Research Foundation di London kepada The Guardian.  Nada suaranya murung seperti juga suara Sami Angawy.

Hampir 40 tahun yang lalu arsitek ini mendirikan Pusat Penelitian Ibadah Haji di Jeddah. Dengan masygul ia menyaksikan transformasi Mekah berlangsung di bawah kuasa para pengusaha properti dan pengembang. “Mereka ubah tempat ziarah suci ini jadi mesin, sebuah kota tanpa identitas, tanpa peninggalan sejarah, tanpa kebudayaan dan tanpa lingkungan alam.  Bahkan mereka renggut gunung dan bukit.”

Angawy, 64 tahun, mungkin terlalu romantis. Ia mungkin tak mau tahu hukum permintaan dan penawaran: jumlah orang yang pergi haji makin lama makin naik;  kalkulasi masa depan mendesak. Mekah harus siap. Tapi Angawy justru melihat di situlah perkaranya. Ia menyaksikan “lapisan-lapisan sejarah” Mekah dibuldoser dan dijadikan lapangan parkir.

Akhirnya ia, yang lahir di Mekah, menetap di Jeddah, di rumah pribadinya yang didesain dengan gaya tradisional Hijaz.  Ketika Abraj al Bait dibangun seperti Big Ben yang digembrotkan (“meniru seperti monyet”, kata Angawy) ia merasa kalah total.  Ia lebih suka tinggal di Kairo.

Tapi bisakah transformasi Mekah dicegah? Kapitalisme membuat sebuah kota seperti seonggok besi yang meleleh, untuk kemudian dituangkan dalam cetakan yang itu-itu juga. Dengan catatan: dalam hal Mekah, bukan hanya karena “komersialisasi Baitullah” kota suci itu  hilang sifat uniknya. Angawy menyebut satu faktor tambahan yang khas Arab Saudi: paham Wahabi.

Wahabisme, kata Angawy,  adalah kekuatan  di belakang dihancurkannya sisa-sisa masa lalu.  Dalam catatannya, selama 50 tahun terakhir, sekitar 300 bangunan sejarah telah diruntuhkan.  Paham yang berkuasa di Arab Saudi ini hendak mencegah orang jadi “syrik” bila berziarah ke petilasan Nabi, bila menganggap suci segala bekas yang ditinggalkan  Rasulullah –  dan sebab itu harus disembah.

Sejarah Arab Saudi mencatat dihapusnya peninggalan sejarah itu secara konsisten. April 1925, di Madinah, kubah di makam Al-Baqi’ diruntuhkan. Beberapa bagian qasidah karya al-Busiri (1211–1294) yang diukir di makam Nabi sebagai himne pujaan ditutupi cat oleh penguasa agar tak bisa dibaca.  Di Mekah, makam Khadijjah, isteri Nabi, dihancurkan. Kemudian tempat di mana rumahnya dulu berdiri dijadikan kakus umum.

Contoh lain bisa berderet, juga protes terhadap tindakan penguasa Wahabi itu. Di awal 1926, di Indonesia berdiri “Komite Hijaz” di kediaman K. H. Abdul Wahab Khasbullah di Surabaya, ekspresi keprihatinan para ulama.

Reaksi dari seluruh dunia Islam itu berhasil menghentikan destruksi itu. Tapi kini, di abad ke-21, Wahabisme dan kapitalisme bertaut, dan Mekkah berubah.

Mengherankan sebenarnya. Di sebuah tulisan dari tahun 1940 Bung Karno mengutip buku Julius Abdulkarim Germanus, Allah Akbar, Im Banne des Islams. Di sana Bung Karno menggambarkan kaum Wahabi sebagai orang-orang yang dengan keras dan angker mencurigai “kemoderenan”; mereka bahkan membongkar antena radio dan menolak lampu listrik.  Tapi kini, seperti tampak di kemegahan Abraj al Bait bukan hanya lampu listrik yang diterima, tapi juga transformasi Mekah jadi semacam London & Las Vegas. Apa yang terjadi?

Mungkin sikap dasar Wahabisme tak berubah. Menghapuskan petilasan (menidakkan masa lalu), sebagaimana menampik “kemoderenan”, (menidakkan masa depan) adalah  sikap yang anti-Waktu. Jam besar di Abraj al Bait itu akhirnya hanya menjadikan Waktu sebagai jarum besi. Benda mati.  Dan bagi yang menganggap Waktu benda mati, yang ada hanya rumus-rumus ibadah tanpa proses sejarah.

Tapi apa arti perjalanan ziarah, tanpa menapak tilas sejarah dan menengok yang pedih dan yang dahsyat di masa silam?

Mungkin piknik instan ke kemewahan.

Goenawan Mohamad


Inilah Bukti Kecintaan Salafy-Wahabi Terhadap Sahabat Nabi Saw.

$
0
0

Inilah Bukti “Kecintaan” Salafy-Wahabi Terhadap Sahabat Nabi: Membongkar dan Menodai Makam Sahabat Nabi Saw. Hujur bin Adi ra dan Ja’far bin Abi Thalib ra. Silahkan baca laporannya dibawah ini (Abu Salafy)

_________

Front al-Nusra Bongkar Makam Sahabat Nabi Saw

SUMBER: Kompasiana.Com

 Masih ingat pendeta AS, Terry Jones, pada 20 Maret 2011 yang  memprovokasi umat beragama dunia dengan membakar al-Quran di sebuah gereja di Florida, Amerika Serikat? Sekedar mengingatkan saja, sebab jauh di Suriah sana, tepatnya di kota Adra, pinggiran Damaskus, Front al-Nusra, jaringan teroris yang berafiliasi dengan Al-Qaeda baru-baru ini tidak saja melakukan penodaan agama, namun menghasut perang sektarian atas nama Agama yang katanya berdasarkan fatwa “Islam”.

Tentara-Wahabi-di-atas-puing-makam-Hujr-ibn-AdiTentara pembrontak salafy-wahabi diatas puing makam Sahabat Hujur bin Adhi setelah mereka hancurkan

Kabar sepekan ini bilang, Esktrimis Wahabi didikan Arab saudi, Qatar, Turki, AS dan beberapa negara Eropah pada 2 mei 2013, menghancurkan dan membongkar makam salah seorang sahabat mulai Nabi Muhammad Saw, Hujr ibn Adi al-Kindi, di Damaskus, Suriah. Teroris asing yang mengaku sebagai “Mujahilin” itu menggali dan membawa kabur jasad mulia dan menyimpannya entah dimana. 

Mungkin ini makna menghormati sahabat Nabi Saw itu dengan menghancurkan, membongkar dan mencuri jasadnya.

Lembaga dan otoritas keagamaan Al-Azhar melalui Juru bicaranya, Syekh Manshur Mandur mengutuk penistaan tersebut dan mengatakan, “Lembaga Al-Azhar sangat mengecam aksi apapun yang menghinakan jasad orang yang sudah meninggal, terlebih lagi jasad seorang sahabat Nabi yang berkedudukan sangat mulia.” Demikian Situs Berita NU Online melaporkan, Selasa, 07/05/13.

Jelas, Terry Jones dan Front al-Nusra tentu saja tak punya hubungan darah juga hubungan akidah. Pun aksi dan motif mereka bukan lapis legit yang bisa dicampurtakarkan. Tapi mereka, suka ataupun tidak, mewakili dua ujung ekstrim penistaan atas nama agama.

Dulu, orang sebegitu cepat ‘menangkap’ kepicikan Terry Jones. Tapi untuk Front al-Nusra, media diam, ulama bungkam, sebuah kejanggalan mengingat lacung dan puji puja, bahkan mereka yang mengaku sebagai muslimin latah mendudukkan aksi bar-bar mereka sejajar bak pahlawan Islam, mujahidin sumber kebaikan sebagaimana yang tuangkan dalam puisi menjijikkan.  Bukankah jelas hukum membongkar kubur seseorang?

Lalu mengapa hingga Front al-Nusra sebegitu tega menggebah harga diri Muslimin dunia dengan menghancurkan kubur sahabat Nabi Saw? Adakah dosa yang dilakukan kubur itu hingga mesti dibongkar? Bukankah ini penghinaan paling mencolok terhadap kemuliaan Islam?

Tapi, mungkin ini alasan paling logis, mengapa jasad suci Bunda Sayyidah Fatimah, Putri kesayangan Nabi Saw hingga saat ini tak terdeteksi dimana kuburnya.

Tak usah kaget, kelak ekstrimis Wahabi pun akan menggali kubur Nabi. Pasti!, mereka akan menggali kubur Nabi Saw, karena hal itu sudah dilakukannya pada sosok sahabat Nabi.

Sementara disini, di Indonesia di tahun-tahun terakhir, sejumlah orang menggunakan jubah Islam melampiaskan kepicikan dan barbarisme mereka dengan menggelar teror di banyak tempat, masjid-masjid, gereja-gereka dan tempat-tempat umum tak luput dari aksi brutalitas, persis sebagaimana yang dilakukan Front al-Nusra di Suriah.

Dan di Jakarta sebagian kalangan merasa kalau haluan Indo-Amerika, Indo-Inggris dalam politik luar negeri Presiden Susilo sebagai sesuatu yang mencengangkan, tak ubahnya pendadakan di medan terbuka.

Tidakkah pekan ini Presiden SBY mengalir darah lambungnya oleh belati Elizabeth II?

Jika presiden tak bisa mentolerir langkah brutal London di Papua sana, kenapa pula beberapa bulan lalu presiden bergeming saat Damaskus mengirim militer untuk menjawab pemberotakan teroris asing bersenjata didikan Arab, AS dan Eropa yang telah menewaskan ribuan warga, polisi dan tentara Suriah? []

***********

Makam Sahabat Nabi Dibongkar Pemberontak Suriah

SUMBER: Kabarnet.wordoress.com

Yordania – KabarNet: Kelompok oposisi Suriah dukungan Arab Saudi, Qatar, Turki, AS dan Eropa beberapa pekan lalu menyerang makam Sayidina Jakfar at-Tayyar, sahabat dan sekaligus sepupu Nabi Muhammad SAW, yang sangat dihormati di Yordania serta umat Islam diseluruh dunia.

Mereka membakar makamnya di provinsi Karak di utara Jordan. Peristiwa itu terjadi pada Ahad, 05/05/13. Selain itu sebelumnya kelompok-kelompok pemberontak di Suriah ini juga menghancurkan makam sahabat Nabi SAW, Hujr bin Adi di pinggiran Damaskus, Suriah.

Mereka menggali makam Hujr bin Adi kemudian mengambil jenazahnya. Menurut laporan media setempat, Front al-Nusra menyerbu makam Hujr bin Adi di pinggiran Damaskus di kota Adra, mereka membongkar dan membawa kabur jenazahnya yang terlihat masih utuh ke lokasi yang tidak diketahui. Bahkan gambar yang diduga jasad sahabat itu sempat terpublikasi, pada bagian wajahnya masih terlihat bekas darah syahid… Allahu A’lam.

Atas peristiwa ini, kelompok Front al-Nusra yang berafiliasi dengan organisasi al-Qaeda, mengaku bertanggung jawab atas penghancuran makam-makam tersebut. Entah apa alasan mereka melakukan perbuatan biadab ini. Dengan alasan apa pun, perbuatan ini tidak bisa dibenarkan bahkan telah menyakiti hati umat Islam pada umumnya.

Aksi tersebut sontak mengundang kecaman keras dari berbagai pihak. Beberapa jam usai berita itu tersiar, para ulama dari berbagai mazhab langsung mengecam aksi dan perbuatan barbar tersebut. Menurut beberapa sumber, sekelompok pemberontak memasuki komplek pemakaman dengan merusak pagar pembatas. Mereka yang sudah mempersiapkan alat penggalian lantas mengeruk tanah makam sahabat Nabi tersebut. “Ketika mereka mendapatkan jasadnya, terlihat kondisinya masih utuh,” ujar salah seorang saksi mata yang menolak disebutkan namanya.

Seorang ulama terkemuka Saudi Arabia mengutuk keras penghancuran tempat-tempat makam Sahabat Nabi Muhammad SAW di Suriah dan Yordania yang dilakukan oleh Front al-Nusra, dan mengatakan tindakan semacam itu hanya untuk melayani kepentingan AS dan rezim Israel di wilayah tersebut. “Tindakan seperti dilakukan sejalan dengan agenda rezim Zionis dan kepentingan AS di kawasan itu untuk melibatkan dunia Muslim masuk dalam konflik sektarian dan melakukan ekspansionis dengan memakai separatis di wilayah ini,” kata Sheikh Ismae’il al-Hafoufi, Ahad, 05/05/13.

Dikatakannya, musuh Islam berusaha membangkitkan konflik sektarian di Suriah, Irak dan negara-negara Teluk Persia untuk mempercepat proses disintegrasi dari dalam, mereka menjarah dan melibatkan orang-orang muda dalam sengketa dan konflik internal.

Hafoufi juga menyesalkan atas bungkamnya organisasi Islam terkait tindakan asusila tersebut, dan mengatakan banyak organisasi Islam yang tergantung pada pendanaan asing dan tidak dapat menunjukkan reaksi independen.

Sementara itu Sheikh Mansour Mendour dari keluarga besar Al-Azhar Mesir mengutuk keras penghancuran dan penggalian kubur Hujr bin Adi, seorang sahabat Nabi (SAW) oleh kelompok Front al-Nusra di Suriah. Sheikh Mansour dalam sebuah wawancara dengan Al-Alam, mengatakan: “Sikap Al-Azhar selalu jelas dan melihat semua Muslim dengan hormat, dan sahabat Nabi memiliki tempat khusus dalam Quran.”

“Al Azhar mengutuk penistaan dan perlakuan tidak hormat terhadap jasad-jasad orang yang sudah meninggal khususnya sahabat besar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Pasalnya mereka memiliki derajat yang tinggi, dan Al Azhar juga menentang sikap-sikap seperti ini. Itu perbuatan haram, terlebih jika dilakukan terhadap makam sahabat Nabi Saw, Hujr bin Adi yang pernah bertemu dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan yang kedudukan tingginya jelas bagi siapapun,” katanya.

Sayidina Jakfar bin Abi Thalib yang mendapat julukan “at-Tayyar”, adalah shahabat sekaligus kerabat Nabi Muhammad SAW. Sayidina Jakfar merupakan salah satu komando yang gugur menjadi syahid di peperangan Mu’tah pada tahun ke-8 Hijriyah. Dalam perang Mu’ta kaum muslimin berhadapan dengan ratusan ribu pasukan gabungan antar tentara Romawi dan tentara Arab piminan Harqal.

Hujr bin Adi Al-Kinddi adalah shahabat Nabi Muhammad SAW. Beliau memeluk Islam sejak masa muda. Hujr dikenal seorang yang banyak beribadah, wara, zuhud, amanah dan peberani. Hujur bin Adi gugur menjadi syahid pada tahun sekitar 51-52 Hijriyah di masa dinasti Muawiyah bin Abu Sufyan. Hujur bin Adi adalah salah satu pasukan Sayidina Ali bin Abi Thalib dalam perang Jamal, Siffin dan Nahrawan. [KbrNet/Slm]

______________

Al-Azhar Kutuk Aksi Penghancuran Makam Sahabat Hujr

SUMBER: NU Online

Kairo, NU Online
Institusi keagamaan Al-Azhar yang berbasis di Kairo, Mesir, beserta mayoritas ulama di seluruh pelosok dunia mengutuk aksi biadab penghancuran dan pembongkaran makam salah seorang sahabat Nabi Muhammad, Hujr ibn Adi, di Damaskus, Suriah, baru-baru ini.

Juru bicara Al-Azhar Syekh Manshur Mandur mengatakan, bahwa lembaga Al-Azhar sangat mengecam aksi apapun yang menghinakan jasad orang yang sudah meninggal, terlebih lagi jasad seorang sahabat Nabi yang berkedudukan sangat mulia.

“Itu perbuatan haram, terlebih jika dilakukan terhadap makam sahabat Nabi Hujr bin Adi,” kata Manhur sebagaimana dilansir kantor berita Fars (4/5).

Sementara itu, Syekh Ahmad al-Qafthan, kepala Jam’iyyah Qauluna wal Amal Lebanon, juga mengutarakan kecaman serupa. Dikatakan oleh al-Qafthan, pelaku penghancuran tersebut tidak memahami hakikat ajaran Islam, meski perlakuan tersebut atas nama pemurnian ajaran tauhid dan pemusnahan praktik syirik.

Kecaman yang sama juga datang dari Syekh Hussam Shu’aib. Beliau mengutuk aksi jemaat takfiri yang tidak menghinakan tempat-tempat yang seharusnya dimuliakan, menghancurkan kuburan-kuburan sahabat dan orang shalih.

“Penghancuran makam sahabat Hujr ibn Adi adalah kejahatan keji dan penghinaan terhadap sejarah Islam,” kata Shu’aib.

Ketua Dewan Syura Iran, Ali Larijani, juga mengecam aksi tersebut. Larijani mengecam penodaan tempat suci agama, terutama menghancurkan makam Sahabat Hujr ibn Adi yang dilakukan sekelompok orang di Suriah.

Sebagaimana ramai diwartakan, pada Kamis lalu, sejumlah orang menyerang makam Hujr bin Adi di Rif, Damaskus. Jasad sahabat Nabi SAW yang menurut keterangan beberapa situs berita masih utuh seperti awalnya itu dipindahkan ke tempat tak diketahui.

Hujr bin Adi adalah salah seorang shahabat Nabi Muhammad SAW yang ikut dalam Perang Al Qadisiyah di masa Khalifah Umar bin Khatthab dan berhasil menaklukkan daerah Maraj Al’ Adzra, daerah Persia.

Penulis: Ahmad Ginanjar Sya’ban

***************************

MAKAM SAHABAT NABI HUJUR BIN ADHI SEBELUM DAN SESUDAH DIBONGKAR TERORIS SALAFY/WAHABI

.

makam_hujur_3

.

makam hujur_1.

makam_hujur_2.

Tentara-Wahabi-di-atas-puing-makam-Hujr-ibn-Adi.

makam_hujur_4

.

makam_hujur_6

.

MAKAM JA’FAR BIN ABI THALIB ra YANG DIBAKAR SALAFY/WAHABI

.

makam jafar at tayyar


Mazhab Salaf Shaleh Tentang Islamnya Mu’awiyah (Bagian: 7)

$
0
0

Persembahan Untuk Ustadz Firanda Dan Para Pemuja Kaum Munafikin!

Imam Hasan bin Ali ra. Menegaskan Kemunafikan Mu’awiyah bin Abu Sufyân!

Selain Imam Ali, Sayyidina Ammar, Sayyidina Abdullah bin Umar yang menegaskan kemunafikan Mu’awiyah dan bahwa ia adalah sia-sia Ahzâb (kelompok yang memerangi Nabi saw) dan sesungguhnya keimanan tidak pernah menyentuh jiwanya… islamnya hanya pura-pura demi merahasiakan rencana jahatnya memerangi Islam dari dalam… selain itu semua yang telah Anda baca dalam beberapa artikel yang telah lewat saya tulis beberapa waktu lalu… kini Anda saya ajak melanjutkan penelusuran kita untuk mengenali mazhab Salaf Shaleh, generasi panutan umat dari kalangan sahabat dan tabi’în, khususnya mereka yang sangat kenal siapa sejatinya Mu’awiyah dan bani Umayyah yang telah Allah sebut dalam Al Qur’an sebagai POHON TERKUTU !

Kali ini saya ajak Anda menyimak pernyataan Imam Hasan putra Ali ra.; cucu tercinta Nabi saw. dan buah hati Zahra as.! Imam Hasan as adalah pribadi agung ketiga dalam mata rantai Ahlulbait Nabi saw. (setelah Nabi Muhammad saw., Imam Ali ra).

Data-data akurat dan riwayat-riwayat terpercaya telah menegaskan pernyataan Imam Hasan as. bahwa Mu’awiyah adalah  SEORANG MUNAFIK!! 

Di bawah ini akan saya paparkan riwayat-riwayat tersebut:

Riwayat Al Isfahâni dalam kitab Maqâtil ath Thâlibiyyîn:78

Dengan sanad bersambung kepada Habîb bin Abi Tsâbit[1], ia berkata:

حدثني أبو عبيد، قال: حدثنا فضل، قال: حدثني يحيى بن معين قال: حدثنا أبو حفص الأبار، عن إسماعيل بن عبد الرحمن، وشريك بن أبي خالد- وقد روى عنه إسماعيل بن أبي خالد، – عن حبيب بن أبي ثابت قال: لما بويع معاوية خطب فذكر علياً، فنال منه، ونال من الحسن، فقام الحسين ليرد عليه فأخذ الحسن بيده فأجلسه، ثم قام فقال:

“Ketika Mu’awiyah dibai’at, ia berpidato lalu menyebut-nyebut Ali (dengan kejelekan) dan mencacinya dan juga mencaci al Hasan, maka al Husain bangkit untuk membantahnya tetapi al Hasan menarik tangannya dan memintanya duduk kembali. Kemudian al Hasan bangkit dan berkata:

أيها الذاكر علياً، أنا الحسن، وأبي علي، وأنت معاوية، وأبوك صخر،

 وأمي فاطمة، وأمك هند،

 وجدي رسول الله صلى الله عليه وسلم، وجدك حرب،

 وجدتي خديجة، وجدتك قتيلة،

فلعن الله أخملنا ذكراً، وألأمنا حسباً، وشرنا قدماً، وأقدمنا كفراً ونفاقاً.

فقال طوائف من أهل المسجد: آمين.

قال فضل: فقال يحيى بن معين: ونحن نقول: آمين.

 قال أبو عبيد ( شيخ الأصفهاني): ونحن أيضاً نقول: أمين.

 قال أبو الفرج ( الأصفهاني): وأنا أقول: آمين اهـ

قال حسن المالكي: وأنا أقول آمين!

“Hai engkau yang menyebut-nyebut Ali (dengan kejelakan)! Aku adalah Hasan. Ayahku adalah Ali. Dan engkau Mu’awiyah. Ayahmu adalah Abu Sufyân!

Ibuku Fatimah dan ibumu –hai Mu’awiyah- adalah Hindun!

Kakekku adalah Rasulullah saw. dan kakekmu adalah Harb!

Nenekku adalah Khadijah dan nenekmu adalah Qatilah!

Maka semoga Allah melaknat/mengutuk siapa yang paling hina sebutnya di antara kita, yang paling nista kedudukannya, yang paling jelek prilakunya dan yang paling klasik kekafiran dan kemunafikannya!

Maka berkelompok-kelompok dari penghuni masjid saat itu mengucapkan Amîn/semoga Allah kabulkan doa itu!

Fadhl berkata, ‘Yahya bin Ma’în berkata, ‘Dan kami pun mengucapkan Amîn!

Berkata Abu  Ubaid (guru al Isfahâni), “Dan kami pun mengucapkan Amîn.”

Berkata Abul Faraj (al Isfahâni), “Dan aku pun mengucapkan Amîn.

.

Abu Salafi berkata:

Dan saya pun mengucapkan Amîn dan seribu kali Amîn!

Dan saya tidak yakin Ustadz Firanda sanggup mengamini doa Imam Hasan as. untuk kehancuran tuan kebanggaan kaum Salafi Wahhâbi Nashibi!

Abu Salafy:

Di sini, Imam Hasan as. dengan terang dan tegas menuduh Mu’awiyah dengan KEKAFIRAN kemudian dengan KEMUNAFIKAN! Dan hal itu tentunya setelah Mu’awiyah menampakkan keislaman dzahirnya! Sanad riwayat di atas adalah mursal yang kokoh dan selain itu ia didukung oleh banyak pernyataan Imam Hasan as. yang tegas-tegas menyatakan kemunafikan Mu’awiyah! Di antaranya adalah sebagai berikut:

Surat Imam Hasan as. Kepada Mu’awiyah

Imam Hasan menulis sepucuk surat kepada Mu’awiyah di mana di dalamnya beliau as menegur dengan keras kesesatan, kejahatan dan kemunafikan Mu’awiyah. Perhatikan isi surat yang memuat data berharga  tersebut!

فاليوم فليتعجب المتعجب من توثبك يا معاوية ! على أمر لست من أهله ، لا بفضل في الدين معروف ، ولا أثر في الاسلام محمود ، وأنت ابن حزب من الأحزاب ، وابن أعدى قريش لرسول الله صلى الله عليه وسلم ولكتابه ، والله حسيبك فسترد وتعلم لمن عقبى الدار ، وبالله لتلقين عن قليل ربك ثم ليجزينك بما قدمت يداك ، وما الله بظلام للعبيد .

“Hari ini/sekarang hendaknya terheran-heran orang yang hendak terheran-heran karena kerakusanmu hai Mu’awiyah! Terhadap perkara yang engkau bukan pemiliknya. Tidak dikarenakan keutamaan dalam agama yang dikenal, tidak pula karena jasa yang terpuji dalam Islam! Dan engkau adalah putra Partai dari partai-partai (yang memerangi Islam). Putra seorang yang paling memusuhi Rasulullah saw dan Kitab sucinya dari kalangan suku Quraisy![2] Allah akan memperhitungkan perbuatanmu dan engkau akan menghadap-Nya dan saat itu engkau akan mengetahui siapa pemilik rumah kebahagian/surga!

Demi Allah, sebentar lagi engkau akan menjumpai Tuhanmu dan Dia akan membalasmu atas kejahatan yang engkau perbuat. Dan Allah tiada berbuat zalim atas hamba-hamba-Nya.”[3]  

Abu Salafy:

Demikianlah begitu tesagnya penytaan Imam hasan as dalam surat di atas. Mu’awiyah adalah anak si gembong kekafiran dan penyulut api peperangan melawan Allah dan rasul-Nya! Maka tidaklah mengherankan jika jiwa busuk bapaknya dan keluarga besar Bani Umayyah –pohon terkutu dalam Al Qur’an- itu diwarisi putra terbaktinya; Mu’awiyah!

Dan setelah ini semua, masihkan kita menolak kenyataan kemunafikan Mu’awiyah?! Masihkan kita mencari-cari sikap Salaf Shaleh terhadap Mu’awiyah untuk memutihkan wajahnya yang tercoreng gelapnya kemunafikan?! Sampai kapan kita mengabaikan keterangan para Salaf Shaleh seperti Sayyidina Ali, Ammar, Imam Hasan dan para sahabat mulia lainnya yang tegas-tegas menyatakan kemunafikan Mu’awiyah?! Akankah ketegasan pernyataan para sahabat mulia seperti Sayyidina Ali, Ammar, Ibnu Umar, Imam Hasan, Imam Husain (seperti akan kami paparkan dalam artikler khusus nanti) dan para sahabat serta tabi’în mulia lainnya kita campakkan karena pernyataan “para tokoh sektarian” yang tidak lebih mengenal Mu’awiyah di banding para sahabat mulia tersebut?! Yang pengenalan mereka kepada Mu’awiyah hanya lewat pujaan palsu “para penyembahnya”!!

Sunngguh aneh sikap sebagian kaum Muslimin yang setelah mengetahui semua kenyataan akan kejahatan, penyimpangan dan kemunafikan Mu’awiyah masih saja membanggakan Mu’awiyah, menjunjung dan memujanya sebagai Sahabat Mulia, Khalifah Agung dan Pemimpin penuh Rahmat bagi Umat Islam!

Saya sangat khawatir bahwa kecintaan mereka kepada Mu’awiyah; gembong kemunafikan ini diakibatkan problem pada jiwa dan hati mereka seperti yang dihambarkan tentang para penyembah patung anak sapi dari kalangan bani Israil.

Allah berfirman menjelaskan hakikat penyebab sesunggunya kecintaan bani Israil kepada ‘ijl/patung anak sapi sebagai berikut:

وَ إِذْ أَخَذْنَا مِيْثَاقَكُمْ وَ رَفَعْنَا فَوْقَكُمُ الطُّوْرَ خُذُوْا مَا آتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ وَ اسْمَعُوْا قَالُوْا سَمِعْنَا وَ عَصَيْنَا وَ أُشْرِبُوْا فِيْ قُلُوْبِهِمُ الْعِجْلَ بِكُفْرِهِمْ قُلْ بِئْسَمَا يَأْمُرُكُمْ بِهِ إِيْمَانُكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ

“ Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari kalian dan mengangkat bukit (Thursina) di atas (kepala) kalian (seraya berfirman), “Peganglah erat-erat segala perintah yang telah Kami berikan kepada kalian dan dengarkanlah (baik-baik)!” Mereka menjawab, “Kami telah mendengarkan dan (setelah itu) melanggarnya”. Dan karena kekafiran mereka, (kecintaan menyembah) anak sapi telah meresap di dalam hati mereka. Katakanlah, “Jika kalian (memang) beriman, alangkah jeleknya perbuatan yang diperintahkan oleh iman kalian itu!.” (QS. Al Baqarah [2];93)

Imam asy Syaukani menerangkan ayat di atas sebagai berikut: “Pada ayat “Dan karena kekafiran mereka, anak sapi telah meresap di dalam hati mereka” ini terdapat penyerupaan yang sangat indah. Yaitu hati-hati mereka dikarenakan kecintaan kepada anak sapi itu sudah sedemikian kokoh bertempat seakan ia (hati-hati itu) minum kecintaan tersebut/usyribû/ أُشْرِبُوْا.

… dan huruf bâ’ pada kata:بِكُفْرِهِمْ memberi arti sebab. Yaitu semua itu terjadi dikarenakan kekafiran mereka sebagai balasan dan penghinaan Allah atas mereka!”[4]

Jadi kecintaan kepada penyembahan anak sapi itu disebabkan kekafiran kepada kebenaran yang telah gamblang di hadapan pikiran mereka. Maka sebagai balasan Allah atas keberpalingan mereka dari kebenaran maka Allah hinakan mereka dengan mencintai kebatilan dan simbol-simbol kebatilan, yang dalam kasus bani Israil adalah sapi yang mereka jadikan sesembahan dengan menyekutukan Allag SWT. Dan dalam kasus kita ini, simbol kebatilan itu adalah berupa Mu’awiyah dan agenda kefasikan dan kemunafikannya. Karena semua bukti kebenaran tentang kejahatan Mu’awiyah mereka abaikan dan mereka tolak maka Allah membalas mereka dengan mengihinakan mereka seihingga mencintai simbol-simbol kemunafikan. Semoga Allah menyelamatkan kita semua dari kesesatan dan kemunafikan. Amîn.

Ibnun Katsir juga menerangkan ayat di atas sebagai berikut: Abdurrazzâq beerkata dari Qatadah tentang ayat: “Dan karena kekafiran mereka, anak sapi telah meresap di dalam hati mereka” kecintaan kepada anak sapi telah merasuki hati-hati mereka sehingga menembusnya.

Kemudian Ibnu katsir menukil sebuah hadis Nabi saw. dari riwayat Abu Dardâ’: “Kecintaanmu kepada sesuatu itu akan membuatmu buta dan tuli.”[5]

Jadi jelaslah bahwa kecintaan itulah yang telah membutakan dan menulikan banyak kaum sehingga segamblang apapun kenyatan akan kemunafikan Mu’awiyah tidak akan mampu mereka lihat dan dan sejelas apapun suara kebenaran tidak mampu menembus dinding telinga batin mereka!

Semoga kita tidak dijadikan dari manusia-manusia yang tuli dan buta dari menlihat dan mendengar suara kebenaran. Amîn.

(Bersambung Insya Allah)


[1] Habib bin Abi Tsâbit adalah seorang Tabi’în yang terkenal. Beliau termasuk perawi andalan Imam Bukhari dan Imam Muslim, fawat tahun 118 H. ia meriwayatkan hadis dari Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Abu Thufail. Ia tergolong pembesar ulama penduduk kota Kufah. Data sejarah yang beliau sampaikan di atas adalah mursal, tetapi bahan dasarnya adalah dari sahabat dan ia lebih kuat dari banyak riwayat-riwayat mursal yang diterima oleh para ulama Ahli hadis dan sejarah!

[2] Kaum kafir Quraisy di bawah kepimpinan Abu Sufyân, bapak Mu’awiyah telah berkali-kali memerangi Nabi Muhammad saw.  dan salah satu perang yang dikobarkan apinya oleh Abu Sufyân adalah perang Khandaq/perang parit yang juga dikenal dengan nama parang Ahzâb, karena kaum kafir Quraisy berhasil menggalang kekuatan dengan bantuan kabilah-kabilah Arab kafir lainnya. Mereka di bawah kepempinan Abu Sufyan menyerbu kota suci Madinan. Menghadapi rencana serangan kaum kafir itu Nabi Muhammad saw. menggali parit bersama para sahabat untuk menghalau serbuan pasukan Ahzab yang datang dengan beribu-ribu pasukan …. setelah mereka terkejut dengan adanya parit yang mengelilingi kota Madinan sehingga mereka kesulitan menyerbunya secara serempak, dan hanya beberapa pendekar kaum kafir saja yang berhasil menyeberangi galian parit tersebut dan menantang-nantang kaum Muslimin untuk berduel dengan disertai ejekan akan katakutan kaum Muslimin, karena tidak seorang pun dari sahabat saat itu yang menyahuti dan meladeni tantangan pendekar kaum kafir yang bernama ‘Amr bin Abdi Wudd dan hanya Sayyidina Ali ra seorang yang kemudian bangkit memohon izin untuk berdual dengan ‘Amr. Dalam sekejap Sayyidina Ali ra mengayunkan pedang tajamnya dan ‘Amr pun tersungkur tak bernyawa! Ali takbir dan para sahabat pun menyambutnya dengan ucapan takbir, Allahu Akbar! Allah Akbar!

Setelahnya kaum kafir ketakutan dan segera lari pulang meninggalan kota Madinan dengan kekecawaan berat. Di samping Allah juga mengirim angin kencang yang merobohklan kema-kema mereka dan menjungkir balikkan kuwali dan panci-panci masak mereka!

Jasa agung Sayyidina Ali ra ini diabadikan dalam Al Qur’an dalam surah Al Ahzâb ayat 25:

وَ رَدَّ اللَّهُ الَّذينَ كَفَرُوا بِغَيْظِهِمْ لَمْ يَنالُوا خَيْراً وَ كَفَى اللَّهُ الْمُؤْمِنينَ الْقِتالَ وَ كانَ اللَّهُ قَوِيًّا عَزيزاً

“Dan Allah menghalau orang- orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, ( lagi ) mereka tidak memperoleh keuntungan apa pun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.

Imam Jalaluddîn as Suyûthi dalam tafsirnya ad Durra al Mantsûr,5/368 menukil sebuah atsar dari sahabat Ibnu Mas’ud ra bahwa beliau menerangkan maksud ayat di sebagai berikut: Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan dengan Ali bin Abi Thalib!

Abu Salafy: Saya yakin sekali bahwa kaum Salafi Wahhâbi (garda terdepan pasukan pembenci Sayyidina Ali dan Ahlulbait Nabi saw.) akan sangat keberatan dengan kenyataan di atas. Mereka pasti akan meronta-ronta bak onta hendak disembelih menyaksikan keutamaan agung yang diabadikan Allah dalam kitab suci terakhirnya ini menjadi milik Ali bin Abi Thalib! Bukan milik Mu’awiyah bin Abi Sufyân pujaan kaum munafik!

[3] Maqâtil ath Thâlibiyyîn:65.

[4] Tafsir Fathu al Qadîr; asy Syaukani,1/114.



Membongkar Kepalsuan Syubhat Ustadz Firanda Dalam Buku “Ketinggian Allah Di Atas Makhluk-Nya” (1)

$
0
0

Membongkar Kepalsuan Syubhat Salafi Wahhâbi Tentang Ketinggian Fisikal Allah SWT Di Atas Makhluk-Nya

Pendahuluan

Pada awalnya saya hanya bermaksud menyoroti sebagian dari buku Ustadz Firanda yang berjudul Ketinggian Allah Di Atas Makhluk-Nya. Beberapa artikel telah saya tulis sebelumnya dan hanya saya fokuskan kepada membongkar kepalsuan klaim adanya IJMA’ umat Islam dan para ulama akan akidah bahwa Allah  berada di  atas langit. Alhamdulillah, artikel-artikel itu telah mendapat sambutan yang menggembirakan dari banyak kalangan karena dirasa telah mampu mengungkap kebenaran dalam masalah ini. Karenanya saya bermaksud untuk melanjutkan membongkar sisi-sisi lain dari penyimpangan akidah Salafi Wahhâbi yang mereka warisi dari kaum Mujassimah Musyabbihah yang pada gilirannya mereka juga mewarisinya dari ajaran Yahudi yang sengaja disisipkan oleh para pendeta Yahudi yang berpura-pura memeluk Islam, seperti Ka’ab al Ahbâr, Wahb bin Munabbih dkk!

Kali ini, artikel-artikel saya akan lebih menyoroti kepada bagian pertama buku itu tentang apa yang disebut oleh Ustadz Firanda sebagai dalil-dalil yang menunjukkan Allah berada di atas! Walaupun bagi saya semua itu tidak layak disebut sebagai dalil… ia hanya syubhat… hanya kesalahpahaman dan lebih merip dengan memahami teks suci; Al Qur’an dan Hadis secara awam dan menyimpang!

Pada bagian awal bukunya tersebut. Ustadz Firanda menulis sebuah bab dengan judul: BAB ! Bantahan Terhadap Aqidah Abu Salafy TERNYATA TUHAN TIDAK DILANGIT!  

Dalam bab tersebut ia menulis sub judul: A. DALIL BAHWASANYA ALLAH BERADA DI ATAS. Dalam bagian ini ia menyebutkan delapan belas dalil yang dalam anggapannya menujukkan bahwa Allah SWT berada dan bertempat di atas!

Untuk menghemat waktu pembaca saya akan ajak langsung Anda menyimak satu persatu “dalil” yang dibanggakan Ustadz Firanda untuk membangun akidah sesatnya tersebut!

Ustadz Firanda berkata,

“Dalil yang menunjukkan bahwasannya Allah Azza wa Jalla berada di atas seluruh makhluk-Nya sangatlah banyak. Dalil-dalil tersebut terbagi dalam beberapa sisi pendalilan. Pada tiap sisi pendalilan terdapat banyak dalil. Sisi-sisi pendalilan tersebut di antaranya:

Pertama: Penyebutan al-fauqiyyah (ketinggian) tanpa diikuti kata penghubung apa pun. seperti dalam firman Allah Azza wa Jalla:

وَ هُوَ الْقاهِرُ فَوْقَ عِبادِهِ

Dan Dialah Maha Menundukkan di atas hamba-hamba-Nya. (QS. Al-An’aam;18)

 

Kedua: Penyebutan ‘al- fauqiyyah (ketinggian) Allah Azza wa Jalla dengan kata penghubung ‘min’. Seperti dalam firman Allah Azza wa Jalla:

وَ لِلَّهِ يَسْجُدُ ما فِي السَّماواتِ وَ ما فِي الْأَرْضِ مِنْ دابَّةٍ وَ الْمَلائِكَةُ وَ هُمْ لا يَسْتَكْبِرُونَ *  يَخافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ وَ يَفْعَلُونَ ما يُؤْمَرُونَ

Dan milik Allah sajalah[1] segala apa yang berada di langit dan semua makhluk yang melata di bumi dan (juga) para malaikat, dalam keadaan mereka tidak sombong. Mereka takut terhadap Tuhan mereka yang berada di atas mereka, dan mereka mengerjakan apa yang diperintahkan.(QS. An Nahl: 49-50)

Ibnu Khuzaimah (rh) menyatakan:

“Maka Allah Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi memberitakan kepada kita dalam ayat ini bahwa Rabb kita berada di atas para malaikat-Nya, dan berada di atas segala yang ada di langit dan di bumi berupa makhluk melata, dan (Allah) mengkhabarkan kepada kita bahwa para malaikat takut terhadap Rabb mereka yang berada di atas mereka. (Lihat Kitaabut Tauhid karya Ibnu Khuzaimah halaman 111)

Perhatikan, Ibnu Khuzaimah memahami ayat tersebut bahwa memang Allah Azza wa Jalla berada di atas seluruh makhluk-Nya. Siapakah Ibnu Khuzaimah sehingga kita perlu mengambil rujukan (tentang Ketinggialn Allah Azza wa Jalla ini) darinya?”[2]

Dan setelahnya ia menukil pujian adz Dzahabi dalam Siyar A’lâm an Nubalâ’,14/365 tentang keagungan Ibnu Khuzaimah

.

Abu Salafy:

Sobat abusalafy yang cerdas, Anda tentu masih ingat bagaimana Ustadz Firanda menyerang saya secara brutal ketika saya menyajikan sebuah alternatif tafsir dalam masalah keyakinan kaum Musyrik Arab, apakah mereka benar-benar mengimani Kemaha Penciptaan Allah SWT seperti yang mereka ucapkan, atau mereka hanya mengucokannya tanpa mengimaninya! Ketika itu Ustadz Firanda menyerang saya dengan menuduh saya mengada-ngada tafsir Al Qur’an! Hanya saya tidak punya Salaf dalam pemahaman ayat-ayat tersebut… ia begitu brutal bak srigala kelaparan… lalu menantang saya untuk mendatangkan seorang saja dari kalangan Salaf yang sama pemahamannya dengan pemahaman saya!

Saya memaklumi keganasan sikapnya terhadap saya karena dalam format pemikirannya, pemahaman terhadap Al Qur’an itu harus sesuai dengan pemahaman Salaf! Walaupun berulang kali telah saya katakan dan saya buktikan bahwa yang wajib atas kita adalah membangun akidah dan agama kita di atas Al Qur’an dan Sunnah! Titik. Adapaun tambahan yang mengatakan: kita harus mengikuti Al Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman Salaf! Adalah tidak berdasar! bahkan ia adalah bid’ah dan tertolak! Pemahaman teks suci agama bukanlah monopoli generasi terdahulu! Ia milik setiap ulama yang memiliki kapasitas dan kemampuan intelektual yang mencukupi dan dibutuhkan! Betapa banyak pemahaman generasi Salaf itu salah! Sebagaimana betapa sering kita temukan bahwa pemahaman para ulama muta’akhkihirîn lebih jitu dan lebih tepat!

Di sini, saya meminta Ustadz Firanda agar bersikap konsekuen terhadap konsep pemahaman agamanya… ia harus membangun pemahamannya terhadap setiap teks suci di atas pemahaman Salaf! Akan tetapi anehnya, Ustadz Firanda hanya mampu mencecer ayat dan hadis tanpa merujuk kepada pemahamnan Salaf! Kini ia teleh mengkhianati konsep akidahnya sendiri! Entah apa alasannya? Atau itu justeru itu bukti kebangkrutannya.

Coba Anda perhatikan bagaimana ia hanya mampu menyebut ayat 18 surah al An’âm tanpa berusaha menyajikan keterangan dan tafsir seorang pun dari kalangan Salaf, seperti yang biasanya ia demonstrasikan, apalagi tafsir Nabi Muhammad saw.! Dan pada ayat kedua yaitu ayat 49-50 surah an Nahl ia juga hanya mampu menyajikan keterangan dan pemahaman Ibnu Khuzaimah! Sungguh aneh bukan?!

Kendati ketarangan tentang ayat di atas telah saya jelaskan dalam artikel saya (Ternyata Tuhan Tidak Di Langit (7)) yang ia bantah, namun anehnya ia tidak sedikit pun menyinggung atau mengkritiknya… sekali lagi, ia hanya menyebutkan ayat tanpa keterangan apapun tentangnya!

Inti Kesesatan Kaum Mujassimah Musyabbihah!

Di sini saya mengingatkan kembali inti permasalah bahwa yang menjadi keyakinan kaum Mujassimah yang sekarang sedang diperjuangkan oleh pawaris mereka yaitu kaum Salafi Wahhâbi adalah akidah bahwa Allah berada dan bertempat di atas langit! Tepatnya di atas Arsy… dan ketinggian Allah tersebut bersifat fisikal, dzatan! Di sinilah letak perselisihan kaum Salafi Wahhâbi Mujassim dengan kaum Muslimin, di mana mayoritas umat Islam yang diwakili oleh Asy’ariyah, Zaidiyah dan Syi’ah Imamiyah meyakini Kemahasucian Allah dari berada di sebuah tempat tertentu. Allah SWT Maha Tinggi, namun Kamahatinggian Allah itu secara rutbatan, bukan dzatan!

Jadi jangan sampai disalah-pahami bahwa kaum Muslimin yang menentang akidah Salafi Wahhâbi Mujassim dalam malasah ini tidak mengimani Kemahatinggian Allah SWT!

Dan dalam kaitan ini tidak sedikit keterangan ulama Islam yang disalah-pahami dan dimaknai sebagai mendukung akidah ketinggian fisikal Allah, baik kesalah-pahaman itu dilakukan secara sengaja atau hanya murni sebagai kesalah-pahaman belaka. Seperti pernyataan Ibnu Khuzaiman yang dikutip Ustadz Firanda. Di mana ia tidak memberikan kejalasan absolut bahwa yang ia maksud adalah ketinggian fisikal seperti yang diyakini kaum Salafi Wahhâbi! Namun andai benar, Ibnu Khuzaimah memahami ayat tersebut di atas seperti yang dipahami oleh Ustadz Firanda dan kaum Salafi Wahhâbi lainnya, maka di sini perlu dimengerti bahwa:

A)     Pemahaman Ibnu Khuzaimah bukan nash suci dan absolut…. ia tidak mewakili kecuali dirinya sendiri dan mereka yang sealiran dalam tajsîm dan tasybîh!

B)     Pemahaman Ibnu Khuzaimah bukan satu-satu keterangan yang bisa disebutkan dalam kaitan ayat di atas.

Lalu mengapakah Ustadz Firanda hanya berpegang dengan tafsir dan pemahaman Ibnu Khuzaimah dan mencampakkan pululah ulama dan Ahli Tafsir Al Qur’an yang pemahaman dan tafsiran mereka justeru bertolak belakang dengan pemahaman dan penafsiran Ibnu Khuzaimah… bahkan tafsiran para ulama lebih dapat dipertanggung jawabkan karena ia sejalan dengan ruh Al Qur’an yang sarat dengan kaidah-kaidah penyucian Allah SWT dari penyerupaan dan posturisasi.

Tentang Ayat 18 Surah Al An’âm

Adapun tentang ayat 18 surah al An’âm yang Ustadz Firanda sebut sebagai dalil yang menegaskan Ketinggial Fisikal, Dzat Allah tanpa keterangan apapun itu, maka ketahuilah bahwa para ulama Islam telah memahaminya dengan penuh ketelitian dan kejelian penafsiran. Tidak seperti kaum Mujassimah yang sekarang diwarisi Salafi Wahhâbi, yang pemahaman mereka mencerminkan kekanak-kananan dan keawaman! Sebagai contoh misalnya, Imam Ahli Tafsir klasik, Imam Ibnu Jarîr ath Thabari (yang selama ini selalu dikutip Ustadz Firanda dalam membantah saya dan/atau membangun pemahaman agamanya), beliau memahaminya demikian:

وَ هُوَ الْقاهِرُ فَوْقَ عِبادِهِ

Dan Dialah Maha Menundukkan di atas hamba-hamba-Nya.

Yang Allah maksudkan dengan firman-Nya tersebut adalah; Yaitu DzatNya sendiri; Dan Allah Maha Berkuasa penuh atas hamba-hamba-Nya. Yang dimaksud dengan kata “al Qâhir” adalah yang Maha Menundukkan dan Memperhamba ciptaan-Nya, yang Maha Tinggi atas mereka. Adapau Allah berfirman: فَوْقَ عِبادِهِ/ di atas hamba-hamba-Nya itu dikarenakan Dia telah mensifati Diri-Nya dengan Penguasaan dan Penundukan mereka. Dan adalah sifat setiap yang menundukkan sesuatu lain pasti ia menjadi tinggi di atasnya.

Jadi makna firman itu adalah demikian: Dan Allah Maha Menang/Menguasai hamba-hamba-Nya, Maha Menghinakan/Menundukkan mereka, Maha Tinggi atas mereka dengan penundukan-Nya atas mereka. Maka Dia di atas mereka dengan penundukan mereka, dan mereka di bawah_nya. Dan Dia Maha Bijaksana dalam ketinggian-Nya atas hamba-hamba-Nya dan penundukan mereka dengan kemaha-kuasaan-Nya dan juga dalam seluruh pengaturan-Nya. Yang Maha Mengetahui maslahat-maslahat dan madharrat-madharrat setiap sesuatu, Yang tiada samar bagi-Nya kesudahan dan permulaan seluruh perkara, dan tiada terjadi kerusakan dalam pengaturan-Nya dan tidak mencampuri dalam ketetapan dan keputusan-Nya campur-tangan apapun dan siapapun.!”[3]

Demikianlah beliau, -sebagai tokoh mufassir Salaf- memahami ayat tersebut… jauh dari penyimpangan kaum Mujassimah yang sekarang diwarisi oleh Salafi Wahhâbi bahwa ayat tersebut sedang berbicara tentang ketinggian fisikal Allah!!

Abu Salafy:

Lalu mengapakah Ustadz Firanda menutup mata dari keterangan Imam ath Thabari dan lebih memilih tafsir yang bernuasa tajsîm dan memposturisasi Allah dan berada di sebuah tempat tertentu?!

أَ في‏ قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ أَمِ ارْتابُوا

Apakah dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena ) mereka ragu-ragu… “ (QS. An Nûr[24]; 50)

Dan demikian pula ayat tersebut dipahami oleh para ulama dan mufassir lainnya, seperti Imam asy Syaukani. beliau menerangkan sebagai berikut:

وَ هُوَ الْقاهِرُ فَوْقَ عِبادِهِ

Dan Dialah Maha Menundukkan di atas hamba-hamba-Nya.” Kata al Qahru artinya: al Ghalabah/menang/mengalahkan. Kata al Qâhir artinya yang menang/yang mengalahkan … dan arti kalimat: فَوْقَ عِبادِهِ/di atas hamba-hamba-Nya. Arti fauqa/di atas adalah ketinggian penguasaan dengan keperkasaan dan mengalahkan mereka (hamba-hamba), bukan ketinggian tempat/posisi! Seperti kamu berkata, “Sultan itu di atas rakyatnya. Maksudnya ia di atas mereka dalam kedudukannya. Kata qahr memliki makna tambahan yang tidak ada pada kata qudrah/kekuasaan, yaitu tercegahnya pihak lain dari mencapai jutuannya.[4]

Imam al Khâzin juga menegaskan hal serupa ketika ia menerangkan ayat di atas. Ia berkata: “Firman Allah Azza wa Jala:

وَ هُوَ الْقاهِرُ فَوْقَ عِبادِهِ

Dan Dialah Maha Menundukkan di atas hamba-hamba-Nya.” Yaitu Dialah yang Maha Menang/mengalahkan hamba-hamba-Nya dan yang Maha mengusai mereka dan mereka tertundukkan di bawah kekuasaan-Nya. Sifat al Qâhir dan al Qahhâr artinya adalah: Dzat yang mengatur ciptaan-Nya dengan pengaturan yang Ia kehendaki, maka berlakulah atas mereka apa-apa yang memberatkan mereka, membuat mereka sedih, membuat mereka miskin dan mematikan dan menundukkan mereka, dan tiada seorang pun dari ciptaan-Nya yang mampu menolak kepengurusan dan pengaturan Allah dan keluar dari kekengan kekuasaan dan pengaturan-Nya. Dan inilah makna al Qâhir pada sifat Allah karena Dia adalah Dzat Yang Maha Kuasa dan Maha Menundukkan yang tiada sesuatu apapun yang mampu memperdaya-Nya jika Ia berkehendak sesuatu.

Adapun arti: فَوْقَ عِبادِهِ/di atas hamba-hamba-Nyadi sini adalah bahwa kekuasan-Nya telah menguasai makhluk-Nya, maka mereka berada di bawah pengaturan dan ditundukan oleh-Nya karena kamaha-kuasaan dan kemaha-perkasaan-Nya yang tiada seorang pun yang mampu keluar dan lepas dari genggamannya. Dan setiap yang menguasai sesuatu lain berarti ia telah di atasnya dengan keperkasan dan kemenangan…

Setelahnya beliau mendukung tafsiran di atas dengan mengutip keterangan Ibnu Jarir ath Thabari (W.310 H) Yang telah saya sebutkan di atas.[5]

Alhasil, para ulama memahami bahwa ayat di atas sama sekali tidak menujukkan kebedaraan Allah di atas hamba-hamba-Nya secara fisikal, baik di langit atau pun di Arsy atau di tempat lain mana pun, seperti insya Allah akan saya jelaskan keterangan para ulama Islam dalam masalah ini pada artikel lain dalam blog kesayangan Anda ini!

Ragam Makna Kata Fauqa

Pemahaman para ulama Islam di atas tentunya sangat kokoh dan didukung oleh kaidah baku Al Qur’an yang menetapkan Kemaha-sucian Allah dari tempat dan berada di sebuah posisi tertentu! Dan selain itu sebenarnya kata fauqa sendiri memiliki banyak penggunaan, bahkan dalam Al Qur’an sendiri. Para ulama dan ahli tafsir telah merinci makna-makna kata tersebut dalam enam penggunaan seperti dipaparkan oleh ar Raghib al Isfahâni, beliau berkata, “Kata fauqa dipergunakan untuk enam makna/penggunaan, untuk menunjukkan:  1) tempat, 2) waktu, 3) Jism/fisik, 4) bilangan, 5) kedudukan, 6) penundukan.

  • Penggunaan pertama dengan memerhatikan pengertian tinggi, lawannya adalah rendah/bawah. Seperti pada firman:

قُلْ هُوَ الْقادِرُ عَلى‏ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذاباً مِنْ فَوْقِكُمْ أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعاً وَ يُذيقَ بَعْضَكُمْ بَأْسَ بَعْضٍ انْظُرْ كَيْفَ نُصَرِّفُ الْآياتِ لَعَلَّهُمْ يَفْقَهُونَ

Katakanlah:” Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu… “ (QS. Al An’âm [6];65)

  • Penggunaan kedua dengan memperhatikan pengertian naik dan turun. Seperti dalam firman:

إِذْ جاؤُكُمْ مِنْ فَوْقِكُمْ وَ مِنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ

“(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu…“ (QS. Al Ahzâb [33];10)

  • Penggunaan ketiga untuk bilangan. Seperti dalam firman:

فَإِنْ كُنَّ نِساءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ

“… dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua.” (QS. An Nisâ’ [4];11)

  • Penggunaan keempat untuk menunjukkan arti besar atau kecil. Seperti dalam firman:

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَحْيِيْ أَن يَضْرِبَ مَثَلاً مَّا بَعُوْضَةً فَمَا فَوْقَهَا

Sesungguhnya Allah tidak akan malu untuk membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih kecil dari itu… “ (QS. Al Baqarah [2];26)

  • Penggunaan kelima, (yaitu untuk arti kedudukan), terkadang dengan memerhatikan sisi keutamaan duniawi, seperti dalam ayat:

وَ رَفَعْنا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجاتٍ

“… dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, … “ (QS. Az Zukhruf [43];32)

Atau dari sisi kedudukan ukhrawi, seperti dalam ayat:

وَ الَّذِيْنَ اتَّقَوْا فَوْقَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Padahal, orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia dari mereka di hari Kiamat.

 (QS. Al Baqarah [2];212)

  • Penggunaan keenam, (yaitu dengan arti penundukan) seperti dalam ayat:

وَ هُوَ الْقاهِرُ فَوْقَ عِبادِهِ

Dan Dialah Maha Menundukkan di atas hamba-hamba-Nya.

Dan ayat:

يَخافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ وَ يَفْعَلُونَ ما يُؤْمَرُونَ

Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka). (QS. An Nahl [16];50 (

Demikian keterangan panjang lagi berharga ar Râghib al Isfahâni sebagaimana dinukil dan di benarkan al Hafidz Ibnu Hajar al Asqallâni dalam Fathu al Bâri-nya.[6]

Jadi, memaksa ayat tersebut (ayat 18 surah Al An’âm) sebagai menujukkan ketinggian fisikal Allah hanya karena ada kata fauqa adalah pemahaman kekanak-kanakan yang hanya Anda akan temukan dalam penafsiran kaum Mujassimah Musyabbihah alias Salafi Wahhâbi, seperti Ustadz Firanda. Semoga Allah memberinya hidayah ke jalan akidah yang benar yang jauh dari akidah kaum Yahudi yang kental dengan posturisasi Allah SWT.  Amîn.

Andai Mereka Mau Merenungkan Al Qur’an?!

Sebenarnya dalam Al Qur’an terdapat banyak ayat yang dapat menjadi petunjuk bagi mereka yang mau merenungkan dan bertadabbur tentang ayat-ayat Al Qur’an, khususnya ayat-ayat mutasyâbihât yang sering kali dijadikan kaum Mujassimah dan mereka yang menggelar jaring penyesatan umat dan kaum awam…[7] andai mereka mau merenungkannya pastilah mereka terhindar dari kesalahpahaman seperti yang dialami kaum Salafi Wahhâbi Mujassim! Di antara ayat-ayat tersebut adalah firman Allah SWT:

سَنُقَتِّلُ أَبْناءَهُمْ وَ نَسْتَحْيي‏ نِساءَهُمْ وَ إِنَّا فَوْقَهُمْ قاهِرُونَ

”Akan kita bunuh anak-anak lelaki mereka dan kami biarkan hidup perempuan-perempuan mereka; dan sesungguhnya kita berada di atas mereka.” (QS Al A’raf [7]127)

Coba Anda renungkan baik-baik baigan ini:  إِنَّا فَوْقَهُمْ قاهِرُونَ/dan sesungguhnya kita berkuasa penuh atas mereka. Di sini ada dua kata yang sama dengan ayat yang diandalkan Ustadz Firanda dan kaum Salafi Wahhâbi Mujassim lainnya untuk menungjukkan  ketinggian fisikal Allah SWT. Ayat di atas mengisahkan keangkuhan Fir’aun dan kaumnya, Fir’aun berkata menyomongkan diri bahwa ia akan membantai anak-anak lelaki bani Israil dan membiarkan hidup kaum perempuan… dengan congkaknya Fir’aun berkata, dan sesungguhnya kita berada di atas mereka.” Apakah Ustadz Firanda dan para masyâikh Salafi Wahhâbi Mujassim lainnya akan mengartikan perkataan Fir’aun yang diabadikan dalam Al Qur’an itu bahwa Fir’an hendak mengatakan bahwa ia berada di atas bangsa bani Israil secara fisikal?! Apakah demikian maksud ayat tersebut menurut mereka?! Alangkah dungunya jika ada orang yang memamahi demikian!! Kata fauqa di sini sama sekali tidak ada kaitannya dengan keberadaan di atas secara fisikal… ia seperti yang diterjemahkan secara benar oleh Tim Depag bahwa maksudnya adalah; Dan kami benar-benar berkuasa penuh atas mereka! Jadi ia menunjukkan ketinggian dari sisi penguasaan dan penundukan! Dan demikianlah para ulama Islam memahaminya![8]

Catatan Penting!!

Sifat al Qâhir disertai dengan kata fauqa ‘ibâdihi disebut sebanyak dua kali dalam surah al An’âm. Dan dalam kedua ayat tersebut penyebutan sifat itu selalu disertai penyebutan sifat kekuasaan Allah dalam berbagai sisi pengaturan ciptaan-Nya. Sehingga mestinya sudah cukup menjadi indikasi kuat bahwa makna ayat tersebut adalah sedang berbicara tentang Kemaha-kuasan dan Kemaha-perkasaan Allah yang telah menundukkan hamba dan ciptaan-Nya dengan memberlakukan seluruh kehendak-Nya tanpa ada seorang atau kekuatan apapun yang mampu menghalangi terlaksananya kehendak Allah SWT.

Namun jika seorang telah menutup mata batin dan pikirannya dari petunjuk dan hidayah Al Qur’an dan hanya membuka lembaran suci Al Qur’an guna memcari pembenaran dan bukan kebenaran maka Allah akan membutakan mata hatinya dan mengunci pikirannya, sehingga ia tidak dapat menikmati sajian Al Qur’an al Karîm! Ia hanya mendengar bisikan kaum Zâighîn yang hati-hati mereka penuh dengan penyimpangan dan kesesatan! Na’udzubillah min dzâlik.

Dan setelah ketarangan ini rasanya tidak perlu saya berpanjang-panjang lagi meladeni Ustadz Firanda dalam bantahannya terhadap Imam Ibnu Jauzi. Sebab di samping keterangan saya di sini dan juga dalam artikel-artikel sebelumnya dirasa sudah jelas, tidak ada pula bantahan berarti yang perlu disanggah di sini!

Adapun tentang Ayat 50 surah an Nahl dan hadis sabda Nabi saw. kepada sabahat Sa’ad bin Mu’âdz maka akan saya bahas dalam artikel lanjutan. Nantikan!

(Bersambung Insya Allah)


[1] Di sini saudaraku Ustadz Firanda melakukan kesalaha fatal dalam menerjemahkan bagian awal ayat di atas yang saya tandai dengan garis bawah. Terjemahan yang benar aadalah: Dan hanya kepada Allah sajalah bersujud…. dia meninggalkan kata: يَسْجُدُ/bersujud.Tapi saya tidak bermaksud mempermasalahkannya atas kesalahan itu. Mungkin hanya salah ketik saja!

[2] Ketinggian Allah Di Atas Makhluk-Nya (bantahan Terhadap Abu Salafy); Firanda Andirja Abidin:5-7.

[3] Tafri Jâmi’ al Bayân (Tafsir ath Thabari),7/161.

[4] Fathu al Qadîr,2/104.

[5] Tafsir Lubâb at Ta’wîl Fi Ma’âni at Tanzîl (dikenal dengan mana Tafsir Khâzin),2/123.

[6] Fathu al Bâri,28/193-194.

[7] Di antara ciri kaum sesat lagi menyesatkan adalah kegemaran mereka berkubang dalam kubangan ayat-ayat mutasyâbihât tanpa mencari tau makna dan takmilnya dengan melibatkan ayat-ayat muhkamât. Perhatikan bagaimana Allah mengecam mereka dalam Al Qur’an:

هُوَ الَّذي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتابَ مِنْهُ آياتٌ مُحْكَماتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتابِ وَ أُخَرُ مُتَشابِهاتٌ فَأَمَّا الَّذينَ في‏ قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ ما تَشابَهَ مِنْهُ ابْتِغاءَ الْفِتْنَةِ وَ ابْتِغاءَ تَأْويلِهِ وَ ما يَعْلَمُ تَأْويلَهُ إِلاَّ اللَّهُ وَ الرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنا وَ ما يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُولُوا الْأَلْبابِ

Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamât itulah pokok-pokok isi Al Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihât. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihât untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata:Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.(QS. Âlu Imrân [3];7)

[8] Lebih lanjut baca tafsir Fathu al Qadîr,2/235 dan tafsir Khâzin,2/274.


Membongkar Kepalsuan Syubhat Ustadz Firanda Dalam Buku “Ketinggian Allah Di Atas Makhluk-Nya” (2)

$
0
0

Membongkar Kepalsuan Syubhat Salafi Wahhâbi Tentang Ketinggian Fisikal Allah SWT Di Atas Makhluk-Nya

Al Qur’an adalah nash suci yang tidak boleh sembarangan menafsirkannya tanpa dasar, metode dan petunjuk yang benar. Memaksakan Al Qur’an dengan pemahaman kita demi menampilkannya sebagai yang berlebel Qur’ani adalah salah satu bentuk menafsirkan Al Qur’an dengan ra’yu/pendapat pribadi tanda dasar! Dan itu sangat dikecam Allah dan RasulnNya saw. Dan biasanya mereka yang memplesetkan tafsiran ayat-ayat Al Qur’an akibat kebengkokan jiwa dan pikirannya atau terjebak dalam penyimpangan penafsiran itu disebabkan mereka berkubang dalam ayat-ayat mutasyâbihât dan meninggalkan berpetunujuk dengan ayat-ayat muhkamât. Selain juga dipengaruhi oleh mengabaikan kaidah-kaidah bahasa Arab yang mana Al Qur’an diturunkan dengan bahasa tersebut! Bahasa Arab yang penuh dengan keindahan fariasi kesusastraan yang unik dan penggunaan majazi yang memukau… dan mengabaikan sisi ini akan menjadikan seorang yang hendak menyelami lautan kandungannya menjadi tenggelam dalam kejahilan dan keajaman yang sangat menyimpang dan menyesatkan!

Setelah sebelumnya bagaimana Anda saksikan bahwa ayat 18 surah Al Anâm yang dijadikan dalil Ustadz Firanda (agen lokal sekte sempalan Salafi Wahhâbi Mujassim) dan kaum Mujassimah lainnya sebagai dalil menunjukkan bahwa Ketinggian posisi Dzat Allah SWT[1] ternyata tidak menunjukkan seperti apa yang ia simpulkan, yang entah dari mana sumbernya dan apa alasan dan buktinya… dan setelah Anda ketahui bagaimana ternyata pemahaman para ulama Islam yang telah saya nukilkan sebagian keterangan mereka benar-benar bertentangan dengan apa yang dipahami oleh Ustadz Firanda dan para Salafiyyûn Wahhâbiyyûn lainnya… setelah itu semua saya ajak sobat abusalafy yang cerdas lagi kritis untuk membuktikan kepalsuan dan kenaifan pendalilan kedua Ustadz Firanda di bawah ini:

“Kedua: Penyebutan ‘al- fauqiyyah (ketinggian) Allah Azza wa Jalla dengan kata penghubung ‘min’. Seperti dalam firman Allah Azza wa Jalla:

وَ لِلَّهِ يَسْجُدُ ما فِي السَّماواتِ وَ ما فِي الْأَرْضِ مِنْ دابَّةٍ وَ الْمَلائِكَةُ وَ هُمْ لا يَسْتَكْبِرُونَ  *يَخافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ وَ يَفْعَلُونَ ما يُؤْمَرُونَ 

Dan milik Allah sajalah[2] segala apa yang berada di langit dan semua makhluk yang melata di bumi dan (juga) para malaikat, dalam keadaan mereka tidak sombongi. Mereka takut terhadap Tuhan mereka yang berada di atas mereka, dan mereka mengerjakan apa yang diperintahkan.(QS. An Nahl: 49-50)

Ibnu Khuzaimah (rh) menyatakan:

“Maka Allah Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi memberitakan kepada kita dalam ayat ini bahwa Rabb kita berada di atas para malaikat-Nya, dan berada di atas segala yang ada di langit dan di bumi berupa makhluk melata, dan (Allah) mengkhabarkan kepada kita bahwa para malaikat takut terhadap Rabb mereka yang berada di atas mereka. (Lihat Kitaabut Tauhid karya Ibnu Khuzaimah halaman 111)

Ustadz Firanda juga menegaskan ketika membantah keterangan al Hafidz Ibnu Jauzi:

“Perkataan “fulan fauqa funa” mungkin bisa menunjukkan makna seperti yang ia maksud, akan tetapi jika dikatakan “fuan min fauqi fulan” maka tidak bisa dibawakan kecuali kepada makna posisi. Allah SWT. Berfirman dalam Al Qur’an:

يَخافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ وَ يَفْعَلُونَ ما يُؤْمَرُونَ

Mereka takut terhadap Tuhan mereka yang berada di atas mereka, dan mereka mengerjakan apa yang diperintahkan.(QS. An Nahl: 49-50)

Dan dalam bahasa Arab jika dikatakan “min fauqi” tidak bisa menunjukkan makna kadar tetapi maknanya di atas dari segi posisi.” (Ketinggian Allah SWT Di Atas Makhluk-Nya:10-11)

Abu Salafy Berkata:

Inilah puncak usaha “mati-matian” yang mampu dicurahkan Sarjana kebanggan kaum awam Salafi Wahhâbi di tanah air tercinta ini. Tidak ada satu pun bukti dan alasan yang diajukan untuk mendukung premis dan anggapannya di atas. Tidak pula ada keterangan Nabi Muhammad saw., para sahabat mulia dan para ulama dan ahli tafsir, kecuali hanya keterangan Ibnu Khuzaimanh. Itupun seperti telah saya singgung sebelumnya juga masih berbias! Tidak jelas menunjukkan apa yang dipahami Ustadz Firanda… dan andaipun sesuai yang yang dipahami Ustadz Firanda juga ia tidak bernilai sedikit pun di pasar intelektual, karena alasan yang telah saya sebebutkan sebelumnya!

Sekali lagi saya tegaskan di sini bahwa kesalahan fatal kaum Mujassimah (yang mana Ustadz Firanda di kampusnya sana di Arab Saudi belajar menelan mentah-mentah sajian beracun para Masyâikh Wahhâbi Taimi) adalah mereka meyakini tidak mengapa Allah SWT bersifat dengan berbagai sifat khusus jism dan jismâni, seperti bertempat, bergerak, berbobot, dibatasi oleh ruang dan berbentuk serta sifat-sifat khusus jism dan jismâni lainnya. Oleh karenanya mereka selalu memaksa ayat-ayat tertentu untuk dipahami dalam koridor ini! Akibatnya mereka terjebak dalam kesesatan akidah Tauhid!

Di sini, Ustadz Firanda juga tidak mampu membebaskan akidahnya dari penyimpangan pemahaman tersebut! Ia ngotot mengatakan bahwa ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa POSISI ALLAH DI ATAS! ALLAH BERADA DI ATAS LANGIT Perhatikan: POSISI ALLAH! ALLAH BERADA DI ATAS LANGIT!

Abu Salafy:

Sobat abusalafy yang cerdas! Saya tidak akan berpanjang-panjang menyita waktu Anda. Saya akan ajak langsung Anda menyimak bagaimana para Ulama Islam (Ahlusunnah; Asy’ariyyah-al Maturidiyyah) memahami ayat tersebut di atas berbeda dengan pemahaman kaum Mujassimah dan kaum Salafi Wahhâbi ‘Agen Tunggal’ kesesatan mereka. Di bawah ini akan saya nukilkan beberapa keterangan ulama para ahli tafsir.

  • Keterangan al Hafidz Abu Hayyan al Andalûsi dalam tafsir al Bahru al Muhîth,6/541:

Al Kirmâni berkata, “Dan malaikat itu disifati dengan sifat khauf/takut. Karena mereka sebenarnya bisa melakukan maksiat kendati mereka tidak melakukannya. Dan al fauqiyyah al makâniyah/ketinggian posisi itu mustahil bagi Dzat Allah –Ta’âla-. Dan jika min fauqihim kamu kaitakan dengan kata yakhâfûn maka pada kalimat itu ada kata yang hapus/ tidak disebutkan (namun kira-kirakan ada), maknanya, ‘Mereka takut siksa Tuhan mereka yang mana siksa itu datang dari atas mereka.’ Sebab siksa itu turun dari arah atas. Dan jika kamu kaitkan dengan kata Rabbahum, maka dia menunjukkan keadaan Tuhan. Yaitu maknanya, ‘Mereka takut Tuhan mereka dalam keadaan Tuham mereka Maha Tinggi dan Menundukkan mereka.’ Pemahaman ini berdasarkan ayat:

  1. وَ هُوَ الْقاهِرُ فَوْقَ عِبادِهِ

Dan Dialah Maha Menundukkan di atas hamba-hamba-Nya.

Dan:

وَ إِنَّا فَوْقَهُمْ قاهِرُونَ

” dan sesungguhnya kita berada di atas mereka.” (QS Al A’raf [7]127)

Keterangan di atas jelas sekali bagi kita bahwa ketinggian posisi adalah mustahil bagi Allah! Dan inilah akidah Islam yang murni yang jauh dari penyimpangan akidah Yahudi!

  • Keterangan Imam al Hafidz al Mufassir Ibnu Jazzi al Kalbi dalam Kitab at Tashîl Li ‘Ulûm at Tanzîl,2/155:

يَخافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ وَ يَفْعَلُونَ ما يُؤْمَرُونَ

Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka.” (QS. An Nahl [16];50)

Ini adalah pemberitahuan tentang sikap para malaikat. Dan ia menunjukkan ketidak-angkuhan mereka. Dapat dimungkinkan bahwa ketinggian dimaksud di sini adalah ketinggian Kemahakuasaan dan Kemahaagungan. Atau ia tergolong ayat-ayat yang musykil yang tidak boleh ditakwilkan. Dan ada pula yang berpendapat, “Mereka takut Allah mengirim siksa dari arah atas mereka.”

 

Abu Salafy:

Dari keterangan yang mencerminkan kehatia-hatian di atas dapat kita mengerti bahwa fauqiyyah/ketinggian dimaksud dalam ayat di atas adalah tidak menunjukkan ketinggian posisi seperti yang dipaksakan oleh kaum Mujassimah. Tetapi ia menunjukkan Kemahatinggian keagungan dan kekuasaan/fauqiyyah al qudrah wa al ‘adzamah. Jika pun menafsiran/penakwilan di atas tidak diterima maka kita harus menahan diri dari memaknainya dengan makna apapun. Kita kembalikan penafsiran maknanya kepada Allah SWT yang menfirmankannya. Dan ini adalah mazhab tafwîdh seperti yang telah diketahui bahwa sebagian Salaf Shaleh menempuh jalan ini dalam menyikapi ayat-ayat sifat! (Baca kembali keterangan abusalafy dalam BENARKAH WAHHABIYAH PEWARIS SEJATI MAZHAB SALAF? II. (Ditulis pada Desember 30,2007)

  • Keterangan Imam as Suyûthi dalam Tafsir al Jalalain dan Ash Shâwi Pensyarah Jalalain,2/292:

يَخافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ وَ يَفْعَلُونَ ما يُؤْمَرُونَ

Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka.” (QS. An Nahl [16];50)

Maksudnya, Dia (Allah) Maha Tinggi atas mereka dengan penundukan/’âliyan ‘alaihim bilqahri.

Ash Shawi menjelaskan penafsirn di atas dengan keterangaN sebagai berikut: “Makna ayat ini adalah: ‘Mereka (para malaikat) takut kepada Allah dalam keadaan Allah Mahamenguasai mereka dan Mahamenundukkan mereka. Maka yang dimaksud dengan al fauqiyyah/ketinggian di sini atas adalah al isti’lâ’ wa al qahru/menguasai dan menundukkan. Bukan al jihah/arah/posisi. Karena posisi/arah adalah mustahil bagi Dzat Allah!!

Abu Salafy:

Demikianlah para ulama Islam memahami ayat di atas…. jauh dari akidah Tajsîs yang memposisikan Allah di posisi dan arah tertentu. Maha Suci Allah dari pensifatan kaum jahil lagi zalim!

  • Keterangan Kyai Muhammad Nawai al Bantani dalam tafsir Mirâh Labîd,1/455-456.

يَخافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ وَ يَفْعَلُونَ ما يُؤْمَرُونَ

Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka.” (QS. An Nahl [16];50)

Beliau berkata, “Kalimat ini menerangkan firman Allah sebelumnya:

لا يَسْتَكْبِرُونَ

sedang mereka ( malaikat ) tidak menyombongkan diri.

Atau ia menjadi hâl/yang menunjukkan keadaan dari kata gantinya. Yaitu mereka dalam keadaan takut kepada Penguasa segala urusan mereka dengan rasa takut kerena wibawa dan pengagungan sedang Dia di atas mereka dengan menundukan/bilqahri.

Penegasan bahwa al fauqiyyah di sini tidak terkait dengan ketinggian posisi/arah Allah, akan tetapi terkait dengan Kemahatinggian dari sisi penguasaan dan penundukan atas seluruh makhluk-Nya sangat jelas dari keterangan para ulama yang saya nukilkan di atas, maupun keterangan lain yang tidak saya kutip di sini… hal mana sudah cukup sebagai bukti bahwa pemahaman yang benar adalah mensucikan Allah SWT dari keberadaan di posisi atau arah tertentu. Dan hanya kaum Mujasimmah (Salafi Wahhâbi) sajalah yang meyakini akidah menyimpang dalam masalah ini bahwa Allah BERADA DI ATAS! POSISI ALLAH DI ATAS!

Dan sebelum saya akhiri penjelasan saya tentang ayas di atas, saya akan nukilkan untuk Anda pernyataan Imam Ibnu Baththâl (sebagaimana dinukil dan didukung oleh al Hafidz Ibnu Hajar):

“Tiada bukti bagi kaum Mujassimah dalam menetapkan tempat bagi Allah karena alasan yang telah tetap bahwa mustahil Allah berupa Jism atau bersemayam pada  tempat tertentu.!”

Jadi akidah bahwa Allah bertempat adalah akidah kaum Mujassimah! Akidah yang menyimpang dari ajaran Al Qur’an dan Sunnah!! Menyimpamng dari akidah kaum Muslimin!!

Semoga ketarangan ini bermanfaat bagi Anda.

(Bersambung Insya Allah)


[1] Inilah kata-kata Ustadz Firanda yang membuktikan penyimpangan akidah tauhidnya dengan meyakini bahwa Allah itu berposisi dan berada di sebuah tempat. (Baca Ketinggian Allah Di Atas makhluk-Nya: 6,11, 15 dll.) Dan saya berharap para pembaca mau merujuk ke kamus-kamus bahasa Indonesia apa konotasi kata berada dan berposisi? Bukankah itu menunjukkan keberadaan di sebuah tempat! Itulah yang membedakan akidah Islam yang diimani kaum Muslimin, baik Ahlusunnah (Asy’ariyah-al Mâturiyyah) dan Syi’ah baik Zaidiyah maupun Ja’fariyyah Imamiyyah Itsa Asyariyyah dengan akidah yang diimani oleh Salafi Wahhâbi Mujassim Musyabbih!

[2] Di sini saudaraku Ustadz Firanda melakukan kesalaha fatal dalam menerjemahkan bagian awal ayat di atas yang saya tandai dengan garis bawah. Terjemahan yang benar aadalah: Dan hanya kepada Allah sajalah bersujud…. dia meninggalkan kata: يَسْجُدُ/bersujud.Tapi saya tidak bermaksud mempermasalahkannya atas kesalahan itu. Mungkin hanya salah ketik saja!


Membongkar Kepalsuan Syubhat Ustadz Firanda Dalam Buku “Ketinggian Allah Di Atas Makhluk-Nya” (3)

$
0
0

Membongkar Kepalsuan Syubhat Salafi Wahhâbi Tentang Ketinggian Fisikal Allah SWT Di Atas Makhluk-Nya

Dua ayat yang dibanggakan Ustadz Firanda sebagai dalil bahwa Allah berada di atas … dan bahwa posisi Allah di atas langit ia dukung dengan sebuah hadis yang juga sangat ia banggakan. Tetapi naasnya hadis itu adalah lemah bahkan tambahan redaksi yang dengannya ia membangun akidah menyimpangnya adalah batil, ziyâdah munkarah! Yang demikian tidak mengherankan karena memang demikian kualitas hadis-hadis kebanggan kaum Mujasimah yang akidah sesat mereka telah merasuki pikiran Ustadz Firanda sehingga ia tidak melihat Islam kecuali yang disajikan kaum Mujassimah dan para masyâikh Wahhâbi agen-agen kaum Mujassimah!

Sungguh mengenaskan nasib akidah Ustadz Firanda!

Saya yakin Anda sudah tidak sabar untuk mengetahui bukti-bukti kepalsuan dan kebatilan pendalilan Ustadz Firanda (Agen Lokal Wahhâbi Salafi), karenanya saya lansung saja menyajikan bukti-bukti tersebut, dengan harapan agar Anda mengetahui kulaitas pendalilan kaum Mujassimah dan juga agar Ustadz Firanda mau merenungkannya dan mempelajarinya, dan kemudian dengan ikhlas terbuka bashîrah-nya untuk mau meluruskan akidah Tauhidnya yang telah ternodai oleh kesesatan akidah Yahudi! Walaupun mungkin sedikit beresiko bahwa semua fasilitas yang selama ini ia nikmati dari kerajaan Wahhâbi Salafi bisa-bisa dicabut… atau bahkan ia diwajibkan menggantinya! Tetapi ketahuilah bahwa apa yang disiapkan Allah bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertaqwa itu lebih baik dan lebih kekal dari apa yang dijanjikan para Masyaikh dan Emir Wahhâbi…. Atau boleh jadi ketersohoran dan kemapanan posisi sebagai Sarjana Salafi andalan kaum awam bisa tergoyah! Tetapi ketahuilah bahwa posisi mapan di sisi Allah lebih afdhal bagi kaum Mukmin sejati!

Riwayat Hadis Dengan Tambahan: Dari Atas Langit Ke Tujuh Adalah Ziyâdah Munkarah! 

Ustadz Firanda berkata, “Sisi perndalilan yang kedua ini juga sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi bahwa Rasulullah saw. menyatakan kepada Sa’ad bin Mu’adz ketika memberi keputusan terhadap Bani Quraidzah:

لَقَدْ حَكَمتَ فيهِم بحكمِ اللهِ  الذِي حَكَم بِهِ مِنْ فَوقِ سَبْعِ سماواتٍ

“Sungguh engkau telah menetapkan hukum (pada hal ini) dengan hukum Allah yang telah Allah tetapkan dengannya dari atas tujuh langit” (diriwayatkan oleh an Nasaa-i dalam Manaaqibul Kubra, Ibnu Sa’ad dalam at Thobaqot, at Thahawi dalam Syarh al Maa’ny, al Hakim dalam al-Mustadrak. Al hafidz Ibnu Hajar menghasankan hadits ini dalam Takhriijul Mukhtashor. (Lihat penjelasan Syaikh Muhammad Nashiriddi al-Albaany dalam Silsilah Al-Ahaadits asshohihah juz 6/556)

Abu Salafy:

Demikian Ustadz Firanda menegaskan. Dan init pendalilan ini dalam hadis ini adalah kalimat: “yang telah Allah tetapkan dengannya dari atas tujuh langit.” Karenanya, kita akan mencari tau sejauh mana tambahan redaksi ini telah memenuhi standar dasar kehujjahan dan sah dijadikan dalil?!

Kita telah saksikan beberapa nama ulama yang telah disebut oleh Ustadz Firanda sebagai yang meriwyatkannya, di antaranya:

  • Imam al Hakim dalam al Mustadrak (dan Firanda dia tidak menyinggung komentar al Hakim, padahal beliau termasuk yang tidak menshahihka hadis tersebut).
  • dan juga yang ia sebut adalah al Hafidz Ibnu Hajar sebagai yang menghasankannya.
  • Nama lain yang ia sebut adalah Syeikh Nâshiruddîn al Albâni, dan ia meminta kita untuk melihat keterangan Syeikh al Albâni, muhaddis kontenporer kebanggan kaum Wahhâbi Salafi, kendati ia sering linglung dan terjebak dalam kontradiksi dalam keterangan dan penetap[an status hadis, seperti akan kita saksikan bersama pada kasus hadis ini.

Di sini saya akan mengajak pembaca, sobat abusalafy yang kritis untuk melihat langsung bagaimana kenyataan kualitas hadis sebagaiman diterangkan ulama.

Hadis ini shahih tanpa lafadz tambahan di atas; (yang telah Allah tetapkan dengannya dari atas tujuh langit.) yang menjadi inti pendalilan Ustadz Firanda dan kaum Mujassimah lainnya. Ia telah diriwayatkan oleh:

  1. Ibnu Sa’ad dalam ath Thabaqât,3/426.
  2. An Nasa’i dalam al Kubrâ-nya,5/63/hadis dengan no.8223.
  3. Al Hakim dalam al Mustadrak,2/124. Dan ia tidak menshahihkannya.
  4. Al Baihaqi dalam al Asmâ’ wa ash Shifât:420.

Dan masih banyak ulama lain yang meriwayatkannya.

Hadis ini derngan sanad yang disebutkan oleh adz Dzahabi dalam kitab al ‘Uluw-nya (yang dibanggakan oleh Ustadz Firanda dan meminta semua umat Islam membaca dan merenungkan isinya) karena seorang perawi bernama Muhammad bin Shâleh at Tammâr. Walaupun ia ditsiqahkan oleh Ahmad dan Abu Daud, ia telah dilemahkan oleh Abu Hatim. Ad Dâruquthni berkata tentangnya, “Ia perawi yang matrûk/ditinggalkan.” Al Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Ia perawi yang shaduq tapi sering salah (dalam meriwayatkan hadis). Lebih lanjut saya persilahkan Anda merujuk kitab Tahdzîb at Tahdzîb,9/200.

Abu Hatim secara khusus mendha’ifkan hadis ini seperti dinukil oleh putranya sendiri, Ibnu Abi Hatim dalam kitab al ‘Ilal,2/326. Ia berkata, “Ini (tambahan ini) adalah salah. Muhammad bin Shâleh adalah seorang syeikh yang aku tidsak kagum kepada hadisnya.”

Ibnu al Arabi berkata, “Hadis ini tidak shahih.” maksudnya dengan redaksi yang ada tambahannya itu.

Abu Salafy:

Hadis ini telah diriwayatkan oleh para parawi tsiqât (jujur terpercaya dan handal hafalannya) tanpa tambahan yang nyeleneh/syâdzdzah tersebut (yang telah Allah tetapkan dengannya dari atas tujuh langit.)!! dan di antara yang meriwayatkannya tanpa tambahan itu adalah: Syu’bah. Ia menyelisihi riwayat Muhammad bin Shâleh at Tammâr, seperti dalam dibaca dalam kitab:

  • Shahih Bukhari dalam beberapa kesempatan, di antaranya dalam Kitabul Jihâd wa as Sair, Bab Idzâ nazal al ‘Aduwwu ‘alâ Hukmi Rajulin dari sahabat Abu Sa’id al Khudri, hadis dengan no. 2878:

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ هُوَ ابْنُ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ بَنُو قُرَيْظَةَ عَلَى حُكْمِ سَعْدٍ هُوَ ابْنُ مُعَاذٍ بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ قَرِيبًا مِنْهُ فَجَاءَ عَلَى حِمَارٍ فَلَمَّا دَنَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ فَجَاءَ فَجَلَسَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ إِنَّ هَؤُلَاءِ نَزَلُوا عَلَى حُكْمِكَ قَالَ فَإِنِّي أَحْكُمُ أَنْ تُقْتَلَ الْمُقَاتِلَةُ وَأَنْ تُسْبَى الذُّرِّيَّةُ قَالَ لَقَدْ حَكَمْتَ فِيهِمْ بِحُكْمِ الْمَلِكِ

(http://hadith.al-islam.com/Page.aspx?pageid=192&BookID=24&TOCID=1939)

  • Shahih Muslim: Kitabul Jihad wa as Sair, Bab Jawâz Qitâti Man Naqadha al ‘Ahda, hadis dengan no.1768:

وَحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ وَأَلْفَاظُهُمْ مُتَقَارِبَةٌ قَالَ أَبُو بَكْرٍ حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ عَنْ شُعْبَةَ وَقَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ بْنَ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ قَالَ نَزَلَ أَهْلُ  قُرَيْظَةَ عَلَى حُكْمِ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى سَعْدٍ فَأَتَاهُ عَلَى حِمَارٍ فَلَمَّا دَنَا قَرِيبًا مِنْ الْمَسْجِدِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْأَنْصَارِ قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ أَوْ خَيْرِكُمْ ثُمَّ قَالَ إِنَّ هَؤُلَاءِ نَزَلُوا عَلَى حُكْمِكَ قَالَ تَقْتُلُ مُقَاتِلَتَهُمْ وَتَسْبِي ذُرِّيَّتَهُمْ قَالَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَيْتَ بِحُكْمِ اللَّهِ وَرُبَّمَا قَالَ قَضَيْتَ بِحُكْمِ الْمَلِكِ وَلَمْ يَذْكُرْ ابْنُ الْمُثَنَّى وَرُبَّمَا قَالَ قَضَيْتَ بِحُكْمِ الْمَلِكِ وَحَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ عَنْ شُعْبَةَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَقَالَ فِي حَدِيثِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ حَكَمْتَ فِيهِمْ بِحُكْمِ اللَّهِ وَقَالَ مَرَّةً لَقَدْ حَكَمْتَ بِحُكْمِ الْمَلِكِ

  • Musnad Imam Ahmad, pada sisa-sia Musnad para sahabat yang banyak meriwayatkan hadis, hadis no.10785 dan 24573:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي مَسْلَمَةَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا نَضْرَةَ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الدُّنْيَا خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا لِيَنْظُرَ كَيْفَ تَعْمَلُونَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ بْنَ سَهْلٍ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ فَذَكَرَ مَعْنَى حَدِيثِ غُنْدَرٍ عَنْ شُعْبَةَ فِي حُكْمِ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ إِلَّا أَنَّهُ قَالَ فَإِنِّي أَحْكُمُ أَنْ تُقْتَلَ مُقَاتِلَتُهُمْ وَتُسْبَى ذُرِّيَّتُهُمْ فَقَالَ لَقَدْ حَكَمْتَ فِيهِمْ بِحُكْمِ اللَّهِ وَقَالَ مَرَّةً لَقَدْ حَكَمْتَ فِيهِمْ بِحُكْمِ الْمَلِكِ أَوْ الْمَلَكِ شَكَّ عَبْدُ الرَّحْمَنِ

وَحَدَّثَنَاهُ عَفَّانُ قَالَ الْمَلِكُ حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ فَذَكَرَ مِثْلَ حَدِيثِ ابْنِ جَعْفَرٍ تُقْتَلُ مُقَاتِلَتُهُمْ وَتُسْبَى ذُرِّيَّتُهُمْ وَقَالَ قَضَيْتَ بِحُكْمِ الْمَلِكِ

Riwayat lain:

قَالُوا نَنْزِلُ عَلَى حُكْمِ  سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ  فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْزِلُوا عَلَى حُكْمِ  سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ  فَنَزَلُوا وَبَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى  سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ  فَأُتِيَ بِهِ عَلَى حِمَارٍ عَلَيْهِ إِكَافٌ مِنْ لِيفٍ قَدْ حُمِلَ عَلَيْهِ وَحَفَّ بِهِ قَوْمُهُ فَقَالُوا يَا  أَبَا عَمْرٍو حُلَفَاؤُكَ وَمَوَالِيكَ وَأَهْلُ النِّكَايَةِ وَمَنْ قَدْ عَلِمْتَ قَالَتْ وَأَنَّى لَا يُرْجِعُ إِلَيْهِمْ شَيْئًا وَلَا يَلْتَفِتُ إِلَيْهِمْ حَتَّى إِذَا دَنَا مِنْ دُورِهِمْ الْتَفَتَ إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ قَدْ آنَ لِي أَنْ لَا أُبَالِيَ فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ قَالَ قَالَ  أَبُو سَعِيدٍ  فَلَمَّا طَلَعَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ فَأَنْزَلُوهُ فَقَالَ  عُمَرُ سَيِّدُنَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ أَنْزِلُوهُ فَأَنْزَلُوهُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْكُمْ فِيهِمْ قَالَ  سَعْدٌ  فَإِنِّي أَحْكُمُ فِيهِمْ أَنْ تُقْتَلَ مُقَاتِلَتُهُمْ وَتُسْبَى ذَرَارِيُّهُمْ وَتُقْسَمَ أَمْوَالُهُمْ وَقَالَ  يَزِيدُ  بِبَغْدَادَ  وَيُقْسَمُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ حَكَمْتَ فِيهِمْ بِحُكْمِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَحُكْمِ رَسُولِهِ

Abu Salafy:

Dalam riwayat-riwayat di atas dan selainnya tidak terdapat tambahan itu, sementara semua ulama sepakat bahwa Syu’abh (perawi hadis ini) jauh lebih tsiqah dan kokoh hafalannya dibandingkan at Tammâr. Bahkan at Tammârb dikenal sering salah dalam menukil redaksi hadis.

Ringkas kata, Imam Bukhari dan Muslim dan juga Imam Ahmad telah meriwayatkan hadis tersebut tanpa tambahan itu….

Abu Salafy:

Seperti Anda telah baca, Ustadz Firanda meminta kita agar melihat keterangan Syeikh Nâshiruddîn al Albâni dalam kitab Salsilah al Ahâdîts ash Shahîhah-nya, tetapi ia tidak menyarankan kita membaca berbagai kitab karya Syeikh al Albâni yang menyebut-nyebut hadis di atas. Alasannya sedenrahana sekali karena dengan menelusuri berbagai keterangan Syeikh al Albâni kita akan menyaksikan betapa Muhaddis kondang kebanggan Ustadz Firanda dan para Salafi Wahhâbi ternyata sedang lingsung dalam sikap dan hukumnya atas hadis tersebut! Dan kenyataan seperti ini bukan satu-satunya kasus kelinglungan Muhaddis Wahhâbi asal negeri Albân ini!

Syeikh Nâshiruddîn al Albâni Mnedha’ifkan Tambahan Redaksi Itu!

Syeikh Nâshiruddîn al Albâni telah menghukumi tambahan tersebut sebagai munkarah. Penegasan itu ia sebutkan dalam catatannya ketika mentakhrij hadis-hadis kitab al ‘Aqîdah ath Thahâwiyyah. Pada catatan no. 312. Ia berkata tentang hadis riwayat at Tammâr:

Shahih, tanpa tambahannya: ” فَوقِ سَبْعِ سماواتٍ/dari atas langit tujuh”. Demikian hadis itu (tanpa tambahan) dalam dua kitab Shahih (Bukhari dan Muslim) dan Musnad. Adapun tambahan itu ia hanya diriwayatkan oleh Muhammad bin Shâleh at Tammâr, seperti dalam kitab al ‘Uluw:102 dan ia berkata, “Ia (at Tammâr)adalah shadûq. Dan dalam kitab at Taqrîb, ‘Shadûq tapi sering salah.

Saya (Syeikh al Albâni) berkata: Orang seperti dia tidak bisa diterima jika menyendiri dalam meriwayatkan (sebuah redaksi), walaupun hadis ini dishahihkan oleh penulis (penulis Syarah Aqidah ath Thahâwiyyah_pen) dan juga adz Dzahabi.”

 Demikian Anda saksikan bagaimana Syeikh al Albâni tegas-tegas mengatakan bahwa tambahan itu tidak boleh diterima… dan seorang perawi yang sering salah seperti at Tammâr tidak dapat dipercaya jika membawa redaksi yang berbeda dengan redaksi para parawi tsiqât!

Syeikh Albâni Terjebak Dalam Kontradiksi Pernyataannya Sendiri!

Tapi anehnya, dalam kesempatan lain dan dalam kitab-kitabnya yang lain ia kembali terjebak dalam tanâqudhât/kontradiksi yang memang sering kali ia terjatuh di dalam kubangannya. Di sebuah kedempatan ia menshahihkan sebuah hadis, lalu di kesempatan lain ia mendhaifkannya… dalam sebuah kesempatan ia memuji dan mengukuhkan ketsiqahan seorang perawi lalu kemudian di kesempatan lain (bahkan dalam satu kitab) mencacatnya… kekacauan Syeikh al Albâni dalam pernyataan-pernyataannya tentang hadis dan ilmu hadis bukan sesuatu yang samar… hanya mata-mata rabun sajalah yang tidak mampu melihatnya. Guru besar kami Sayyid Habib Hasan bin as Seqqâf telah menulis tiga jilid buku untuk memelekkan Syeikh Nashiruddîn al Albâni dan para pemuja kelinglungannya akan tanâqudhât tersebut, dengan judul: Tanâqudhât al Albâni! Saya berharap Ustadz Firanda dan para sarjana Salafi Wahhâbi mau meluangkan waktu mereka menelaah kitab tersebut!

Ya, Syeikh al Albâni telah meruntuhkan pernyataannya sendiri dengan ia menghasankan hadis tersebut dalam kitabnya Mukhtashar al ‘Uluw:87, (kitab yang meringkas kitab al ‘Uluw karya adz Dzahabi, dengan niatan ia akan membersihkannya dari hadis-hadis yang tidak shahih apalagi palsu. Tapi sayangnya ia masih belum mampu melepaskan diri dari jeratan jaring akidah Tajsîm dan Tasybîh, sehingga ia menshahihkan banyak hadis tidak shahih). ia berkata:

15) Hadis Sa’ad bin Abi Waqqâsh bahwa Nabi saw. bersabda kepada Sa’ad bin Mu’âdz:

لَقَدْ حَكَمتَ فيهِم بحكمِ الْمَلِكِ  مِنْ فَوقِ سَبْعِ سماواتٍ

“Sungguh engkau telah menetapkan hukum (pada hal ini) dengan hukum Tuhan Penguasa dari atas tujuh langit” ini adalah hadis shahih. ia telah diriwayatkan an Nasa’i.

Aku (al Albâni) berkata, “Dan ia juga diriwayatkan oleh al Baihaqi dalam kitab al Asmâ’ wa ash Shifât,420, dan sanadnya hasan. Pada para rantai perawinya terdapat Muhammad bin Shâleh at Tammâr. Al Hafidz (Ibnu Hajar) berkata, ‘Ia shadûq sering salah.’ Penulis (adz Dzahabi) telah memuat dia (at Tammâr) dalam kitab al Mizân dan memaparkan perselisihan ulama tentangnya. Tetapi hadis ini punya syâhid/hadis pendukung dari riwayat musralnya Alqamah bin Waqqâsh. Ia juga diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq seperti disebutkan dalam al Fathu. Penulis juga menyebutkannya juga dari jalur dia dari Muhammad bin Malik bahwa Sa’ad bin Mu’âdz …. (ia sebutkan hadis selengkapnya), dan ia berkata, ‘Musral;.’”

Dan dalam kitab Silsilah al Ahâdîts ash Shahîhah,6/556 hadis no. 2745, Syeikh al Albâni kembali mendemonstrasikan kelimglunagnnya dengan bersusah-susah mencari dukungan untuk hadis yang memuat tambahan itu dengan mencarikan hadis pendukung. Namun sayangnya hadis pendukung yang ia banggakan itu tidak lebih dari sebuah hadis mursal yang disebutkan adz Dzahabi satu nomer sebelum hadis at Tammâr tersebut. Yaitu hadis dengan nomer: 45 dari riwayat Ibnu Ishaq (penulis Sirah Nabawiyyah).

Hadis itu penuh dengan cacat dan sarat dengan masalah…

A)    Hadis itu diriwayatkan Ibnu Ishaq dengan menggunakan redaksi ‘an/dari. Hal mana tidak menunjukkan bahwa ia meriwayatkan secara langsung dari gurunya. Ini cacat pertama.

B)    Cacat kedua, Ibnu Ishaq sendiri dikenal sebagai yang gemal mendadlis. Dan tindakan tadlîs dalam periwayatan dalam mencacat seorang parawi dan menggugurkan keadilannya.

C)    Ma’bad bin Malik (parawi yang darinya Ibnu Ishaq menukil) tidak meriwayatkan langsung dari Sa’ad atau sahabat lainnya sabda Nabi saw… ada parantara yang gugur atau sengaja ia gugurkan. Dan dengannya hadisn itu berststus mursal. Dan hadis mursal adalah bagian dari hadis dha’if!!

D)    Cacat ketiga adalah tambahan itu sendiri telah menyalahi redaksi yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dan selainnya.

Jadi tambahan itu adalah munkarah! Batil!! Dan dengannya menjadi jelas bahwa Muhaddis kondang kebanggaan Ustadz Firnda dan para sarjana Wahhâbi benar-benar terjatuh dalam kesalahan fatal. Dan sekali lagi saya ingatkan, ini bukan satu-satunya kasus di mana Syeikh al Albâni terjebak dalam kesalahan fatal dan kontradiksi konyol seperti ini. Semoga kita diselamatkan dari kesesalahan dan mengikuti orang yang sedang salah!

Dan dengan ini, saya cukupkan tanggapan saya atas pendalilan kesatu dan kedua Ustadz Firanda. Saya akan kembali lagi dengan menyoroti kepalsuan syubhat Ustadz Firanda lainnya. Nantikan!

(Bersambung insya Allah)


Membongkar Kepalsuan Syubhat Ustadz Firanda Dalam Buku “Ketinggian Allah Di Atas Makhluk-Nya” (4)

$
0
0

Membongkar Kepalsuan Syubhat Salafi Wahhâbi Tentang Ketinggian Fisikal Allah SWT Di Atas Makhluk-Nya

Menyoroti Pendalilan Ketiga Ustadz Firanda

Ustadz Firanda berkata, “Penjelasan adanya sesuatu yang naik (malaikat dan amal sholih) menuju Allah SWT. lafadz ‘naik’ yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits bias berupa Al-‘Uruuj atau as-Shu’uud.

Seperti dalam firman Allah SWT:

مِنَ اللَّهِ ذِي الْمَعارِجِ  *  تَعْرُجُ الْمَلائِكَةُ وَ الرُّوحُ إِلَيْهِ

Dari Allah yang memiliki al-Ma’aarij. Malaikat dan ar-Ruuh naik menuju kepada-Nya. (QS. Al-Ma’aarij;3-4)

Mujahid rahimahullah (murid sahabat Nabi Ibnu Abbas) menafsirkan (yang dimaksud) dzil Ma’aarij adalah para Malaikat naik menuju Allah (Lihat dalam Shahih Bukhari)

Dalam hadits disebutkan:

يَتَعَاقَبُونَ فِيكُمْ مَلَائِكَةٌ بِاللَّيْلِ وَمَلَائِكَةٌ بِالنَّهَارِ وَيَجْتَمِعُونَ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ وَصَلَاةِ الْعَصْرِ ثُمَّ يَعْرُجُ الَّذِينَ بَاتُوا فِيكُمْ فَيَسْأَلُهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ كَيْفَ تَرَكْتُمْ عِبَادِي فَيَقُولُونَ تَرَكْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ وَأَتَيْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ

“Bergantian menjaga kalian malaikat malam dan Malaikat siang. Mereka berkumpul pada sholat ‘Ashr dan Sholat Fajr. Kemudian naiklah malaikat yang bermalam bersama kalian, sehingga Allah bertanya kepada mereka –dalam keadaan Dia Maha Mengetahui- Allah berfirman: Bagaimana kalian tinggalkan hamba-Ku? Malaikat tersebut berkata: “Kami tinggalkan mereka dalam keadaan sholat, dan kami tinggalkan mereka dalam keadaan sholat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnu Khuzaimah menyatakan: “Di dalam khabar (hadits) telah jelas dan shahih bahwasannya Allah SWT di atas langit dan bahwasannya para malaikat naik menuju-Nya dari bumi. Tidak seperti perasangkaan orang-orang Jahmiyyah dan Mu’aththilah (penolak Sifat Allah). (Lihat kitabut Tauhid karya Ibnu Khuzaimah halaman 381).

Seperti juga firman Allah SWT:

إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَ الْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ

“Kepada-Nyalah naik ucapan yang baik dan amal yang sholih dinaikkan-nya.” (QS. Fathir:10)

Disebutkan pula dalam hadits:

عَنْ  أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ  قَالَ: قُلْتُ :  يَا رَسُولَ اللَّهِ لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنْ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ قَالَ ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

Dari Usamah bin Zaid –semoga Allah meridjainya- beliau berkata: Aku berkata: Wahai Rasulullah aku tidak pernah melihat shaumu di bulan lain sebagaimana engkau shaum pada bulan Sya’ban? Rasul bersabda: Itu adalah bulan yang banyak manusia lali dari-Nya antara Rajab dengan bulan Ramadlan. Itu adalah bulan terangkatnya amalah-amalan menuju Tuhan semesta alam. Maka aku suka njika amalku terangkan dalam keadaan aku shaum (puasa). (HR. An-Nasas’i dishahihkan oleh Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Albaany).

عَنْ  أَبِي مُوسَى  قَالَ  قَامَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخَمْسِ كَلِمَاتٍ ” فَقَالَ  :إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَنَامُ وَلَا يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَنَامَ يَخْفِضُ الْقِسْطَ وَيَرْفَعُهُ يُرْفَعُ إِلَيْهِ عَمَلُ اللَّيْلِ قَبْلَ عَمَلِ النَّهَارِ وَعَمَلُ النَّهَارِ قَبْلَ عَمَلِ اللَّيْلِ.

Dari Abu Musa ra. beliau berkata: Rasulullah saw. berdiri di hadpan kami dengan menyampaikan lima kalimat (di antaranya) beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidaklah tidur dan tidak layak bagi-Nya tidur. Dia menurunkan timbangan dan mengangkatnya, terangkat (naik) kepada-Nya amalan pada malam hari sebelum amalan siang hari, dan amalan siang hari sebelum amalan malam hari.” (HR. Muslim).[1]

Abu Salafy Berkata:

Demikianlah keterangan panjang Ustadz Firanda sengaja saya sebutkan agar menjadi jelas total apa yang ia maksud dalam pendalilan ketiga tersebut. Dan setelahnya saya akan ajak sobat abusalafy yang cerdas untuk menyoroti dalil-dalil demi dalil yang ia sebutkan di atas.

Pertama-tama saya ingin katakan bahwa pendalilan ketiga ini juga sama dengan pendalilan sebelumnya, ia bersifat kewam-awaman dan ‘dungu’. Maaf, jika kata terakhir ini sedikit menyakitkan, tetapi bukan dengan niat mengejek. Tetapi lebih untuk menunjukkan realita pemikiran mereka! Bagaimana tidak? Disamping pendalilan ini benar-benar mencerminkan keawaman pengucapnya, ia juga terkesan dungu kareka enggan berujuk kepada para ulama yang berkompenten berbicara soal agama, khususnya masalah akidah dan terlebih lagi tentang Akidah Tauhid!

Ustadz Firanda Salah Sangka!

Pertama yang saya ingin luruskan adalah kesalahan Ustadz Firanda ketika mengatakan bahwa Mujahid telah berkata, “Mujahid rahimahullah (murid sahabat Nabi Ibnu Abbas) menafsirkan (yang dimaksud) dzil Ma’aarij adalah para Malaikat naik menuju Allah (Lihat dalam Shahih Bukhari).” Sebab yang ia kutip dari Shahih Bukhari itu bukan perkataan Mujahid. Perkatan Mujahid justru adalah yang disebutkan sebelumnya ketika menafsirkan ayat:

إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَ الْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ

“Kepada-Nyalah naik ucapan yang baik dan amal yang sholih dinaikkan-nya.” (QS. Fathir:10)

bukan ketika menafsirkan ayat surah al Ma’ârij! Kenyataan ini makin jelas dengan memeprhatikan riwayat para ulama lain, seperti al Baihaqi, misalnya dalam kitab al Asmâ’ wa ash Shifâf (yang juga dibanggakan Ustadz Firanda bahkan nama beliau dibawa-bawa mendukung akidah menyimpangnya bahwa Allah berada di arah atas), di mana beliau ketika menyebutkn tafsiran Mujahid beliau hanya menyebut bagian seperti yang saya katakan. Tidak menyebut apa yang disangkakan Ustadz Firanda sebagai tafsir atau ucapan Mujahid! Lebih lanjut baca: al Asmâ’ wa ash Shifâf:533/atsar no.999. (cetakan Muassash al Rasiâlah, dengan tahqî    Sa’ad bin Najdat Umar)

Kesalahan ini sepertinya sederhana. Tetapi kenyataannya membuktikan ketidak telitian Ustadz dalam memahami teks Arab dalam Shahih Bukhari dan lainnya. Dan kenyataan ini membuat orang bisa saja kemudian meragukan ketepatan pemahaman Ustadz Firanda terhadap kitab-kitab para ulama Islam. Selain juga membuktikan bahwa Ustadz Firanda tidak membaca kitab-kitab syarah Shahih Bukhari, seperti Fathul Bâri, misalnya.

Untuk lebih jelasnya perhatikan redksi lngkap Shahih Bukhari di bawah ini:

بَاب :  قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى { تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ}  وَقَوْلِهِ جَلَّ ذِكْرُهُ : { إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ } وَقَالَ أَبُو جَمْرَةَ عَنْ  ابْنِ عَبَّاسٍ  بَلَغَ  أَبَا ذَرٍّ مَبْعَثُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِأَخِيهِ اعْلَمْ لِي عِلْمَ هَذَا الرَّجُلِ الَّذِي يَزْعُمُ أَنَّهُ يَأْتِيهِ الْخَبَرُ مِنْ السَّمَاءِ وَقَالَ مُجَاهِدٌ : الْعَمَلُ الصَّالِحُ  يَرْفَعُ الْكَلِمَ الطَّيِّبَ . يُقَالُ :  ذِي الْمَعَارِجِ  الْمَلَائِكَةُ تَعْرُجُ إِلَى اللَّهِ .

Bab: Firman Allah: “Dari Allah yang memiliki al-Ma’aarij. Malaikat dan ar-Ruuh naik menuju kepada-Nya.” Dan:“Kepada-Nyalah naik ucapan yang baik.” Abu Jamrah berkata dari Ibnu Abbas, bahwasannya telah salah sampai kepada Abu Dzar berita diutusnya Nabi saw. maka ia berkata kepada saudaranya, ‘cari rtahulah engkau lalu beritahukan kepadaku tentang orang itu yang mengaku bahwa ia didatang berita dari langit. Mujahid berkata, ‘amal yang slaheh menaikkan/mengangkat ucapan yang baik.’ Dikatakan, ‘para Malaikat naik menuju Allah.’ ((http://hadith.al-islam. com/ Page. aspx? pageid=192&BookID=24&TOCID=4047))

Abu Salafy:

Kesalahan Ustadz Firanda terletak pada anggapannya bahwa perkataaan terakhir di atas:para Malaikat naik menuju Allah.’ adalah ucapan Mujahid. Padahal itu bukan perkataan Mujahid. Perkataan Mujahid itu terkait dengan ayat kedua, bukan ayat pertama. Mungkin saja Ustadz Firanda akan terhindarkan dari kesalahan itu andai saja ia mau meluangkan waktu mambaca keterangan al Hafidz Ibnu hajar al Asqallâni dalam Fathul Bâri-nya,28/198. Dan sudah semestinya bagi sarjana pamula untuk tidak angkuh merujuk keterangan para ulama tentang berbagai hadis, utamanya hadis-hadis yang musykil, walaupun keterangan Imam Bukhari di atas tidak termasuk yang musykil!

Coba perhatikan keterangan Ibnu Hajar di bawah ini:

 (وَقَالَ  مُجَاهِدٌ الْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُ الْكَلِمَ الطَّيِّبَ يُقَالُ ذِي الْمَعَارِجِ الْمَلَائِكَةُ تَعْرُجُ إِلَى اللَّهِ )

 أَمَّا الْآيَةُ الْأُولَى فَأَشَارَ إِلَى مَا جَاءَ فِي تَفْسِيرِهَا فِي الْكَلَامِ الْأَخِيرِ ، وَهُوَ قَوْلُ  الْفَرَّاءِ ” وَالْمَعَارِجُ ” مِنْ نَعْتِ اللَّهِ تَعَالَى وَصَفَ بِذَلِكَ نَفْسَهُ ؛ لِأَنَّ الْمَلَائِكَةَ تَعْرُجُ إِلَيْهِ ، وَحَكَى غَيْرُهُ أَنَّ مَعْنَى قَوْلِهِ  ذِي الْمَعَارِجِ  أَيِ الْفَوَاضِلِ الْعَالِيَةِ ،

 وَأَمَّا الْآيَةُ الثَّانِيَةُ فَأَشَارَ إِلَى تَفْسِيرِ  مُجَاهِدٍ  لَهَا فِي الْأَثَرِ الَّذِي قَبْلَهُ ، وَقَدْ وَصَلَهُ  الْفِرْيَابِيُّ  مِنْ رِوَايَةِ  ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ  عَنْ  مُجَاهِدٍ

“Mujahid berkata, ‘Amal shaleh menaikkan/mengangkat perkataan yang baik.”

Dan dikatakan Dzil Ma’ârij: (maksudnya) para malaikat naik kepada Allah.

Adapun ayat pertama, beliau (Imam Bukhari) mengisyaratkan kepada apa yang datang dalam tafsirnya pada akhir pembicaraan. Dan ia adalaah pendapat/tafsiran al Farrâ’. Al Ma’ârij adalah sifat Allah. Dia mensifati diri-Nya dengannya, karena para malaikat naik kepada-Nya. Dan para ulama lain menukil penafsiran lain tentangnya yaitu makna Al Ma’ârij adalah anugerah yang agung.

Adapun ayat kedua, maka beliau mengisyaratkan kepada tafsiran Mujahid yang disebutkan sebelumnya. Dan al Faryâbi telah menyambungkan sanadnya melalui Abu Najîh dari Mujahid.

Al Hafidz Ibnu Hajar juga menukil keterangan Imam Ibnu Baththâl bahwa maksud Imam Bukahri menulis bab ini adalah sebagai bantahan atas kaum Mujassimah yang bergantung kepada dzahir-sdzahir nash seperti itu untuk mengatakan bahwa Allah bertempat.

Ibnu Baththâl berkata menegaskan:

وَقَدْ تَقَرَّرَ أَنَّ اللَّهَ لَيْسَ بِجِسْمٍ فَلَا يَحْتَاجُ إِلَى مَكَانٍ يَسْتَقِرُّ فِيهِ فَقَدْ كَانَ وَلَا مَكَانَ ، وَإِنَّمَا أَضَافَ الْمَعَارِجَ إِلَيْهِ إِضَافَةَ تَشْرِيفٍ ، وَمَعْنَى الِارْتِفَاعِ إِلَيْهِ اعْتِلَاؤُهُ مَعَ تَنْزِيهِهِ عَنِ الْمَكَانِ . انْتَهَى

“Dan te;ah tetap bahwa Allah bukan berupa JISIM karenanya Dia tidak butuh tempat untuk bersemayam padanya. Dia (Allah) telah ada sebelum ada tempat. Dia mengidhafahkan/menyandarkan kata al Ma’ârij kepada sebagai penyandaran penghormatan. Dan arti meninggi/dinaikan/diangkat kepada Allah adalah ia dinaikkan kepada Allah tetapi tetap dengan mensucikan Allah dari tempat. (selesai keterangan Ibnu Baththâl). ((http://hadith.al-islam.com/Page.aspx? pageid=192& BookID=33&TOCID =4046))

Andai Benar Mujahid BerPendapat Demikian, Ia Bukan Panutan!!

Dan seandainya benar Mujahid (yang dibanggakan Ustadz Firanda dalam membangun akidah menyimpangnya itu) itu berpendapat demikian dalam menafsirkn ayat di atas, di sini perlu Anda ketahui bahwa Mujahid bukan rujukan yang repsentatif dan otoritatif untuk membangun akidah Islam kita…. akidah kita harus dibanguhn di atas dasar al Kitab dan Sunnah shahihah (bukan asal hadis yang diriwayatkan para muhaddis betapapun ia lemah atau palsu, seperti kebanyakan yang dijadikan dalil kaum Mujassimah Musyabbihah!).

Kendati konsep dasar pemahaman agama ini sudah sangat gamblang dan tidak butuh dikuatkan oleh para Masyâikh Wahhâbi Salafi, namun karena pembicaraan saya tertuju kepada para sarjana awam dan/atau para awam yang sok sarjana dan bangga dengan status akademik; S1, S2 dan S3, maka saya akan hadapkan mereka kepada komentar Syaikh Nashiruddin al Albâni dalam Mukhtashar al ‘Uluw:119-20:

“Ringkas kata: Sesungguhnya ucapan Mujahid ini (dalam masalah bahwa kelak di hari kiamat Allah mendudukkan Nabi Muhammad saw. di samping-Nya di atas Arsy_pen), walaupun ia benar darinya tidaklah boleh dijadikan sebagai bagian dari agama dan akidah, selama ia tidak didukung oleh al Kitab dan Sunnah.”

Abu Salafy:

Inilah Mujahid yang dibanggakan Ustadz Firanda tafsir dan pemahaman agamanya… ia adalah seorang yang berkeyakinan bahwa kelak Allah SWT di hari kiamat menyisakan sedikit tempat duduk-Nya di Arsy untuk menyanding Nabi saw. duduk bersama-Nya… dan itulah yang dimaksud dengan Maqâm Mahmûd dalam Al Qur’an!!! Ini jelas-jelas akidah tajsîm yang fatal kesesatannya! (Dan Insya Allah dalam kesempatan lain saya akan membahasnya. Doakan)

***

Setelah Anda melihat langsung kesalah-pahaman Ustadz Firanda terhadap redaksi dalam Shahih Bukhari, maka saya akan lanjutkan pembuktian saya akan kepalsuan pendalilan Ustadz Firanda

Ustadz Firanda mendasarkan kayakinannya bahwa para malaikta itu naik menuju Allah adalah dengan lafadz: تَعْرُجُ إِلَى اللَّهِ/ naik menuju Allah. Maka ketahuilah bahwa hal itu tidak benar, mengingat pemanfsiarn seperti itu meniscayakan Allah bertempat. Dan itu mustahil bagi Allah. Karenanya para ulama dalam menyikapi ayat-ayat seperti itu adalah dua jalan:

Pertama, Mentafwîdh/menyarahkan pemaknaannya kepada Allah. Mereka tidak berkomentar apapun tentangnya. Dan jalan seperti ini banyak kita jumpai pada kalangan Salaf. Walaupun sering juga kita temukan para ulama Salaf menakwil nash-nash tertentu dalam Al Qur’an ataupun Sunnah.

Kedua, adalah menakwilkannya dengan pemaknaan yang sesuai dengan Kehamasucian Allah dari kebutuhan kepada tempat.

Demikian di jelasakan Ibnu Hajar dalam Fathul Bâri-nya,28/198.

Di sini Ustadz Firanda tidak menempuh salah satu dari kedua jalan di atas. Ia memaknainya secara dzahir apa adanya yang akan menjerumuskannya kepada anggapan tajsîm dan kebutuhan Allah kepada tempat! Walaupun ia akan sangat gerah disebut MUJASSIM!

Ketika menerangkan hadis Bukhari (yang disebutkan Ustadz Firanda di atas dari riwayat Bukhari dan Muslim:

يَتَعَاقَبُونَ فِيكُمْ مَلَائِكَةٌ بِاللَّيْلِ وَمَلَائِكَةٌ بِالنَّهَارِ وَيَجْتَمِعُونَ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ وَصَلَاةِ الْعَصْرِ ثُمَّ يَعْرُجُ الَّذِينَ بَاتُوا فِيكُمْ فَيَسْأَلُهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ كَيْفَ تَرَكْتُمْ عِبَادِي فَيَقُولُونَ تَرَكْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ وَأَتَيْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ

“Bergantian menjaga kalian malaikat malam dan Malaikat siang. Mereka berkumpul pada sholat ‘Ashr dan Sholat Fajr. Kemudian naiklah malaikat yang bermalam bersama kalian, sehingga Allah bertanya kepada mereka –dalam keadaan Dia Maha Mengetahui- Allah berfirman: Bagaimana kalian tinggalkan hamba-Ku? Malaikat tersebut berkata: “Kami tinggalkan mereka dalam keadaan sholat, dan kami tinggalkan mereka dalam keadaan sholat.”

Ibnu Hajar dalam Fathul Bâri,28/198-199 menegaskan:

وَقَدْ تَمَسَّكَ بِظَوَاهِرِ أَحَادِيثِ الْبَابِ مَنْ زَعَمَ أَنَّ الْحَقَّ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فِي جِهَةِ الْعُلُوِّ ، وَقَدْ ذَكَرْتُ مَعْنَى الْعُلُوِّ فِي حَقِّهِ جَلَّ وَعَلَا فِي الْبَابِ الَّذِي قَبْلَهُ .

“Dan telah berpegang dengan arti lahiriyah dari hadis-hadis dalam bab ini orang yang menganggap bahwa Allah Dzat Yang Maha Haq SWT berada di arah atas. Dan saya telah sebutkan  makna ‘uluw/ketinggian Allah Azza wa Jalla pada bab sebelumnya.” ((http://hadith.al-islam.com/Page.aspx?pageid=192&BookID=33& TOCID =4046))

Dan ringkas kata keterangan Ibnu Hajar adalah bahwa ulama Islam telah menegaskan bahwa Allah tidak butuh tempat dan arti istawâ bukan istaqarra/menetap/bersemayam. Dan keterangan lebih lanjut akan saya paparkan dalam kesempatan lain insya Allah. Nantikan!

Manka Kata al ‘Urûj Dalam Ayat Di Atas

Sekedar menyebutkan contoh bagaimana para ulama Ahlusunnah memahami maksud kata ta’ruju dalam ayat di atas, saya akan nukilkan ketarangan Imam al Baihaqi dalam kitab al Asmâ’ wa ash Shifâf :533 di bawah ini:

Shu’ûd/naiknya perkataan yang baik dan shadaqah yang baik adalah ungkapan untuk menunjukkan baiknya penerimaan/mengkabulan terhadap keduanya. Dan ‘urûj/naiknya para malaikat adalah ke maqa-maqam/tempat mereka di langit. Adapun menggunaan kata Shu’ûd dan ‘urûj menuju/kepada Allah sama dengan makna firman Allah:

أَ أَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّماءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذا هِيَ تَمُورُ

Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba- tiba bumi itu berguncang.” (QS. Al Mulk [67];16 )[2]

… kemudian telah lewat ketarangan para ulama tentang maknanya, dan kami telah ceritakan dari kalangan al mutaqaddimîn dari ulama kami bahwa mereka meninggalkan berbicara dalam masalah-masalah seperti ini. Ini semua dengan tetap meyakini prinsip menafikan al hadd/batasan, at Tasybîh/penyerupaan dan at Tamtsîl/menyamaan bagi Allah SWT. (dengan makhluk-Nya)

Abu Salafy:

Apa yang ditegaskan Imam al Baihaqi adalah tepat sekali, bahwa menafikan al hadd/batasan, at Tasybîh/penyerupaan dan at Tamtsîl/menyamaan bagi Allah SWT. (dengan makhluk-Nya) adalah prinsip dasar dalam akidah Islam yang diyakini oleh umat Islam, khususnya Ahlusunnah. Tidak seperti kaum Mujassimah Musyabbihah yang dalam akidah mereka meyakin berbagai keyakinan yang tidak dapat terelakkan dari tiga konsekuensi di atas dan juga konsekuensi Tajsîm/posturisasi Allah!

Karena itu, seperti ditegaskan Guru Besar kami Sayyid Allamah Hasan bin Ali as Seqqaf (semoga Allah menjaganya dari kejahatan kaum Salafi Wahhâbi yang selalu mengancam keselamatan beliau) bahwa pertama yang harus kita ketahui dengan pasti adalah: Sesunnguhnya Allah bukan terdiri dari Jism yang duduk bersemayam di atas Kusri atau di atas Arsy. Allah Mahasuci dari bertempat di atas langit atau di bumi atau di tempat manapun dan apapun yang dapat kita bayangkan dalam khayalan kita. Mahasuci Allah dari bertempat pada makhluk ciptaan-Nya sendiri.. jika akidah dasar ini telah Anda ketahui maka wajib atas setiap Muslim untuk selalu menghadirkan dalam benaknya firman Allah yang mngisahkan tentang Nabi Ibrahim:

إنِّيْ ذاهِبٌ إلى رَبِّيْ سَيَهْدِينِ.

“Dan Ibrahim berkata: “Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (Ash Shâffât [37;99)[3]

Dan firman Allah tentang bayang-bayang:

ثم قَبَضْنَاهُ إلَيْنَا قَبْضًا يَسِيْرًا.

“Kemudian Kami menarik bayang-bayang itu kepada Kami dengan tarikan yang perlahan-lahan.” (QS. Al Furqan[25]; 46).[4]

Semua itu yang dimaksud bukanlah dzahir/leterlek maknanya yang berkonotasi materi!! Inilah gaya bahasa Arab yang penuh dengan keindahan!![5]

 Menyoroti Pendalilan Ketiga Ustadz Firanda (Bagian Kedua)

Seperti sisi pertama dari pendalilan ketiga ini, ia kembali membuktikan keawamannya dalam memahami teks-teks suci Al Qur’an dan Sunnah… seperti kebiasaan kaum Mujassimah yang telah memposisikan pemahaman mereka setara dengan pemahaman kaum awam… disamping juga kental dengan akidah Yahudi yang disisipkan oleh para pendeta yang memeluk Islam secara dzahir, seperti Ka’ab al Ahbâr.

Ustadz Firanda berkata:

“Seperti juga firman Allah SWT:

إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَ الْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ

“Kepada-Nyalah naik ucapan yang baik dan amal yang sholih dinaikkan-nya.” (QS. Fathir:10)”

Abu Salafy berkata:

Seperti sebelumnya telah saya nukilkan dari keterangan Imam al Baihaqi bahwa maksud: “Kepada-Nyalah naik ucapan yang” adalah kata kiasan untuk menunjukkan diterimanya perkataan yang baik yaitu akidah yang benar yang didasarkan kepada Tauhid, Lâ Ilâha Illahhâh. Sebab Allah Mahasuci dari berada di sebuah arah tertentu. Disamping al kalim ath Thayyib  adalah berupa teks atau keyakinan yang diucapakna dalam bentuk kata-kata, karenanya ia tidak dapat disifati dengan naik! Jadi di sana tidak ada sesuatu yang bersifat materi yang naik menuju Allah SWT di atas langit sana! Hanya mereka yang sangat awam dengan gaya bahasa Arab sajalah yang tidak mengerti kenyataan demikian itu!

Imam Abu Hayyân –seorang Mufassir ternama Ahlusunnah- berkata, “Maksud dari al kalim ath Thayyib adalah Tauhid dan Pemujaan  serta dzikrullah dan sejenisnya. Ibnu Abbas berkata, ‘Ia adalah syahadah/kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah.”[6]

Imam al Baihaqi: “Shu’ûd/naiknya perkataan yang baik dan shadaqah yang baik adalah ungkapan untuk menunjukkan baiknya penerimaan/mengkabulan terhadap keduanya.”[7]

 

Hadis Riwayat Sahabat Abu Musa al Asy’ari

Adapun hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Musa al Asy’ari yang berbunyi:

عَنْ  أَبِي مُوسَى  قَالَ  قَامَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخَمْسِ كَلِمَاتٍ ” فَقَالَ  :إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَنَامُ وَلَا يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَنَامَ يَخْفِضُ الْقِسْطَ وَيَرْفَعُهُ يُرْفَعُ إِلَيْهِ عَمَلُ اللَّيْلِ قَبْلَ عَمَلِ النَّهَارِ وَعَمَلُ النَّهَارِ قَبْلَ عَمَلِ اللَّيْلِ.

Dari Abu Musa ra. beliau berkata: Rasulullah saw. berdiri di hadpan kami dengan menyampaikan lima kalimat (di antaranya) beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidaklah tidur dan tidak layak bagi-Nya tidur. Dia menurunkan timbangan dan mengangkatnya, terangkat (naik) kepada-Nya amalan pada malam hari sebelum amalan siang hari, dan amalan siang hari sebelum amalan malam hari.”.

Maka, andai kita terma keshahihan hadis di atas[8], maka ia sama sekali tidak menunjukkan apa yang dimaukan oleh Ustadz Firanda dan kaum Mujassimah pada umumnya. Sebab inti pendalilan Ustadz Firanda terletak pada kalimat: يُرْفَعُ إِلَيْهِ عَمَلُ اللَّيْلِ…/ terangkat (naik) kepada-Nya amalan pada malam hari sebelum amalan siang hari, sedangkan kalimat itu sama sekali tidak menunjukkan maksud tersebut dan bahwa Allah SWT berada di atas langit.Karena sebuah perkata ketika disampaikan kepada atasan, misalnya, sah-sah saja dalam bahasa manapun untuk dikatakan perkara itu diangkat kepada si Sultan, misalnya.

Dalam sebuah hadis riwayat Imam Ahmad ditemukan sebuah redaksi:

“Sesungguhnya Rasulullah saw. lam yurfa’/tiada dinaikkan kepada beliau sebuah masalah terkait dengan qishâsh melainkan beliau memerintahkan agar dimaafkan.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya,3/252)

Dalam hadis di atas telah digunakan kalimat: lam yurfa’, namun demikian tidak ada seorang pun yang mengerti gaya bahasa Arab mengatakan bahwa perkara itu dinaikkan kepada Rasulullah saw. karena beliau berada di posisi atas!!

Dalam hadis itu juga, bahwa para malaikat tidak pergi menuju Allah di atas langit sana! Tetapi para malaikat itu pergi menuju tempat-tempat mereka di langit di sat shalat Ashar dan shalat Shubuh.

Hanya mereka yang terjangkit virus tajsîm dan pikirannya telah dirusak oleh akidah kaum Mujassimah yang mereka cecet dalam kitab-kitab mereka, seperti kitab at Tauhid karya Ibnu Khuzzaimah, asy Syarî’ah karya al Âjuri, al Îmân karya Ibnu Mandah, as Sunnah karya Ibnu Abi ‘Âshim dan al I’tiqâd karya al Lâlakai .. ya hanya mereka sajalah yang memahami bahwa para malaikat itu pergi menuju Allah yang berada di atas langit sana. Dan setiap mereka menemukan kata naik atau diangkat maka mereka selalu mengartikannya sesuai dengan kayakinan mereka yang sudah terbangun akibat pengaruh yang ditimbulkan oleh ajarah Yahudi yang kemudian diwarisi kaum Mujassimah. Adapaun Ahlusunnah salalu memaknainya sesuai dengan Kemahasucian Allah dari berada di sebuah tempat tertentu atau di atas sesuatu tertentu!

(Besambung Insya Allah)


[1] Ketinggian Allah Di Atas Makhluk-Nya:11-14. Dan pada riwayat Muslim di atas terdapat tambahan yang tidak disebutkan oleh Ustadz Firanda, yaitu:

حِجَابُهُ النُّورُ وَفِي رِوَايَةِ  أَبِي بَكْرٍ  النَّارُ لَوْ كَشَفَهُ لَأَحْرَقَتْ سُبُحَاتُ وَجْهِهِ مَا انْتَهَى إِلَيْهِ بَصَرُهُ مِنْ خَلْقِهِ

“Dan hijab-Nya terbuat dari Nur/cahaya. Dan dalam riwayat Abu Bakar: terbuat dari Nâr/api, andai Ia membukanya pastilah raut raut wajah-Nya akan membakar apa-apa dari makhluk-Nya yang terlihat oleh pandangan-Nya.” ((http://www.al-islam.com/Default.aspx?PageID=590))

[2] Tentang ayat ini saya telah terangkan dalam artikel: Ternyata Tuhan Tidak Di Langit (7)

Posted on April 10, 2010 by abusalafy. (Lihat: http://abusalafy.wordpress.com /2010/04/10/ ternyata-tuhan-itu-tidak-di-langit-7/)

[3] Tentang ayat ini saya telah terangkan dalam artikel: Ternyata Tuhan Tidak Di Langit (5)

Posted on April 4, 2010 by abusalafy (http://abusalafy.wordpress.com/2010/04/04/ternyata-tuhan-itu -tidak-di-langit-5/).

[4] Baca keterngan saya pada: Ternyata Tuhan Tidak Di Langit (7).

[5] Lebih lanjut baca keterangan beliau pada catatan kaki atas kitab al ‘Uluw karya adz Dzahabi:112

[6] Tafsir al Bahru al Muhîth,9/18.

[7] Al Asmâ’ wa ash Shifâf :533.

[8] Guru besar kami Sayyid Allamah Hasan bin Ali as Seqqaf menegaskan bahwa hadis itu adalah bathil dan palsu. (Lebih lanjut baca catatan kaki beliau atas kitab al ‘Uluw, catatan kaki no.176 ketika mentahqiq hadis no. 28 dalam kitab tersebut.


Membongkar Kepalsuan Syubhat Ustadz Firanda Dalam Buku “Ketinggian Allah Di Atas Makhluk-Nya” (5)

$
0
0

Membongkar Kepalsuan Syubhat Salafi Wahhâbi Tentang Ketinggian Fisikal Allah SWT Di Atas Makhluk-Nya

Menyoroti Pendalilan Keempat Ustadz Firanda

Untuk mendukung akidah menyimpangnya bahwa Allah SWT berada di posisi atas, Ustadz Firanda juga berdalil dengan beberapa ayat yang menyebutkan bahwa sebagian makhluk diangkat menuju Allah SWT

Ia berkata:

Keempat: Penjelasan tentang diangkatnya sebagian makhluk menuju Allah SWT.

Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an:

بَلْ رَفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ

Bahkan Allah mengangkat-nya kepada- Nya. (QS. An Nisaa’:158)

‏ إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَ رافِعُكَ إِلَيَّ

Sesungguhnya Aku akan mewafatkanmu dan mengangkatmu kepada-Ku. (QS. Ali Imran:55)

Abu Salafy Berkata:

Tidak ada penjelasan apapun yang ia bumbuhkan di sini. Ia sama sekali tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan kata: mengangkat kepada-Nya atau kepada-Ku dalam dua ayat di atas.

Dan ketarangan tentang dua ayat di atas yang mengatakan bahwa Nabi Isa as. diangkat kepada Allah SWT tidak berarti sesungguhnya Allah di atas langit dan Isa as. berada di atas langit sana bersama Allah SWT.

Para ulama mengatakan bahwa Allah mengangkat Nabi Isa as. ke langit kedua sebagaimana dijelaskan dalam hadis Mi’râj. Ketarangan lebih lanjut dapat Anda baca dalam artikel saya Ternyata Tuhan Tidak Di Langit (7) (http://abusalafy. wordpress. com/2010/04/10/ternyata-tuhan-itu-tidak-di-langit-7/) karenanya saya tidak akan mengulangnya kembali di sini…. dan ini juga hal aneh dari sikap Ustadz Firaanda yang mengaku membantah akidah abusalafy: Ternyata Tuhan Tidak Di Langit tetapi ia tidak mengkritik sediktipun berbagai argumentas yang saya paparkan dalam tujuh edisi 1 hingga tujuh. Yang ia tanggapi hanya edisi 8 saja itu pun dengan tanpa bukti yang mengena… harapan saya Ustadz Firanda mau meluangkan waktu untuk membaca dan menanggapinya. Demikian juga dengan para pembaca, saya berharap mau membaca dan memberikan tanggapan atasnya jika memang ada yang salah atau menyimpang!

Kesimpulan

Dengan memerhatikan pendalilan ketiga Ustadz Firnada terlihat sekali keawaman pemahaman Al Qur’annya dan selain itu, pada waktu yang sama ia telah mempriklamirkan kebangkrutan metodenya yang selama ini ia bangun akidahnya di atas metode tersebut, yaitu kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman Salaf Shaleh! Sebab sekarang ia baik mengakui atau tidak bahwa konsep itu telah runtuh, sebab ternyata tidak ada seorang Salaf Shaleh pun yang ia kutip keterangan dan tafsirannya tentang dua ayat tersebut yang ia bawakan!

Meyoroti Pendalilan Kelima Ustadz Firanda!

Pendalilan kelima ini juga tidak kalah awam dan lugunya (jangan baca: dungu!) dibanding dalil-dalil (baca; Syubhat) sebelumnya.

Perhatikan Ustadz Firanda berkata:

Kelima: Penjelasan tentang ketinggian Allah SWT secara mutlak.

Sebagaimana dijelaskaan dalam Al-Qur’an, di antaranya:

حِفْظُهُمَا وَ هُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ

Dan DiaIah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. (QS. Al-Baqarah;255)

 الْحَقَّ وَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبيرُ

Dan Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. Saba’:23)[1]

Abu Salafy:

Sekali lagi, di sini Uastadz Firanda tidak menuliskan komentar apapun tentang makna sifat Allah al ‘Aliyyu/ Mahatinggi. Sementara itu adalah hal penting baginya untuk menjelaskannya, mengingat inilah inti persengketaan antara kaum Salafi Wahhâbi Mujassim yang kali ini diwakili oleh Ustadz Firanda dan Ahlusunnah serta kaum Muslimin pada umumnya yang kali ini diwakili oleh abusalafy dalam artikel-artikelnya: Ternyata Tuhan Tidak Di langit!

Saya berharap Ustadz Firanda tidak bersikap kekanak-kanakan dan lugu ketika mengatakan bahwa di antara dalil ketinggian Allah secara mutlak adalah ayat-ayat yang ia sebutkan! Sebab tidak ada seorang pun di antara kaum Muslimin yang mengingkari bahwa Allah Maha Tinggi. Tetapi letak permasalahannya adalah bahwa kaum Salafi Wahhâbi yang mewarisi akidah kaum Mujassimah Musyabbihah memaknai ketinggian Allah itu secara fisikal.. Allah SWT berposisi di atas makhluk-Nya.. Allah berada dan bersemayam di atas Asry-Nya dan Arsy-Nya dipikul oleh makhluk-Nya dan terkadang, jika Allah sedang murka, para malaikat itu merasakan ada tambahan beban berat, karena dalam akidah mereka Allah itu berbobot… serta banyak rincian lain yang sangat menyimpang dari kemurnian akidah Islam yang diajarkan Nabi Muhammad dalam Al Qur’an dan Sunnahnya.)

Sementara umat Islam yang diwakili mayoritas Ahlusunnah (al Asy’ariyah dan al Maturidiyyah) dan Syi’ah (Imamiyah dan Zaidiyah) meyakini Kemahatinggian Allah dengan menyucikan-Nya dari tempat dan arah.

Itu sebabnya saya terpaksa mengatakan bahwa istidlâl/langkah pendalilan Ustadz Firanda itu kekanak-kanakan dan terkesan ‘lugu bin lucu’!

Saya yakin jika Ustadz Firanda berani menorehkan keterangan para ulama Islam dan para Ahli Tafsir ia akan dipermalukan oleh dirinya sebab, pemahaman seperti yang ia yakini itu adalah pemahaman menyimpang kaum Mujassimah.

Karenanya, di sini saya akan memnabtu pembaca menelaah keterangan para Mufassir kemaan Ahlusunnnah tentang makna sifat Allah al ‘Aliyyu/Yang Maha Tinggi.

Keterangan Para Ulama Islam Tentang Makna Sifat Allah:العَلِيُّ al ‘Aliyyu/Yang Maha Tinggi.

  • Keterangan Imam Ibnu jarîr ath Thabari

Saya akan awali dengen menyebut keterangan ath Thabari dalam tafsir Jâmi’u al Bayân-nya,3/13:

وَأَمَّا تَأْوِيل قَوْله :  { وَهُوَ الْعَلِيّ } فَإِنَّهُ يَعْنِي : وَاَللَّه الْعَلِيّ . وَالْفَعِيل : الْفَعِيل مِنْ قَوْلك عَلَا يَعْلُو عُلُوًّا : إذَا ارْتَفَعَ , فَهُوَ عَالٍ وَعَلِيّ , وَالْعَلِيّ : ذُو الْعُلُوّ وَالِارْتِفَاع عَلَى خَلْقه بِقُدْرَتِهِ  .… .

وَاخْتَلَفَ أَهْل الْبَحْث فِي مَعْنَى قَوْله :  { وَهُوَ الْعَلِيّ } فَقَالَ بَعْضهمْ : يَعْنِي بِذَلِك ; وَهُوَ الْعَلِيّ عَنْ النَّظِير وَالْأَشْبَاه . وَأَنْكَرُوا أَنْ يَكُون مَعْنَى ذَلِك : وَهُوَ الْعَلِيّ الْمَكَان , وَقَالُوا : غَيْر جَائِز أَنْ يَخْلُو مِنْهُ مَكَان , وَلَا مَعْنًى لِوَصْفِهِ بِعُلُوِّ الْمَكَان ; لِأَنَّ ذَلِك وَصْفه بِأَنَّهُ فِي مَكَان دُون مَكَان . وَقَالَ آخَرُونَ : مَعْنَى ذَلِك : وَهُوَ الْعَلِيّ عَلَى خَلْقه بِارْتِفَاعِ مَكَانه عَنْ أَمَاكِن خَلْقه , لِأَنَّهُ تَعَالَى ذِكْره فَوْق جَمِيع خَلْقه وَخَلْقه دُونه , كَمَا وَصَفَ بِهِ نَفْسه أَنَّهُ عَلَى الْعَرْش , فَهُوَ عَالٍ بِذَلِك عَلَيْهِمْ .

Allah adalah Maha al ‘Aliyyu. Dan kata al ‘Aliyyu adalah mengikuti wazan/bentuk: al fa’îlu diambil dari ucapanmu: علا يعلو علُوًّا ketika seorang/sesuatu itu meninggi. Dia adalah عالٍ dan علِيٌ. Kata العَلِيُّ artinya: yang memiliki ketinggian dan menbumbung di atas makhluk-Nya dengan Kemahakuasaan-Nya. …

Para pengkaji berbeda pendapat tentang makna ayat:

وَ  هُوَ الْعَلِيُّ

Dan DiaIah Yang Maha Tinggi, sebagian dari mereka berpendapat: yang dimaksud adalah Dan Dia Maha Tinggi dari pesaing dan keserupaan. Mereka menolak memaknainya dengan: Dia Maha Tinggi tempat-Nya. Mereka berkata (berdalil): Tidak boleh sebuah tempat itu kosong dari-Nya. Dan tidak berarti mensifati-Nya dengan Ketinggian Tempat, sebab konsekuensi darinya adalah Dia berada di sebuah tempat tertentu dan tidak tempat lain.

Dan yang lainnya berpendapat, makna sifat itu adalah: Dia Maha Tinggi di atas makhluk-Nya dengan ketinggian tempat-Nya di atas tempat-tempat makhluk-Nya. Sebab Allah -Ta’ala Dzikruhu- di atas seluruh makhluk-Nya dan seluruh makhluk-Nya di bawah-Nya, sebagaimana Dia mensifati Diri-Nya dengan di atas Arsy. Maka dengan demikian Dia di atas mereka.” ((http://quran.al-islam.com/ Page.aspx?pageid= 221& BookID=13&Page=1))

Abu Salafy: 

Dari keterangan Ibnu Jarir ath Thabari di atas dapat kita saksikan bahwa ada dua pendapat dalam memaknai sifat Allah al ‘Aliyyu. Kendati beliau tidak menjelaskan watak masing-masing pemilik pendapat di atas, namun dapat kita ketahui bahwa pendapat pertama adalah pendapat yang mewakili pendapat kaum Muslimin selain Mujassimah. Sedangkan pendapat kedua adalah pendapat kaum Mujassimah.

Para ulama sedikit menyesalkan kenapa Ibnu Jarir menyebutkan pendapat kedua ini dalam pasar pendapat, mengingat ia adalah pendapat yang jatuh, murahan dan tidak berbobot.. ia hanya pendapat yang mewaikili kaum dungu Mujassimah.

Imam Al Qurthubi berkomentar:

و ” الْعَلِيّ ” يُرَاد بِهِ عُلُوّ الْقَدْر وَالْمَنْزِلَة لَا عُلُوّ الْمَكَان ; لِأَنَّ اللَّه مُنَزَّه عَنْ التَّحَيُّز . وَحَكَى الطَّبَرِيّ عَنْ قَوْم أَنَّهُمْ قَالُوا : هُوَ الْعَلِيّ عَنْ خَلْقه بِارْتِفَاعِ مَكَانه عَنْ أَمَاكِن خَلْقه . قَالَ اِبْن عَطِيَّة : وَهَذَا قَوْل جَهَلَةٍ مُجَسِّمِينَ , وَكَانَ الْوَجْه أَلَّا يُحْكَى . وَعَنْ عَبْد الرَّحْمَن بْن قُرْط أَنَّ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَة أُسْرِيَ بِهِ سَمِعَ تَسْبِيحًا فِي السَّمَاوَات الْعُلَى : سُبْحَان اللَّه الْعَلِيّ الْأَعْلَى سُبْحَانه وَتَعَالَى . وَالْعَلِيّ وَالْعَالِي : الْقَاهِر الْغَالِب لِلْأَشْيَاءِ , تَقُول الْعَرَب : عَلَا فُلَان فُلَانًا أَيْ غَلَبَهُ وَقَهَرَهُ ,

قَالَ الشَّاعِر :

فَلَمَّا عَلَوْنَا وَاسْتَوَيْنَا عَلَيْهِمْ ***  تَرَكْنَاهُمْ صَرْعَى لِنَسْرٍ وَكَاسِر

 وَمِنْهُ قَوْله تَعَالَى : إِنَّ فِرْعَوْن عَلَا فِي الْأَرْض

“Dan sifat al ‘Aliyyu, yang maksud dengannya adalah Kemahatinggian kekuasaan dan keududukan. Bukan ketinggian tempat. Karena Allah Mahasuci dari berada di sebuah posisi/tempat.

 Ath Thabari menukil pendapat dari selempok kaum bahwa mereka berkata, ‘Dia Maha Tinggi di atas makhluk-Nya dengan ketinggian tempat-Nya di atas tempat-tempat makhluk-Nya.’ Ibnu ‘Athiyyah berkata, ‘Ini adalah pendapat kaum jahil Mujassimah. Dan semestinya tidak disebutkan sebagai pendapat!. Dari telah diriwayatkan dari Abdurrahman bin Qurth bahwa ketika Rasulullah saw. disira’kan beliau mendengar bacaan tasbîh di langit-langit tertinggi:

 سُبْحَان اللَّه الْعَلِيّ الْأَعْلَى سُبْحَانه وَتَعَالَى

Subhanallah/Mahasuci Allah Dzat Yang Maha Tinggi Subhanallah Ta’âlâ.

Dan kata الْعَلِيُّ dan  الْعَالِيُّartinya adalah al Qâhir/Yang Maha Menaklukkan dan Mengalahkan segala sesuatu. Orang-orang Arab berkata: علا فلانٌ/’Alâ fulân artinya: Dia (si fulan) mengalahkan dan menaklukkan.

Seorang pujangga Arab bersyair:

فَلَمَّا عَلَوْنَا وَاسْتَوَيْنَا عَلَيْهِمْ ***  تَرَكْنَاهُمْ صَرْعَى لِنَسْرٍ وَكَاسِر

Dan ketika kami telah kalahkan dan kami kuasai mereka*** kami biarkan mereka tergeletak untuk santapan burung garuna dan pencabik.

Dan kata ‘ala dengan arti menang/mengalahkan adalah dalam firman Allah –Ta’âlâ-:

إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلا فِي الْأَرْضِ

Sesungguhnya Firaun telah berkuasa di muka bumi. (QS. Al Qashash [26];4) ”[2]

 ((http://quran.al-islam.com/ Page.aspx?pageid=221&BookID=14&Page=1))

Imam asy Syaukani menerangkan bahwa yang dimaksud dengan sifat itu adalah: “Yang dimaksud adalah Kemahatinggian Kekuasaan-Nya dan kedudukan.” Dan setelahnya ia juga mengemukakan peneyesalannya mengapa Ibnu Jarîr ath Thabari menyebut-nyebut pendapat kedua (oleh kaum Mujassimah) tersebut. Mengingat ia adalah pendapat murahan.. Lebih lanjut komentar asy Syaukani baca Tafsir Fathu al Qadîr,1/272.

Imam al Khâzim berkata menjelaskan:

“Dan Dia Maha al ‘Aliyyu yaitu Yang Maha Tinggi di atas makhluk-Nya yang tiada sesuatu apapun di atas-Nya dalam apa-apa yang Allah wajib disifati dengannya dari berbagai makna kaperkasaan dan kesempurnaan. Dia Maha Tinggi secara mutlak dari keserupaan dan padanan serta lawan.

Dan ada yng mengatakan Dia Maha Tinggi dengan kerajaan, kekuasaan dan penaklukan. Maka tiada yang mengalahkan-Nya.

Ada pula yang mengatakan bahwa makna sifat Allah al ‘Aliyyu adalah diambil dari pengertian Kemahakuasaan dan Kemahaperkasaan serta keberhakan-Nya menyandang segala sifat terpuji secara mutlak.

Dan ada juga yang mengatakan: Dia Maha Tinggi dari (dapat) diliputi oleh pensifatan para pensifat.”[3]

Dan Imam Muhyis Sunnah al Baghawi (yang digelari Muhyis Sunnah) juga berkentar serupa.[4]

Abu Salafy:

Dari paparan ringkas beberapa keterangan ulama Ahlusunnah dapat dimengerti bahwa mereka semua sepakat memaknai sifat Allah al ‘Aliyyu dengan makna yang mensucikan Allah dari ketinggian tempat… hanya kaum Mujassimah sajalah yang memahaminya demikian. Dan ustadz Firanda salah satu dari mereka… karena memeng hanya pemahaman itu yang mungkin ia pelajari dari para Masyâikh Mujassimah di ‘kampus terhormatnya’! dan dengan demikian saya akhiri tanggapan saya atas dalil kelima Ustadz Firanda… dan nantikan tanggapan saya selanjutnya atas dalil-dalil lucu Ustadz Firanda lainnya.

(Bersambung Insya Allah)


[1] Di sini Ustadz Firanda salah menulis nomer ayat. Ia menulisnya: 28. Itu mungkin hanya sekedar salah ketika biasa. Yang benar adalah apa yang saya sebitkan di atas.

[2] Tafsir al Jâmi’ Li Ahkâmi al Qur’ân,3/278

[3] Tafsir Lubâb at ta’wîl,1/270-271.

[4] Tafsir Ma’âlim at Tanzîl,1/270.


Viewing all 172 articles
Browse latest View live